BAB 27

1063 Words
Dalwi mencoba mencari kesana kemari. Dia mencoba mencari keberadaan R8ahmat. Kakinya gemetar, air matanya juga tak berhenti untuk menangis, dia tidak mau menerima mengenai apa yang terjadi. Bagaimana mungkin dia bisa menerima begitu saja? Sedangkan, dia beberapa menit yang lalu masih menemui Rahmat. Dia sangat yakin kalau Rahmat bersama mereka, bahkan Rahmat pula yang menuntun mereka untuk datang ke rumah Ketua RT. Kalau mereka tidak bertemu dengan Rahmat, Dalwi sangat yakin kalau mereka tidak akan selamat dan entah di mana dia sekarang, namun kini, saat berada di rumah Ketua RT ternyata Rahmat sudah membujur kaku. Hal itulah yang membuat Dalwi merasa kalau ini salah. Dia juga berharap kalau ini semua memang terjadi, dia harap ini semua hanya terjadi di alam mimpi. “Lu nggak mungkin meninggalkan, Mat? Lu nggak mungkin ninggalin gua kan?” kata Dalwi yang kesetanan mencari Rahmat ke kanan dan ke kiri. Entah mengapa, bayangan dia yang memeluk Rahmat ketika pertama kali bertemu sebelum akhirnya Rahmat memimpin jalan langsung terlintas di benaknya, dia langsung teringat bagaimana ras pelukan itu. Tubuh Rahmat terasa begitu dingin dan … Li, Dalwi kembali menangis. “gua nggak tau harus ngomong apa sama orang rumah lu, Mat. Cepet balik! gua yang ngajak lu, lu harus pulang dengan kondisi yang sama kayak pas gua ngajak lu! Ayo, Mat! Gua mohon jangan kayak gini!” kata Dalwi sambil menangis. Dalwi adalah seorang laki-laki sejati. Ini kali pertama dirinya menangis. Dan meski seorang laki-laki dia tentulah seorang manusia biasa yang juga memiliki hati, termasuk dia masih memiliki rasa sedih. Tangisan bukan hanya milik perempuan bukan? Menangis bisa dilakukan oleh siapa saja, bukan hanya oleh perempuan saja. Di dunia ini, banyak sekali laki-laki yang ingin menangis namun karena orang-orang berasumsi kalau laki-laki tidak boleh menangis, mereka akhirnya menutupi keadaan hati mereka. Terkadang hal ini menjadi berbahaya, sebab ketika sudah tidak bisa lagi membendung perasaan mereka, mereka akan melepaskannya di saat-saat tertentu. Perasaan yang terpendam lama-lama akan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja dan tak terjadwal. Tidak akan ada yang bisa memprediksinya. “Gel!” seru Bang Opung yang langsung menghampiri Dalwi yang tengah kesetanan. “Kita harus cari Rahmat, Bang.” kata Dalwi. Bang Opung mengusap-usap punggung Dalwi. Mencoba memberikan kekuatan kepada Dalwi. Diantara semuanya Bang Opung paling paham dan realistis, dialah yang tahu kalau ini semua memang benar8 adanya, dia juga sudah memeriksa jenazah Rahmat. “Kita harus ikhlasin Si Rahmat, Gel.” kata Bang Opung. “Nggak, Bang. Rahmat belum meninggal. Dia masih hidup!” seru Dalwi. “Kita harus terima kenyataannya, Gel.” kata Bang Opung. Dalwi pun langsung menatap Bang Opung, “Tapi lu liat sendiri kan tadi Rahmat ada di sini, Bang. Dia yang nganterin kita ke sini, gimana mungkin dia sekarang kayak gini? Ini semua pasti salah, gua yakin kalau kita nggak salah.” kata Dalwi. “Gel, mungkin Rahmat memang nunjukin jalan bisa kita bisa liat keberadaannya dia di mana, sekarang kita harus bener-bener ikhlasin dia, Gel. Kasihan dia kalau kita kayak gini terus. Nanti dia malah nggak tenang.” kata Bang Opung. Bang Opung terus menjelaskan kepada Dalwi dan terus mencoba meyakinkan Dalwi kalau ini semua memang kenyataan. Dia juga mengajarkan kalau ternyata kenyataan memang seperti ini. “Gel, kita harus samperin Ririn, gua harap lu bisa cepet sadar sama kenyataan, Gel. Ririn di dalem, dia syok erat, gua sendiri yang gak terlalu deket sama dia bingung. Dia sama sekali nggak mau ngerespons omongan gua. Gua takut kalau dia kayak gini terus bakalan trauma dia.” kata Bang Opung. Dalwi beristighfar, mencoba meminta kepada tubuhnya sendiri untuk sadar. Sudah cukup atas apa yang dia lakukan hari ini. Yang jelas ada satu orang yang sangat membutuhkannya saat ini juga. Orang itu adalah Ririn. “Di mana dia?” tanya Dalwi akhirnya. “Alhamdulillah. Makasih udah tetap memilih sadar, Gel. Tolong, dia ada di dalam. Kita lalui ini semua bareng-bareng ya?” kata Bang Opung. Dalwi pun langsung menganggukkan kepalanya begitu saja, “Iya, Bang.” jawabnya singkat. Dalwi pun langsung masuk ke dalam rumah Pak RT lagi, di sana masih banyak orang yang berkumpul. Dia langsung mencari keberadaan Ririn. Dia pun akhirnya melihat perempuan itu yang kini tengah duduk sambil memeluk lututnya sendiri di pojok ruangan. Dalwi tentu masih sangat ingat pakaian yang dikenakan itu adalah pakaian Ririn, jadi dia sangat bisa mengenali Ririn meski Ririn dalam keadaan menenggelamkan kepalanya di kedua lututnya. Tangisan Ririn begitu menyayat hati Dalwi. Dia merasa tidak tega melihat8 keadaan temannya yang seperti itu, apa yang harus dia lakukan? “Rin ,,,” panggil Dalwi. Ririn tetap menangis di tempatnya, melihat bagaimana Ririn yang tidak bisa merespons membuat Dalwi merasa sedih, “Ini gua, Degel.” kata Dalwi. Ririn terdiam, dia pun langsung mendongak dan langsung mendapati Dalwi di hadapannya. Lalu, secara refleks tanpa memikirkan apapun lagi, Ririn langsung memeluk Dalwi. Kalau dalam keadaan yang lain, Dalwi tentulah tidak akan pernah mau dipeluk oleh Ririn, namun mengingat keadaannya yang seperti ini dan sepertinya Ririn juga butuh seseorang sehingga Dalwi pun membiarkan Ririn menangis di dalam pelukannya. “Ini semua mimpi kan? Ini semua nggak bener kan?” tanya Ririn yang menangis sambil menumpahkan air matanya di jaket Dalwi di bagian d**a. Tangan Dalwi terangkat, dia pun mencoba mengusap punggung Ririn untuk memberikan ketenangan kepada Ririn yang terlihat ketakutan itu, dia juga tidak tega, sungguh. Berapa kali pun dia berkata, dia tetap ingin mengatakan itu. “gua juga berharap kalau ini semua mimpi, Rin, tapi sayangnya ini memang kenyataannya.” kata Dalwi. Tangisan Ririn semakin pecah, hal itu membuat Dalwi merasa begitu kasihan. “Gua emang benci sama Kodel sama Putri, tapi gua nggak sampai hati berharap mereka meninggal di sini, Gel.” kata Ririn. Dalwi pun menganggukkan kepalanya begitu saja. Dia memang paham apa yang dirasakan oleh Dalwi, “Iya, gua tau.” kata Dalwi. “Dan, siapa yang mapah gua, Gel?” tanya Ririn. Kali ini Ririn langsung melepaskan pelukannya kepada Dalwi, dia langsung menatap Dalwi seakan meminta penjelasan kepada Dalwi. Dalwi pun menghela napas, dia tidak tahu harus menjelaskan apa. “Itu Rahmat. Dia sebaik itu sama kita. Bahkan dalam keadaan dia kayak gitu, dia masih peduli sama kita, anterin kita ke sini, dia juga peduli sama lu, dia juga bantuin lu sampe sini.” kata Dalwi. Ririn pun menangis lagi, tubuhnya gemetar hebat. “Kita lebih baik ikhlasin mereka ya?” kata Dalwi. Ririn pun menangis lagi kemudian menganggukkan kepalanya begitu saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD