8. Winter Butterfly°

1255 Words
"Onii-san, sumpah, aku tidak akan mengganggu kalian! Tolong, jangan suruh aku pergi dari sini!" ucap Hiro sambil terengah mendorong pintu yang hendak di tutup Ambrosio dari dalam. "Ugh!" Ambrosio menendang kaki Hiro yang mengalangi di sela daun pintu. Hiro kesakitan dan terpaksa menarik kakinya. Brak! Akhirnya pintu apartemen Ambrosio tertutup rapat di depan wajahnya. "Onii-san kau kejam sekali!" rutuk Hiro. Ia mengambil jaketnya yang teronggok di lantai, memasangnya lalu mendengus pada pintu sebelum melangkah pergi dari tempat itu. Tampaknya kakaknya itu ingin waktu berkualitas bersama keluarganya. Begitu berbalik Ambrosio mendapat tatapan tajam dari putra semata wayangnya, menuntut penjelasan. "Aku melakukan itu untuk kebaikannya," kilah Ambrosio. "Pamanmu itu perlu mencari wanita lain dan menikah agar tidak menghabiskan waktu bersama istriku melulu." Ambrosio membungkuk untuk menggendong Tetsuya. "Papatoissho! Hirune no jikandesu." Ikut Ayah, yuk! Saatnya tidur siang. "No!" sahut Tetsuya tegas. Ia bergegas lari. Ayahnya berusaha menangkapnya tapi ia sudah belajar teknik menghindar ala ninja. Ia mendatangi ibunya sambil merengek manja,"Mommy ...." Ambrosio menyusul Tetsuya ke kamar tamu. Ia melihat istrinya itu asyik dalam dunianya sendiri. Ambrosio sempat menangkap Tetsuya dan menggendong anak itu. Tetsuya merengek nyaring sambil mendorong-dorongnya, "Uuuh! Mommy!" Ambrosio berseru keras untuk menyuruhnya diam, "Ssst!!" Anak itu diam dengan bibir cemberut. "Berhenti memanggilnya Mommy. Kau ini buatan Jepang, Testsuya! Coba panggil ibumu dengan sebutan Okaa-san!" Tetsuya membuang muka. "Ugh, anak ini!" Sisilia tidak menyahut karena perhatiannya terpusat pada deretan tabung sampel dalam kotak pendingin portable yang sedang di-charger. Dia duduk di lantai dan mengenakan sarung tangan karet. Dia mengangkat salah satu tabung dan memperhatikan cairan bening kental serupa lendir di dalamnya dengan saksama. Satu hal yang disukai Ambrosio dari istrinya itu, ketikdapeduliannya terhadap hal lain, kecuali sampel dan pemeriksaan, membuatnya tidak merasakan ambisi ingin menguasai atau keserakahan dari Sisilia Melihat tabung di tangan Sisilia, Ambrosio mengenali benda itu. "Sampel dari Edward Chen?" "Uhm," angguk Sisilia. Dia mengembalikan tabung itu ke raknya. "Kau masih berkutat dengan benda itu? Kukira kau sudah selesai memeriksanya, si Unknown666." Ambrosio mendekat untuk melihat lebih jelas isi kotak pendingin itu. Untungnya, Tetsuya diam saja, mendengarkan percakapan ayah dan ibunya. "Itu benar," ucap Sisilia. Dia meraih tabung-tabung yang lain dan melihat sekilas isinya lalu membuat catatan. "Sudah bisa dipastikan U666 memicu sifat agresif dalam otak dan memacu kerja tubuh seperti adrenalin, menjadi lebih kuat dan tangkas. Hanya saja kami belum menemukan penteralisirnya. Kita tidak mau ada makhluk seperti Edward Chen lagi, yang menjadi mesin pembunuh dan tak bisa mati." Setelah berucap demikian, terbesit dalam pikirannya jika Ambrosio berubah seperti Edward Chen, dunia akan dalam bahaya besar. Sisilia mengangkat tabung berisi cairan hitam. Kandungan cairan itu adalah murni U666. Asal usul U666 telah ditemukan. Jika ada makhluk penghasil zat tersebut, kemungkinan besar ada makhluk lain yang terpapar atau mengandung U666 dalam tubuh mereka, itu berarti ada Edward Chen-Edward Chen lainnya. Untuk mengatasinya, dia harus menemukan zat penawar efek U666 secepatnya. "Telah dikonfirmasi U666 berasal dari siluman di India dan sangat mungkin penyebarannya ke seluruh penjuru dunia, mengingat zat ini disebarkan oleh seorang pengusaha kaliber internasional." (sekilas Info: Pengusaha yg dimaksud ada dalam cerita PLay In Darkness. Karya siapa? Karya aku juga dong, wkwkwkwkwk) Sisilia merapikan tabung-tabungnya. "Ada banyak lagi zat-zat lainnya yang aku rasa bukan berasal dari makhluk di dunia ini dan zat-zat ini membuat otakku meledak." "Bukankah di sana peralatannya super canggih dan banyak peneliti lain? Tidak mungkin kalian tidak bisa memecahkan masalah ini." "Aku juga berpikir demikian, Ambrosio, tetapi Tuan Xin punya pendapat lain. Ia pemilik Pusat Penelitian, aku tak punya pilihan lain kecuali mematuhinya. Ia ingin aku meneliti sampel ini terlebih dahulu secara rahasia, jadi tidak boleh ada peneliti lain yang tahu sebelum aku. Aku menentukan lebih dulu mau dibawa ke mana arah penelitian ini kelak dan nantinya setelah mendapat persetujuan beliau, baru laboratorium akan mengembangkannya." "Itu artinya Tuan Xin sangat mempercayaimu," imbuh Ambrosio. Sisilia menoleh padanya dengan kening berkerut dalam. "Begitukah?" ujarnya sangsi. Sisilia menutup kotak pendingin dan mengunci benda itu, lalu melepas sarung tangannya. Dia berdiri mendekati mensejajarkan dirinya dengan Ambrosio. "Kau tidak berpikir Tuan Xin hanya ingin mempersulitku?" ujarnya dengan mata mengerling mesra pada pria itu. "Karena melaksanakan tugas darinya menyita waktuku berbulan-bulan lamanya. Aku tidak mengambil libur padahal seharusnya aku pulang untuk menemui anak dan suamiku." Ambrosio menjawabnya dengan kata-kata yang menenangkan. "Lihat sisi baiknya, kau berada di sini sampai waktu yang tidak ditentukan. Kau harus tahu, Sisilia, seperti cinta, pekerjaan tidak akan bertahan selamanya. Ada kalanya harus berhenti atau berakhir, tetapi tidak denganku. Kau bisa lihat sendiri, bersamaku, semuanya baik-baik saja dan aku akan selalu ada di sisimu kapan pun kamu membutuhkanku. Aku tidak akan pernah menjadikan diriku pilihan antara kau dan pekerjaanmu." Memang, Ambrosio terlalu sempurna untuknya. Dia mengusap pipi Ambrosio yang terasa halus di telapak tangannya karena baru bercukur. Dia memuji dalam hati betapa tampannya pria ini dengan sorot mata lembut dan senyum tipis yang jarang sekali menghiasi wajahnya. Dia tidak akan menghakimi perbuatan Ambrosio yang telah membunuh puluhan orang. Dia tidak berada di sana dan dia tidak berada di saat Ambrosio sangat membutuhkannya. Dia telah gagal menjalankan perannya sebagai seorang istri, sementara Ambrosio tidak pernah gagal padanya. Kembali dan bertemu Ambrosio dalam keadaan hidup memberikannya kesempatan untuk menunjukkan pada suaminya bahwa dia memang wanita yang layak diperjuangkan. Sisilia mengalihkan pandangan pada Tetsuya dan mengambil anak itu dari gendongan Ambrosio. "Ayo, Tae-Tae, kita tidur siang!" Mereka melangkah keluar kamar tamu. Ambrosio menggelar kasur tipis di ruang tengah atas suruhan Sisilia dan mereka bertiga berbaring di atasnya. Tirai jendela dan pintu balkon di tutup untuk mengurangi intensitas cahaya matahari dari luar. Tetsuya berada di antara ayah dan ibunya. Setelah tertawa-tawa bercanda beberapa saat, anak itu kelelahan dan segera tertidur lelap. Sisilia setengah berbaring memandangi wajah tidur anaknya sambil mengulum senyum. Wajah anak itu begitu lucu dan ingin sekali dicubitnya. Sisilia melirik pada Ambrosio yang berbaring tenang di sebelah Tetsuya, tengah memandanginya lekat. "Aku sangat merindukanmu," bisik Ambrosio. Senyum merekah di bibir Sisilia. "Aku juga," jawabnya lalu merangkak ke sisi Ambrosio dan menindih tubuh pria itu. Bibir mereka segera melahap satu sama lain. Keduanya bergulung dan ketika Ambrosio di atas istrinya dia bertanya sebentar. "Kita melakukannya di sini atau di kamar saja?" "Jika menimbulkan suara gaduh lebih baik kita ke kamar," jawab Sisilia. "Ide yang bagus. Aku tidak ingin Tetsuya mengganggu kita." Ambrosio mengangkat tubuh wanita yang bertaut padanya dengan kedua kaki melingkari pinggul dan tangan mengalungi lehernya. Sambil beciuman ia berjalan membawa mereka berdua ke kamar. "Jangan berkata seperti itu, Ambrosio," sela Sisilia di antara ciumannya. "Berkata apa?" tanya Ambrosio heran, tetapi tidak membuatnya menghentikan bibirnya melumat bibir wanita itu hingga memerah. Ia menutup pintu kamar dengan bersandar perlahan pada pintu. "Bukan Tetsuya yang mengganggu kita, tapi kita yang akan mengganggu Tetsuya,"ujar Sisilia. "Oh?" "Tetsuya akan sangat marah jika merasa terganggu. Anak itu ... persis seperti dirimu, tidakkah kau sadari?" Ambrosio membaringkan istrinya di ranjang dan menatap wanita itu. Napasnya berat karena gejolak membara dalam dirinya. "Tentu saja aku menyadarinya. Aku ayahnya, karena itu aku ingin 10 anak lagi seperti dirinya." Rasa panas membuncah seketika dalam d**a Sisilia mendengar hal itu. "Sepuluh? Ambrosio, kau gila! Bagaimana tubuhku menanganinya?" Ambrosio terpesona melihat semu kemerahan di wajah cantiknya. "Kenapa? Kau tidak mau?" Ia menurunkan celananya sendiri lalu menarik celana istrinya hingga lepas dari kaki halus wanita itu. Giginya bergemeletuk karena melihat betapa mulus rute perjalanan menuju surganya. Sisilia membuka kakinya dan menatap penuh penantian. "Jangan khawatir, Aka-chan! Tubuhmu sanggup menangangiku, maka kau sanggup menangani anak-anakku. Aku tahu tubuhmu sangat pas untuk itu." Ia meremas panggul Sisilia dan mendorong seluruh tubuhnya ke arah wanita itu diiringi erangan lembut yang lepas dari mulut mereka berdua. *** Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD