5. Camo^

1296 Words
Ambrosio menelentangkan tubuh Sisilia di ranjang dan menahan kedua tangan wanita itu di atas kepala dengan satu tangan. Kedua kaki Sisilia dikunci dengan kakinya. Tiap inci kulit mereka bersentuhan tanpa pembatas sehelai pun, membuat tubuh basah mereka memanas dari dalam. Ambrosio merangkak di atas wanitanya. Tubuhnya yang kekar dengan tato besar di punggung, kontras dengan tubuh halus dan lembut milik istrinya itu. Sisilia meringis, menggigit bibir bawahnya sendiri dan menatap penuh harap. Sepertinya sudah saatnya Ambrosio menunjukkan keegoisannya. Tanpa berkata apa-apa pria itu segera melahap bibirnya. Ambrosio melebur bibir Sisilia dalam mulutnya dan sesekali menggigit. Lidahnya bergerak cepat membelai geligi lalu mendesak masuk hingga menyentuh ujung dalam langit-langit mulutnya. "Ngghh ...." Kepala Sisilia terdongak menerima penjelajah itu. Ketika dia hampir kehabisan napas, Ambrosio melepaskan bibirnya. "Hmmh," mulut pria itu berpindah ke dadanya, mencari puncak merah muda dan menyesap kuat tonjolan itu hingga terasa sakit mengeras. "Oh, Ambrosio ...." Punggungnya melengkung dan meliuk lembut. Sisilia merasakan aliran darah terpompa ke puncak payudaranya. Ambrosio mengisap sari dari kedua belah puncak itu bergantian, memastikan wanitanya mengeluarkan suara ASMR* yang menenangkan. *{ASMR merupakan singkatan dari Autonomous Sensory Meridian Response atau biasa disebut head tingles yang kalau diartikan adalah kepala yang tergelitik atau kesemutan. Sensasi yang dirasakan seperti hangat, nyaman, geli dan menyenangkan. Sensasi ini dimulai dari puncak kepala dan akan menyebar ke seluruh tubuh, diri sendiri maupun pada pasangan, disertai perasaan tenang dan rileks.} Pikirannya sudah melayang jauh. Sisilia tidak dapat mengendalikan suara maupun gerakan tubuhnya sendiri. Pandangannya kabur menatap lampu yang bercahaya di langit-langit. Sejak kapan lampu itu menjadi menyilaukan. Di mana pria itu? Yang biasanya muncul dihadapannya seperti bayangan gelap, tetapi melindunginya dari cahaya yang membutakan mata. Sisilia menjadi sedikit lega ketika Ambrosio melepaskan tangannya, memberikan kesempatan untuknya meremas rambut pria itu ketika kepalanya bergerak ke bagian bawah pusarnya. Matanya terpejam dan tubuh menggeliat seakan sesuatu dalam tubuhnya ingin keluar. Pegangan di rambut Ambrosio menjadi penolongnya untuk bertahan agar tidak lumer. Akan tetapi pegangannya terlepas. "Ah, Ambrosio, ah, tidak!" pekiknya lemah ketika Ambrosio mengangkat pinggulnya lebih tinggi dari kepalanya. Kedua belah pahanya dibuka selebar-lebarnya dan lengan kekar itu menahan pahanya, memposisikan lubang di selangkanya serupa mulut cawan. "Apa yang kau lakukan?" rengek Sisilia dengan posisi kepala nyaris terbalik. "Memakanmu, tentu saja," jawab Ambrosio sambil menggeram. "Aku lapar rasa jusmu," katanya lagi, membuat Sisilia memejamkan mata rapat-rapat dan tangannya mencengkeram sprei di sisi kepalanya. Ketika Ambrosio menggigit bibir empuk di selangkangannya itu, matanya terbuka lebar tetapi pandangannya gelap. "Amano-san, kurutte iru! Imaimashī!" Amano, kamu gila! Sialan! pekiknya sambil tertangis. "Aaaahhhh ...." Dia menangis karena rasa yang meletup-letup dalam dirinya. Ambrosio memakan dirinya seperti menikmati potongan besar semangka yang ranum, matang dan manis, dengan air yang melimpah. Ambrosio menggigit sana sini area dalam pahanya Pria itu tidak memedulikan erangan dan isakannya. Ia sangat menikmatinya hingga hanya suara mengecap rakus yang terdengar. Lidahnya, giginya, sentuhan bibirnya, semuanya memberikan rangsangan yang tak kenal ampun. Ini sangat memalukan. Sisilia meratap sambil meremas wajahnya sendiri. Memalukan karena rasanya terlalu enak dan dia sangat menikmatinya, tak bisa ditahan. Tak terhitung sudah berapa kali semburan itu terjadi hingga rasa itu meluap melebihi kapasitasnya. Ambrosio mengangkat kepala dari belahan lembut di s**********n Sisilia dan mengusap cairan di sekeliling bibirnya yang menyunggingkan senyuman penuh kemenangan. Wajah wanitanya itu memerah meski ditutupi, ia bisa melihat dari sela-sela jemarinya. Sisilia merintih lembut. Telunjuk Ambrosio menyusuri lekukan di organ feminin itu. "Lucu rasanya, kau menutupi wajahmu sementara di sini ...," Ambrosio membuka celah basah itu dengan dua jarinya, "... megap-megap tak tahu malu." Sisilia merengek sambil gigit jari. "Ah, Ambrosio, kau mengejekku, huhu ...." Sisilia membenamkan wajahnya ke samping dan berniat menarik kakinya, tetapi Ambrosio menahannya. "Hei, mau ke mana kau? Aku belum selesai, jangan mentang-mentang kau sudah 'keluar' lalu kau mau meninggalkanku. Tidak semudah itu, Sisilia!" protes Ambrosio. Ia berdiri memposisikan batang keras miliknya di muara 'cawan' Sisilia dan mendorong masuk perlahan. "Ughh!" Ambrosio mendesah berat. Meskipun Sisilia sudah dibuat basah, pertemuan mereka yang terselang beberapa bulan membuat lubang itu rapat dan otot-ototnya meremas kuat miliknya, Ambrosio sampai mengatup rahang dan menambah tenaga dorongannya. "Enghhh ...." Sisilia meringis sebentar lalu mengembuskan napas lega ketika seluruh milik Ambrosio memasukinya. Sisilia menggigit bibirnya sendiri. Kelopak matanya bergetar halus ketika merasakan rongga di bawah pusarnya berdenyut-denyut dan sesak. Ambrosio belum bergerak, dia sudah merasa gelisah. Pinggulnya bergerak sendiri, menggoyang benda di dalamnya. "Ah, Sisilia-chan ...," desah Ambrosio dengan kepala terdongak. "Wakarimasen ka? Muchūninaru made anata ga inakute sabishīdesu." Tidakkah kau mengerti? Aku sangat merindukanmu sampai aku jadi gila rasanya, ucapnya dengan suara parau. Ia menatap nanar wanita di bawahnya yang terengah sambil menggeliat dan ia mulai bergerak menyelaraskan diri. "Jadi, kata-kata sepele itu sangat berarti bagiku, untuk membuatku tetap waras. Kenapa sangat sukar untuk kau ucapkan? Apakah hatimu tidak merasakannya?" Sisilia nyaris patah hati mendengarnya. Pria ini, hatinya kadang bisa begitu lembut dan dia tahu bisa segila apa Ambrosio. Kebutuhannya akan perhatian dan kasih sayang mungkin karena trauma ditinggalkan ibunya di usia dini, Sisilia berasumsi demikian. Lagi pula lomunikasi di pusat penelitian diawasi server sentral, jadi dia tidak leluasa bicara. Namun otaknya tidak bisa berpikir jernih saat Ambrosio mulai memompa dalam tubuhnya. "Gomen, Amano-san, tokidoki wakaranai," maaf, Amano, kadang kala aku tidak mengerti, jawabnya tanpa pikir panjang. "Sōde wanai, Aka-chan! Kowaikara." Bukan seperti itu, Merahku! Itu karena kau takut, sahut Ambrosio. Ia menghujam lebih kuat dan cepat hingga berbunyi bak tamparan-tamparan kecil akibat tubrukan tubuh mereka yang basah oleh keringat. "Kau takut aku akan menyakiti hatimu. kau menutupinya dengan bersikap masa bodoh dan berlagak mencari kepuasan seks semata." Begitukah penilaian Ambrosio terhadap dirinya? Sisilia tercenung dalam pikirannya walaupun tubuhnya tetap bergerak bersama Ambrosio. "Shinpaishinaide kudasai," jangan khawatir soal itu, gumam Ambrosio. "Aku tidak akan menyakitimu, Sisilia. Aku tidak akan pernah melakukan itu." Sisilia memasrahkan tubuhnya dalam cengkeraman Ambrosio. Pria itu memang bisa memuaskannya dan menyanjungnya sedemikian rupa dengan membiarkannya memilih pekerjaan yang disukainya meskipun harus terpisah dari suami dan anak. Kesetiannya, perhatiannya, pengorbanannya, apa lagi yang yang bisa dituntutnya dari pria ini coba? Kadang dia berpikir Ambrosio berhak mendapat wanita yang lebih baik, tetapi pria ini tetap memilih dirinya. Mungkin sudah saatnya dia membuka selubung keangkuhan dalam hatinya dan menerima seutuhnya pria ini sebagai kekasih, agar ucapan sayang dan rindu bukan sekadar basa-basi di mulut saja atau karena sedang 'ingin', melainkan karena cinta, rasa memiliki dan takut kehilangan. Sisilia menatap suaminya yang sedang terengah dan titik peluh menumbuk dirinya. Pria itu membungkuk padanya. Dia menggapai wajah Ambrosio lalu mengecup lembut bibirnya yang terkatup rapat. "Amano-san, kimi ga koishi," aku rindu padamu, cintaku, Amano, isaknya. "Hontoni koishi." Sangat, sangat rindu. Ambrosio membalasnya dengan ciuman dalam dan batang lelakinya melesak semakin dalam dan membesar. Selama beberapa detik rasa itu terbendung akhirnya terlepas serupa ledakan besar yang meletup berkali-kali. Teriakan Sisilia dan geramannya teredam oleh ciuman mereka. Setelah ledakan itu usai, Ambrosio berusaha mengatur napasnya yang memburu. Tampangnya berseri-seri, menatap Sisilia. Sementara wanita itu melirik ke berbagai arah, seakan mencari persembunyian. Namun dia tak bisa ke mana-mana karena tubuhnya masih bertaut di tubuh Ambrosio. Ia membelai pipi Sisilia yang bersemu. "Katakan lagi, Sisilia," pintanya. "Hah?" Sisilia mendelik dan merengut. Seharusnya dia tidak terpancing arahan Ambrosio. Oh, dia seharusnya menyadari. Sikap manja pria itu tidak akan cukup dengan sekali ucapan mesra. "Kau tidak mau? Baiklah, jangan salahkan aku." Ambrosio membalik tubuh Sisilia dan membuatnya menungging. Sebelah tangannya melingkar di pinggul Sisilia. p****t wanita itu ditampar-tamparnya hingga berwarna merah muda. Plak, plak, plak! "Ambrosio, apa yang kau lakukan? Itu sakit." Sisilia terisak. "Pantatmu seperti bakpao persik, dan aku menyukainya," ucap pria itu. Sisilia sempat berpikir Ambrosio bercanda, ternyata dia salah. Ambrosio benar-benar memakan pantatnya. "Kyaaah, kau gila Ambrosio, kau gila, oh ... Ah ...." Kelaminnya belum mengeras lagi, tapi itu tidak menghalanginya untuk bersenang-senang. Ambrosio kembali memainkan jarinya dengan lihai, memeras jus dari dalam tubuh istrinya. *** BERSAMBUNG....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD