“Gel, hape lo nyala nggak?” tanya Bang Opung.
Dalwi pun langsung mengeluarkan ponsel terbarunya yang masih kredit itu dan langsung mengecek keadaan ponsel tersebut, dan ternyata ponselnya mati. Kehabisan baterai.
Dalwi sudah mencoba memencet tombol power agar ponsel miliknya menyala, namun yang terjadi seperti ini. Dia sungguh tidak mengerti mengenai mengapa ponselnya bisa mati disaat-=saat seperti ini.
“Yah, hape gu amati, Bang.” kata Dalwi.
Dalwi tidak berbohong, baterai ponselnya memang sudah habis, jadi ponselnya mati.
Bang Opung sudah tahu sendiri mengenai kemungkinan tersebut.
Selama di gunung, mereka tidak dapat menge-charge ponsel sehingga kemungkinan ponsel Badrun memang sangat tidak ada. Dan bodohnya Dalwi, dia juga tidak memiliki chargerannya. Sebab, dia meninggalkannya ketika masih ada di jakarta. Dia hanya membawa powerbank, itupun sudah tidak ada isinya lagi.
“Kalo lu, Rin?” tanya Bang Opung.
Ririn menggelengkan kepalanya begitu saja, “Hape gua juga mati, Bang.” kata Ririn.
Ini adalah satu kalimat yang keluar dari bibir Ririn adalah sesuatu yang memang sedang ditunggu-tunggu oleh Bang Opung.
“Iya, juga sih.” kata Bang Opung. “yaudah kalau gitu, gue ke Pak RT dulu, gue mau minjem hape sama Pak RT siapa tau dikasih sama Pak RT.” kata Opung.
“Iya, Bang. Silakan.” kata Dalwi.
Sedangkan Ririn hanya menganggukkan kepalanya begitu saja. Dia langsung menatap ponselnya yang ada di tangannya. Dalam keadaan seperti ini Ririn merasa tidak berguna.
“Gua bantuin Bang Opung ya? Lo di sini dulu aja ya?” kata Dalwi.
“Iya.” jawab Ratih.
Kemudian, Dalwi pun langsung berjalan mengikuti kemanapun Bang Opung pergi. Dia tentu tidak enak hati kalau hanya duduk bersama dengan Ririn saja, dia takut dianggap sebagai orang yang tidak melek keadaan.
“Gue temenin, Bang.” kata Dalwi.
Bang Opung menganggukkan kepalanya, tanda menyetujui apa yang dikatakan oleh Dalwi. Tidak keberatan kalau Dalwi mengekori dirinya.
Bang Opung langsung memilih untuk berbicara dengan Pak RUT, dia ingin mengurus kepulangan Rahmat, mereka ingin segera pulang dan menyampaikan kabar duka. Kemudian, Pak RT pun langsung mengatakan kepada Bang Opung kalau Pak RT dan semua warga yang ada di sana akan membantu memulangkan Jenazah.
“Boleh saya pinjam hapenya, Pak?” tanya Bang Opung kepada Ketua RT, “Hape kami sudah mati jadi kami nggak bisa pakai hape kami buat telepon orang yang ada di rumah” Kata Bang Opung yang menjelasan alasan dia meminjam ponsel tersebut, karena dia memang tidak bisa menggunakan ponsel mereka karena kehabisan baterai.
“Kami tidak punya hape, Nak. Lagi pula sinyal belum ada di sini, sehingga warga pun tidak ada yang memiliki hape.” kata Pak RT, “Maklumlah, desa ini hanyalah desa kecil, di mana warganya tidak ada yang melek keadaan dan teknologi.” sambung Pak RT.
Bang Opung dan juga Dalwi menganggukkan kepalanya, mereka mengerti mengenai apa yang Pak RT katakan.
“Oh gitu, baik, pak. Makasih ya, Pak.” kata Bang Opung.
“Sama-sama, Mas.” kata Pak RT.
“Maaf, Pak. Kan tidak ada hape di kampung ini, lalu bagaimana kalian akan membantu kami? Maksudnya bagaimana caranya untuk menginformasikan keberadaan kami di sini kepada penjaga pos gunung ini?” tanya Dalwi.
Dalwi ingin tahu mengenai bagaimana caranya, dia bukannya sedang meragukan, dia hanya sedang penasaran saja. Dan rasa penasarannya itu tidak bisa dibendung begitu saja.
“Saya menyuruh salah satu warga kita untuk menuju ke sana, menginformasikan keberadaan kalian.” kata Pak RT,
Dalwi pun langsung menganggukkan kepalanya begitu saja.
***
Sambil menunggu bala bantuan datang, Dalwi duduk di samping Rahmat, dia menangis lagi, namun air matanya tidak keluar, dia hanya berkaca-kaca menatap batu nisan itu.
“Kalau lu kayak gini, gimana caranya gua bilang ke orang tua lu, Mat?” tanya Dalwi begitu saja.
Diantara semua, Rahmat adalah teman Dalwi yang sangat dekat dengan Dalwi. Bahkan orang tuanya juga sudah sangat kenal Rahmat. Semua yang Dalwi lakuan selalu melibatkan Rahmat agar diperlancar.
Dalwi teringat dosa-dosanya, di mana dia teringat bagaimana dia yang terus memanfaatkan keadaan dengan cara melibatkan Rahmat, padahal dia tidak boleh melakukannya.
“Sorry, Mat. Ini semua bener-bener salah gua. Kalau aja gua nggak ngajak lu ke gunung, lu nggak bakalan begini. Sekali lagi gua minta maaf, Mat.” kata Dalwi kepada Rahmat.
Kali ini tubuh Dalwi bergetar, dia teringat masa-masa kebersamaan dia dengan Rahmat. Dalwi bukannya laki-laki tidak normal yang memiliki rasa kepada sesama laki-laki. Namun, dia murni menganggap Rahmat sebagai sahabatnya. Sebab, mereka sudah bersama sejak kecil sehingga mereka seperti sudah memiliki ikatan batin tersendiri.
“Gue bener-bener nyesel. Gue nggak tau apa yang terjadi tapi gue ngerasa bingung harus berbuat apa. Semua ini udah terjadi, gue juga gak bisa balikin apa yang sudah terjadi.” kata Dalwi, “Bangun, Mat. Jangan bikin gua bingung ngejelasin ke Nyak Babe sama orang tua lu di rumah.” lanjut Dalwi.
Namun, tentu saja, tidak akan ada jawaban dari orang yang sudah meninggal dunia. Dalwi oun membuka kain jarik dan mencoba mencari sesuatu. Dia pun merogoh saku celana yang dipakai oleh Rahmat.
Dalwi ingin tahu mengenai apa yang terjadi. Dan siapa tahu Rahmat memiliki petunjuk di dalam saku-sakunya.
Apapun dan petunjuk apapun sangat diinginkan.
Saat merogoh kantong sebelah kanan, Dalwi pun langsung merasakan ada sebuah kertas, dia pun langsung mengambil kertas itu. Dia langsung mengeluarkan kertas itu dari saku celana Dalwi.
“Ini apa?” tanya Dalwi.
Dalwi tidak langsung membaca, dia ingin mencari Bang Opung dan Ririn untuk memberitahukan temuannya. Dia berharap kalau Bang Opung dan Ririn juga menemukan petunjuk lain.
“Bang, Rin, gue nemuin surat di kantong Rahmat.” kata Dalwi sambil mengacung-acungkan kertas yang dia dapat dari saku celana Rahmat dan langsung memamerkannya kepada Bang Opung dan Ririn.
Tidak ada wajah keceriaan dari mereka bertiga. Bagi mereka bertiga, apa yang terjadi saat ini sangat berpengaruh kepada keadaan psikis mereka. Terlebih mereka harus menghadapi kenyataan kalau ketiga temannya itu meninggal di saat bersamaan dan meninggal di gunung ketika mendaki bersama mereka.
“Itu surat apa?” tanya Bang Opung.
Dalwi pun berjalan lebih mendekat lagi dan duduk di samping Bang Opung dan menyerahkan kertas itu kepada Bang Opung.
“Ini, semua aja ini petunjuk isinya, gua belum tau isi dari surat itu tapi semoga saja dari situ kita bisa dapat petunjuk.” kata Dalwi.
Bang Opung pun menganggukkan kepalanya begitu saja. Ririn di samping mereka langsung mendekat, agar bisa sama-sama membaca isi surat itu. Mereka bertiga memilih untuk membaca surat itu bertiga.