Malam berlalu dengan cepat sehingga matahari pagi mulai bersinar dan terdengar suara kicauan burung dari luar tenda. Keenam pemuda-pemudi itu pun bangun dan bersiap-siap untuk membereskan tenda. Memang sejak kejadian tadi malam mereka tidak saling berbicara sama sekali. Kodel hanya melakukan kegiatan bersama Putri saja. Sedangkan keempat yang lain juga berkelompok.
Saat mengetahui stok makanan sudah habis yang dibawa oleh Kodel, mau tidak mau pria itu pun meminta makanan kepada keempat temannya. “Bro, masih ada bekal makanan, nggak? Putri laper, tuh, kasihan bekal gua udah abis.” Kodel mencoba untuk menelan rasa malu dan meminta makanan kepada rombongan Bang Opung.
“Sini, gabung aja.” Bang Opung menjawab seolah-olah tidak ada hal buruk terjadi tadi malam hanya demi rasa kemanusiaan.
“Thanks, Bang,” kata Kodel yang bersuara lirih karena malu.
Kodel dan Putri akhirnya bergabung di depan tenda Bang Opung dengan yang lainnya untuk sarapan, tetapi terlihat kalau Ririn menjauh dan tidak mau menatap ke arah mereka berdua. Kodel dan Putri merasa biasa saja dan memang sudah sepantasnya diperlakukan seperti itu. Mereka sarapan bersama.
Dalwi yang sejak tadi merasa ada hal buruknya akan terjadi lagi, segera mengutarakan hal itu kepada yang lain daripada dipendam. “Bang Opung and teman-teman yang lain, sorry bukannya gua mau nakut-nakutin kalian, tapi rasanya ada firasat buruk lagi. Gua nggak sanggup lanjutin pendakian ini. Gua mau udahan aja. Ayo balik, aja.”
“Kali ini gua setuju. Udah, balik aja. Gua udah nggak mau lanjut juga,” sahut Rahmat yang merasa tubuhnya musim terasa tidak enak dan memilih untuk pulang saja.
“Gua setuju,” ujar Ririn yang menjawab sepenuhnya saja karena masih kesal dengan Kodel dan Putri.
“Oke, gua setuju. Emang pendakian ini udah nggak beres dari awal. Dah, gua juga setuju buat balik aja. Gua udah nggak tahu harus gimana kalau ada hal buruk lagi terjadi? Dah, balik aja.” Akhirnya Bang Opung setuju dengan apa yang dikatakan teman-teman lain untuk pulang saja.
Kodel dan Putri masih merasa canggung untuk menjawab kata-kata dari teman-teman itu. Mereka juga sudah terlanjur mengatakan ingin pisah saja dan tidak melanjutkan perjalanan bersama dengan keempat temannya karena ketahuan kejadian tadi malam. Dalwi yang melihat gelagat canggung dari kedua temannya itu pun langsung mengajak bicara pada Rahmat secara pribadi.
“Bro, gini .... Kodel sama Putri, nih, kasihan. Emang mereka udah salah, sih, tapi mereka juga nggak tahu jalan. Nah, lu, kan, tahu jalan. Kalau gua sama sekali nggak tahu jalan. Gimana kalau lu temeni mereka?”
“Lah, kok, gua? Nggak mau, ah! Lu tahu mereka zina di sini dan bikin masalah, napa tumbalin gua buat bareng mereka?!” Rahmat jelas aja langsung menolak mentah-mentah karena tidak mau ikut-ikutan terkena sial dari perbuatan yang dilakukan oleh Kodel dan Putri.
“Bentar, bukan gitu maksudnya. Gua ini cuma kepikiran aja sama mereka berdua yang nggak tahu jalan sama sekali. Sedangkan kita berenam datang ke sini bersama, tapi akhirnya ada yang minta pisah. Terus di kelompok kita ini yang tahu jalan dan cocok jadi pemimpin itu sebenarnya ada dua, yaitu Bang Opung sama lu. Gua yakin kalau lu bisa jadi pemimpin buat mereka berdua dan nunjukin jalan yang benar buat pulang. Selain itu Kalau lu bareng terus sama Bang Opung, gua yakin kalau kalian pasti bakal ribut mulu soal nentuin jalan kalau ada cabang soal nentuin berhenti apa jalan terus dan lain sebagainya. Gua cuma kasih saran yang terbaik biar kita berenam bisa turun dari gunung ini dan pulang secara selamat bareng-bareng meski kelompok dipisah jadi dua. Lu paham maksud gua, kan?”
Dalwi menjelaskan secara rinci kepada Rahmat agar tidak terjadi kesalahpahaman dan rasa kalau dikorbankan. Dalwi memikirkan hal ini sepanjang malam dan merasa kalau keputusan ini yang paling baik untuk dilakukan bersama daripada ada yang tersesat dan tidak bisa pulang hanya karena berpisah kelompok. Lagi pula Rahmat juga tahu jalan, jadi Dalwi yakin saja Rahmat bisa jaga Kodel dan Putri.
Rahmat terdiam sejenak untuk mencerna setiap kalimat yang dikatakan oleh teman baiknya itu. Rahmat juga tidak mau menjadi seseorang yang egois dengan mengorbankan kedua teman yang tidak bisa diterima lagi di dalam kelompok karena melakukan kesalahan. Benar kata Dalwi kalau Kodel dan Putri hanya berdua menjalani turun gunung bisa saja tersesat.
“Ya, udah. Gua pikir-pikir bener yang lu bilang. Gua mau, deh. Kasihan juga Kodel sama Putri. Gua juga nggak tega kalau mereka bisa sama rombongan dan nggak tahu arah sama sekali ntar bisa-bisa nggak pulang. Mereka juga udah kehabisan bahan makanan, jadi bisa pakai yang gua bawa.”
“Alhamdulillah kalau lu mau. Gua terima kasih banget sama lu.” Dalwi benar-benar merasa bersyukur kalau Rahmat mau menemani Kodel dan Putri daripada tersesat saat turun gunung.
“Nggak perlu terima kasih soalnya gua juga males sama Bang Opung. Lu tahu, kan? Tiap gua kasih petunjuk soal kemasukan apa pun tentang arah, pasti Bang Opung nggak mau dengar dan bilang kalau gua sok tahu. Gua di sini nggak mau ribut jadi diem aja padahal udah tahu dari awal kalau dia salah ambil jalan. Cuma kalau diingetin keras kepala dan marah, sih. Gua jadi bingung sendiri. Kalau pisah gini, kan, entar kelihatan juga siapa yang bisa bawa pulang lebih cepet.”
Rahmat jadi mengungkapkan rasa kesal di dalam hati yang terpendam selama perjalanan ini karena Bang Opung memang jarang mau mendengarkan perkataan dari temannya. Dalwi langsung semakin merasa tidak enak. Firasat buruk itu semakin terasa nyata meski sudah meminta Rahmat untuk menemani Kodel dan Putri. Dalwi jadi merasa bingung dengan perasaan itu karena takut kalau ternyata justru Bang Opung yang akan membuat Dalwi dan Ririn tersesat atau dalam bahaya.
“Sabar, ya, bro. Gua juga rasa nggak enak tiap kali lu kasih pendapat tapi Bang Opung nggak mau dengar sama sekali. Gua harap lu bisa temeni Kodel dan Putri sampai ketemu lagi di bawah. Yuk, ngomong ke yang lain.” Dalwi langsung mengatakan hal itu karena tidak mau berlama-lama lagi di hutan seperti ini.
“Bang Opung, gini ... Gua sama Rahmat mau ngomong.”
“Ya, mau ngomong apa, silakan.”
“Gini, bukannya gimana-gimana. Kita, kan, ada berenam. Terus si Kodel sama Putri mau pisah rombongan. Gimana kalau Rahmat nemenin Kodel sama Putri. Jadi, rombongan ini dibagi dua. Biar Kodel sama Putri nggak nyasar juga, kan, mereka berdua sama sekali nggak tahu jalan. Setidaknya kalau ada Rahmat mereka jadi ada yang ngarahin.” Dalwi yang memberikan ide dan bertanggung jawab untuk mengutarakan hal itu kepada Bang Opung sehingga teman-teman yang lain juga mendengarkan apa yang menjadi pemikiran Dalwi.
Tentu saja Dalwi mengatakan hal itu di depan kelima temannya sekaligus agar tidak ada salah paham atau pemikiran yang macam-macam di antara mereka. Lagi pula pilihan ini dianggap yang terbaik karena enam orang yang berangkat jika dibagi dua kelompok maka menjadi masing-masing tiga orang. Dalwi merasa lega meski masih merasakan firasat buruk.
“Oh, gitu. Iya, ide bagus kalau begitu. Gua nggak apa. Biar adil aja sekelompok tiga orang dan masing-masing bawa satu cewek. Jadi, ada dua cowok yang ngelindungi. Nggak apa.” Bang Opung sama sekali tidak tersinggung dan setuju dengan apa yang menjadi usul dari Dalwi.
“Oke, Bang. Thanks pengertiannya.”
Setelah itu mereka berenam pun segera mengemasi barang-barang yang akan dibawa pulang. Mereka berenam sudah berpisah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama Rahmat, Kodel, dan Putri. Kelompok kedua Bang Opung, Dalwi, dan Ririn. Mereka akan turun gunung secara terpisah karena memang tidak cocok satu dengan yang lain dan juga karena masalah yang terjadi tadi malam.
Saat hendak berpisah, secara diam-diam Dalwi berdoa di dalam hati karena berjalan di belakang Ririn. “Ya Allah, lindungilah kami berenam untuk bisa turun dari gunung ini. Terutama lindungi Hamba, ya, Allah. Jujur saja Hamba sudah takut dan kapok nyolong duit Enyak. Hamba mohon ampun, ya, Allah. Nggak lagi-lagi Hamba berbuat begini.”
Dalwi mulai merasa takut karena semua kejadian buruk yang terjadi selama pendakian ini sepertinya saling berurutan. Mungkin awal mulanya karena Dalwi sudah mencuri uang di punya untuk membeli ponsel dan hanya untuk pamer semata. Lalu soal Ririn yang memetik cabai sembarangan dianggap sebagai mencuri dan dia ternyata datang bulan tanpa memberitahu yang lain Rizki kejadian sudah dalam perjalanan tetap saja membawa efek kepada yang lain. Hal paling fatal adalah kegiatan lendir yang dilakukan oleh Kodel dan Putri ini membuat rombongan mereka dalam bahaya dan tidak bisa keluar dari tempat itu selama berhari-hari.
Dalwi berdoa di dalam hati memohon pengampunan bagi mereka berenam dan berharap bisa turun gunung untuk pulang. Dalwi semakin merasa tak enak dan takut kalau pulang tinggal nama saja. Bukankah selama ini sering terdapat informasi orang hilang maupun satu kelompok yang pulang hanya nama saja alias tidak selamat saat mendaki gunung. Dalwi merinding memikirkan hal itu. Bagaimana kalau ternyata nasib rombongan mereka akan mengalami salah satu dari hal buruk tersebut? Atau justru mereka berenam tidak bisa pulang karena bekal semakin menipis dan belum bertemu orang lain sama sekali.
“Degel, lu jangan ngelamun, ya?! Lu di belakang sendiri, jadi fokus!” ujar Bang Opung setengah berteriak.
“Oke, Bang! Siap laksanakan!” jawab Dalwi yang sebenarnya merasa ada yang aneh. Seperti ada yang mengikuti dari belakang, padahal mereka sudah berpisah dengan kelompok satu.
Dalwi tidak mau kepo dengan melihat ke belakang karena yakin ada yang tidak beres. Sedangkan Ririn juga memilih menatap lurus ke depan karena takut ada sesuatu hal yang lain di belakang Dalwi meski pagi-pagi seperti itu. Ririn baru percaya kalau makhluk gaib itu tidak melulu datang malam hari, pun juga siang saat matahari terang benderang bisa saja nampak.