Ambrosio menyayangi dan menghormati ayahnya, tetapi itu tidak berarti ia akan menuruti semua keinginan ayahnya. Ia tahu sikap baik ayahnya pada Sisilia karena masih memandang sisi baik Sisilia dan secara pribadi tidak membencinya. Hanya saja pria itu tidak menyukai Sisilia sebagai menantu. Sisilia adalah wanita yang diinginkannya sebagai pendamping hidup. Cepat atau lambat, ayahnya harus menerima hal itu.
Ambrosio tidak akan membuat istrinya berbasa-basi pada ayahnya untuk sekedar cari muka, sehingga ia tidak merasa perlu bagi Sisilia bertemu ayahnya. Lagi pula mereka menikmati kebersamaan sebagai suami istri di apartemennya.
Setelah tiga hari bersama, akhirnya Ambrosio memboyong anak dan istrinya ke kediaman utama Keluarga Yamazaki karena ayahnya menyuruh mereka datang. Ayahnya tidak tahan berpisah lama-lama dari Tetsuya.
Kotaro menyambut kedatangan anak menantunya di ruang belajar. Sisilia mengenakan kimono sederhana berwarna putih dengan motif taburan bunga ceri warna merah muda, bersimpuh di atas tatami. Dia menyapa ayah mertuanya dengan hormat. "Ohayogozaimasu, Otou-sama! Ogenkidesuka?"
Pria tua itu menyahut dengan deheman pendek lalu meminum tehnya. Ia melirik sekilas pada Ambrosio dan Tetsuya yang duduk di belakang Sisilia. Demi dua orang itu, ia harus bisa berkompromi dengan wanita di hadapannya saat ini. Lagi pula dia tidak akan tinggal lama di Jepang, jadi ia bisa menerima kehadiran Sisilia untuk sementara waktu. "Tampaknya kau baik-baik saja. Bagaimana pekerjaanmu? Kau jarang pulang belakangan ini."
"Semuanya lancar, Otou-sama, terima kasih telah menanyakannya. Setelah kejadian luar biasa wabah virus Corona dua tahun yang lalu dan banyaknya virus jenis baru bermunculan, penelitian di sana semakin gencar, karena itu saya hampir tak ada waktu luang."
Kotaro mangut-mangut mendengarnya. "Ya sudah, karena kau sudah di sini, aku ingin kalian tinggal di sini saja. Banyak kamar kosong di rumah ini. Tidak masalah 'kan?"
Sisilia menoleh pada Ambrosio terlebih dahulu sebelum menjawab. Pria itu duduk bersedekap dengan tenang dan mata terpejam bermeditasi. Tetsuya meniru pose ayahnya dengan baik. Melihat anggukan kecil dari Ambrosio, Sisilia kembali menghadap Kotaro dan membungkukkan badan. "Tidak masalah, Otou-sama, kami akan tinggal di sini. Terima kasih atas perhatiannya, Otou-sama. Arigatogozaimasu!"
Ketiganya hendak beranjak, tetapi Kotaro berseru, "chottomatte, Amano-san!" Tunggu dulu, Amano. Ambrosio menatap dingin pada ayahnya. "Jangan lupakan tugasmu menyelidiki dalang insiden di vila onsen Keluarga Yamaguchi! Para tetua klan tidak akan senang melihat kau berleha-leha sementara anak-anak mereka harus dimakamkan tanpa kejelasan."
"Aku tidak lupa, Otou-sama," sahut Ambrosio, "aku ketua penyelidikan tersebut. Kebetulan sekali aku sudah memiliki asisten yang cakap untuk membantu penyelidikanku."
"Oh, siapa?"
"Tentu saja Sisilia, Istriku."
***
Ketika hatimu mengatakan untuk tidak terlibat dalam masalah, kau malah berakhir terlibat di dalamnya.
Sisilia selalu mengalami hal yang bertolak belakang dengan keinginannya. Dia sengaja tidak membahas soal kejadian di vila Keluarga Yamaguchi karena dia memang tak ingin tahu. Itu adalah masalah klan dan di luar wewenangnya. Namun karena dia telah bercinta dengan pria yang salah, masalah akan selalu menjadi bagian dari hidupnya.
Mereka pergi ke vila Yamaguchi yang menjadi tempat kejadian sekaligus meminta salinan hasil otopsi jasad korban. Eiji Yamaguchi menyambut mereka dan menunjukan jalan menuju ruang jamuan malam itu.
"Silakan saja periksa tempat ini, mungkin kalian menemukan sesuatu. Aku sangat berharap masalah ini tuntas. Terus terang saja, mereka menganggapku bekerja sama dengan penjahatnya, padahal aku tidak tahu apa-apa. Aku hanya menyediakan tempat," gerutu Eiji. Ia dan seorang ajudannya menunggu di ambang pintu ruang jamuan.
Ambrosio dan Sisilia masuk ke ruangan itu. Mereka mengenakan masker, sarung tangan dan sarung sepatu untuk menjelajah ruang jamuan yang dikelilingi garis polisi. Genangan darah mengering melapisi lantai dan pola percikan darah menyebar di dinding. Ruangan itu bau amis yang membuat pusing kepala.
Hasil pemeriksaan otopsi para korban yang dilakukan pihak kepolisian, atas laporan Keluarga Yamaguchi, menyatakan semua korban diracuni walaupun penyebab kematian mereka bukan karena racun, melainkan pedang di tangan seseorang yang sedang berada di sisinya. Sisilia menatap tanpa ekspresi pada suaminya itu. "Polisi sudah menyelidiki kasus ini, kenapa tidak kita serahkan saja pada mereka, Ambrosio?" gumamnya.
"Tentu, tinggal penjarakan saja aku, maka kasus selesai," sindir Ambrosio. Lidah Sisilia kelu dibuatnya. "Kasus ini melibatkan puluhan klan yakuza, polisi tidak bisa berbuat banyak selain mengawasi dan menjaga agar tidak terjadi kerusuhan, selebihnya diserahkan kepada pihak klan yang berseteru untuk menyelesaikan masalah dalam klan mereka. Aku masih bebas karena aku keturunan Klan Yamazaki. Jika aku hanya pria biasa aku mungkin sudah mendekam di penjara atau mati dibantai anggota klan yang balas dendam."
Hmm, suatu keuntungan lahir dalam keluarga yang berkuasa dan kaya raya. Hukum manusia tidak bisa menjamahmu. Sisilia berdecak ketus dan mengitarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Ada dua buah meja panjang, yang satu dalam posisi terbalik, yang satunya terbelah dua. Peralatan makan dan minum dari keramik berserakan di lantai yang dilapisi tatami. Beberapa guci sake terbalik dan tertinggal sisa sake yang mulai mengering. Garis putih membentuk posisi jasad-jasad saat mereka ditemukan pertama kali. Sisilia membuka salinan laporan kepolisian dan melihat jenis racun yang terdapat dalam darah korban. Coniine.
Sisilia teringat kutipan Bapak Toksikologi,
Paracelsus, yang menyatakan bahwa: Segala sesuatu adalah racun dan tidak ada yang tanpa racun. Hanya dosisnya yang membuat sesuatu menjadi bukan racun (Dosis sola facit venenum).
Coniine memiliki struktur kimia dan sifat farmakologis yang mirip dengan nikotin. Coniine bekerja langsung pada sistem saraf pusat melalui aksi penghambatan pada reseptor nikotinik asetilkolin. Dengan potensinya yang tinggi, konsumsi dosis kecil dapat menyebabkan kolapsnya pernapasan dan kematian.
Conine dapat ditemukan pada tanaman Conium maculatum, atau poison hemlock.
Tanaman hemlock sering tumbuh liar di padang rumput terutama daerah pinggiran sungai, dekat dengan sumber air. Bunganya berwarna putih dan berkumpul dalam satu tangkai, serupa dengan bunga wortel. Tanaman ini termasuk golongan Adas-adasan. Kandungan alkaloid yang terdapat dalam seluruh bagian tanaman membuat tanaman tersebut beraroma manis wortel dan menarik hewan ternak untuk memakannya. Zat beracun yang dikandung hemlock sebenarnya berfungsi untuk melindungi diri dari pemangsa.
"Jadi mereka memasukkan racun hemlock ke dalam sake yang kalian minum. Tindakan pencegahan yang kau lakukan sangat efektif, Ambrosio. Kau meminum antiracun sehingga racun itu tidak terserap dalam tubuhmu." Sisilia bisa berbangga hati benda buatannya berguna bagi Ambrosio.
"Ehm, karena itu aku benci acara jamuan makan malam," ungkap Ambrosio.
"Kenapa kau datang ke acara itu? Itu seperti kebetulan sekali." Sisilia bergumam heran.
Ambrosio tidak menjawab. Ia tidak mungkin menjelaskan kedatangannya di acara itu untuk membungkam mulut orang yang berani mencemooh dirinya dan sang istri, pada kenyataannya, ia benar-benar membungkam mulut mereka. Orang yang sudah mati tidak akan berbicara lagi.
Sisilia memperlihatkan salinan laporan di tangannya pada Ambrosio. "Coniine memang beracun dan belum ada antidotumnya, tetapi kadar segini tidak cukup mematikan seorang manusia dewasa. Mereka hanya akan mengalami kelemahan otot, kurangnya koordinasi gerakan, gemetaran, perbesaran pupil, dan produksi saliva secara berlebihan. Selanjutnya, gejala itu akan hilang dengan sendirinya." Dia menutup berkas itu lalu memandang berkeliling lagi. Membayangkan dirinya berada di dalam ruangan itu saat kejadian berlangsung. Pria yang mabuk-mabukan, sejak awal sudah sentimen pada Ambrosio. Ambrosio yang arogan dan tidak akan membiarkan dirinya diintimidasi. Wanita-wanita licik yang merayu para lelaki. Senjata-senjata yang disembunyikan, pembantaian .... Tempat itu akan jadi sarang hantu. Sudah pasti. Auranya saja sudah tak mengenakkan.
Sisilia berusaha menganalisa kemungkinan yang terjadi. "Katakanlah mereka sengaja meracuni diri mereka sendiri—menurutku itu sudah jelas, mereka mengatur dosisnya agar tidak mematikan—supaya kau tidak curiga dan ikut makan minum bersama mereka. Mereka berhasil membunuhmu saat kondisimu lemah. Meskipun mereka menjadi lemah karena mengkonsumsi racun kau mungkin akan kalah jumlah. Mereka memperhitungkan kau mungkin melawan, karena itu senjata-senjata itu ada. Di luar dugaan, kau tidak terpengaruh racun itu, makanya mereka sangat mudah dikalahkan."
"Kau dengar itu, Eiji-sama?" ujar Ambrosio pada pria tua yang mengamati mereka dari ambang pintu. Eiji menelengkan kepala dengan gelisah. Ia mendatangi pria itu. Sisilia segera mengiringinya karena tak ingin jauh dari Ambrosio. Bulu kuduknya meremang, merasakan angin dingin membelai tengkuknya sesaat selangkah Ambrosio beranjak.
Di luar ruangan itu, Ambrosio melepas masker serta sarung tangan dan sarung sepatunya. Sisilia melakukan hal yang sama.
"Racun di tubuh mereka hanya tipuan untuk menjebakku. Jadi berhenti berusaha menimpakan tanggung jawab masalah ini padaku," koar Ambrosio di hadapan Eiji. "Aku tahu banyak orang berusaha menjatuhkanku, mereka bisa mencoba, aku tidak peduli. Kematian anak-anak mereka patut disayangkan, jika mereka mau berkaca, jadikan hal ini sebagai peringatan. Jangan coba-coba menikamku dari belakang! Hadapi aku atau menyingkir dari jalanku!"
Ambrosio menarik tangan istrinya dan segera beranjak. "Ayo, Sisilia, kita pergi dari sini!" Ia berujar. Eiji menatap sungkan dan ajudannya membungkuk hormat melepas kepergian mereka.
Ambrosio berjalan cepat sementara Sisilia berlari kecil mengimbangi langkahnya. Mereka berpegangan tangan menyusuri koridor taman vila itu. "Mereka lebih toksik daripada secawan racun," gumam Ambrosio.
"Mereka siapa?"
"Manusia."
"Oh," sahut Sisilia pendek. Dia diam sebentar, memandangi Ambrosio yang menatap lurus ke depan dengan wajah tegang. "Kalau begitu, aku racun juga, dong?" cetus Sisilia.
Ambrosio memasang muka datar dan melirik kesal pada istrinya itu. "Kau berbeda," ujarnya. Begitu tiba di mobil, ia mendorong Sisilia masuk dan langsung menahannya tersandar ke kursi. Ambrosio menatap ke dalam mata hitam bening wanita itu. "Kau bukan racun," desisnya, "kau adalah candu. Candu asmaraku." Lalu mereka berciuman lembut yang menjadi semakin intens seiring laju mobil yang membawa mereka.
***
BERSAMBUNG....