.ANGGA.
Tangan Angga menyingkap rok batik yang dikenakan Nadia. Senyumnya sinis ketika memandang Nadia yang memejamkan mata dengan air mata berlinangan.
'Untuk apa menangis kalau dia menunggu setiap pergerakan tanganku?'
Ini bukan kali pertama Angga melakukannya pada perempuan. Tidak ada kecanggungan meski dilakukan tanpa cinta. Hanya sekadar pelampiasan hasrat. Hanya untuk meledakkan bunga-bunga api di kepala. Hanya untuk membuktikan kalau dia lelaki normal meski banyak yang menilai dia berwajah dingin dan datar pada perempuan di kantornya.
Angga menemukan yang dicarinya. Dia mendengkus ketika merasakan jemarinya lembap dan sedikit berair. Dia pun mulai menggerakkan telunjuknya perlahan. Memutar dan sedikit menekan. Nadia menggigit bibir, kedua tangannya meremas seprai. Dadanya bergerak naik turun tak beraturan, membuat Angga semakin meliarkan permainannya.
Didekatkannya bibirnya ke telinga Nadia, "Jangan ditahan. Lepaskan saja."
Nadia membuka mata. Pandangan memohon yang sarat kebencian. Dia benci dilecehkan Angga, tapi tubuhnya menginginkan sesuatu yang harus dituntaskan suaminya. Sekuat apa pun dia bertahan, rasa itu meledak tak terbendung. Ketika jari Angga bergerak semakin cepat, Nadia bergerak-gerak liar. Dia ingin melepaskan diri sekaligus ingin merasakan lebih.
Kedua kakinya mulai dingin dan rasa itu sedang berjalan untuk berkumpul di satu titik. Angga merasa waktunya akan tiba, dia suka melihat perempuan yang sedang berjuang menjemput hasrat. Nadia tak bisa menahan lebih lama. Tubuhnya sedikit terangkat dan sebuah desah kelegaan yang panjang lolos dari mulutnya.
"Bilang saja kalau kamu mau lagi. Tapi jangan meminta yang lebih selain jariku," ujar Angga sambil menarik tangan dan mengelapnya pada ujung seprai.
"Mama tahunya aku tidur di kamar ini. Tapi aku nggak mau sekasur sama kamu. Jadi kamu tidur di kasur biar aku tidur di sofa." Angga menarik sebuah bantal dan selimut lalu meletakkannya di sofa yang ada di bawah meja. "Ganti bajumu. Bersihkan dirimu dan bersikap wajar. Aku nggak mau bikin Mama kesal."
Setelah mengucapkan kalimat-kalimat yang membuat hati Nadia seperti diremas, Angga memejamkan mata. Membiarkan perempuan yang terlihat berantakan dengan baju pengantinnya berjalan tertatih ke kamar mandi. Apa yang dilakukan Angga adalah yang pertama untuknya. Meski suaminya tidak memasukinya dengan benar, k*********a tetap saja ngilu. Rasa nikmat yang tadi terasa hilang begitu saja. Yang tersisa hanya rasa amarah dan kecewa karena terus menerus direndahkan.
'Semua ini pasti karena perempuan itu! Kienar. Angga pasti ke tempat perempuan itu semalam. Seharusnya pernikahan ini sempurna karena telah direncanakan dengan sempurna. Kalau saja perempuan itu tidak terus menerus datang dalam hidup Angga, pasti suamiku sudah memberikan haknya dengan benar semalam. Dan kami sedang merencanakan bulan madu sekarang.'
Nadia menyalakan shower dan mulai melucuti pakaiannya. Di bawah air yang mengalir, jejak air matanya tersamarkan. Dia bersumpah akan membalas hinaan hari ini dengan berusaha memisahkan Angga dan Kienar. Jika perlu untuk selamanya. Sel-sel kelabu di otaknya mulai menyusun rencana-rencana. Dari yang biasa saja hingga yang paling keji. Seperti ajaran papanya, tidak ada ampun bagi para pengkhianat.
(°-°)
Puluhan tahun yang lalu, gadis berkucir dua itu tak tahu jika pertemuannya dengan anak lelaki yang menangis di pinggir selokan akan membawanya pada takdir paling memilukan yang pernah dia temui. Saat itu dia hanya bersimpati pada anak seumurannya yang duduk memeluk lutut dengan bahu bergerak naik turun.
"Kamu kenapa menangis?" sapanya, dia berlutut di samping anak lelaki itu.
Anak lelaki yang menyembunyikan wajahnya tak menjawab, tapi bahunya berhenti bergerak. Gadis berkucir dua meletakkan dagunya di atas lutut. Dia memandangi sepasang ikan guppy yang berusaha melawan arus selokan sehabis hujan.
"Ibu bilang, anak lelaki nggak boleh menangis. Dia harus kuat. Karena dia harus melindungi anak perempuan yang lebih lemah. Anak perempuan lebih cengeng. Seperti Anisa. Dikit-dikit nangis. Tapi aku enggak. Aku nggak gampang nangis. Aku mau kuat seperti anak laki-laki." Gadis kecil itu menegakkan tubuhnya, memandang matahari sore yang sebentar lagi beristirahat di peraduannya.
"Ibu kamu bilang begitu?"
Gadis kecil memandang anak lelaki yang sedang mengelap air mata dengan punggung tangannya. Pandangan ingin tahunya membuat gadis kecil tersenyum. Dia mengangguk.
"Ibu Ani. Dia ibu kita semua. Bukan cuma ibuku. Aku harus berbagi Bu Ani dengan yang lainnya." Gadis kecil kembali meletakkan dagunya di lutut. Sepasang guppy di selokan sudah pergi. Arus selokan bertambah deras, pertanda sedang hujan di hulu.
"Apa saudaramu banyak?" tanya anak lelaki penasaran.
Gadis kecil berdiri dan memandang anak lelaki yang menengadah padanya. Dia ingin menjawab pertanyaan itu tapi daerah hulu sudah berselimut awan hitam. Jika perkiraannya benar, sebentar lagi akan turun hujan deras. Gadis kecil harus bergegas jika tidak ingin dimarahi Ibu Ani atau orang dewasa lainnya.
"Kamu nggak dicari ibumu? Sebentar lagi hujan, lho." Gadis kecil balik bertanya. Dia memandang berkeliling. Mencari keberadaan orang dewasa di sekitar anak lelaki itu.
"Aku nggak tahu ibuku di mana," jawab anak lelaki sedih. Dia memeluk lutut dan mengabaikan angin yang mulai bertiup kencang.
"Kamu yatim piatu?" tanya gadis kecil, dia berjongkok menghadap anak lelaki. Memandangi seraut wajah dengan hidung mancung dan bulu mata yang lentik.
Anak lelaki menggeleng. Dia membenamkan wajah di kedua lututnya. Angin menerpa tubuh kecil keduanya, membawa anak-anak hujan yang tak sabaran untuk turun.
"Aku nggak mau lama-lama di sini. Kita bisa kehujanan. Lalu kedinginan dan sakit. Aku nggak boleh sakit. Nanti Ibu Ani susah. Kami nggak punya uang untuk memanggil Dokter Sastro."
"Aku nggak menyuruhmu untuk tinggal. Kalau mau pergi, pergi saja!" teriak anak lelaki kesal.
Gadis kecil menyadari, anak lelaki ini tidak punya teman. Mungkin dia sedang marah pada ibunya dan ingin sendirian tanpa diganggu. Dia juga pernah sangat marah pada Ibu Ani dan bersembunyi di lumbung orang desa. Waktu itu dia bertengkar dengan anak lain dan Ibu Ani memarahinya padahal bukan dia yang melakukan kesalahan. Karena kesal dimarahi dan dijauhi anak lain, gadis kecil berlari ke luar dan bersembunyi di lumbung.
"Aku akan merasa bersalah kalau meninggalkanmu di sini. Aku nggak mau kepikiran semalaman. Kalau kamu nggak mau ketemu ibumu, ikut aku saja!" Gadis kecil mengulurkan tangan. Dia menunggu anak lelaki menyambut ulurannya, tapi yang ditunggu sungguh bebal.
Karena kesal, gadis kecil menarik paksa anak lelaki di hadapannya dan membawanya berlari melintasi padang rumput. Hujan mengejar di belakang mereka seperti monster kejam yang akan memangsa anak kecil. Mereka berlari sangat cepat hingga tak sadar genggaman keduanya terlepas. Anak lelaki yang sebenarnya tidak mau kehujanan mengikuti langkah gadis kecil. Dia hanya malu untuk meminta tolong pada gadis kecil yanv baru saja dikenalnya itu. Bahkan sampai sekarang, ketika mereka sudah tiba di depan bangunan tua dan hampir roboh, dia tidak tahu nama gadis kecil penolongnya.
"Kamu tunggu di sini, akan aku ambilkan selimut dan pakaian ganti. Tempatnya emang kumuh tapi di dalam hangat. Ini tempat favoritku melarikan diri." Gadis kecil tersenyum dan membuka pintu gudang lebar-lebar.
Aroma perabot tua menguar dan kegelapan menyergap mata keduanya seperti malam. Butuh beberapa detik untuk mereka menyesuaikan diri.
"Ini apa?" tanya anak lelaki keheranan. Tempat ini mengingatkan pada ruangan yang baru ditinggalkannya beberapa saat lalu.
"Ini gudang. Kamu tinggal di sini untuk sementara waktu, ya."
"Ap-apa? Kamu suruh aku tinggal di gudang? Rumahmu besar. Apa tidak ada satu ruangan untukku?" Anak lelaki memandang bangunan bertingkat yang berjarak cukup jauh dari gudang. Terlihat lebih nyaman dari ruangan di depannya.
"Aku nggak bisa ngajak kamu ke sana. Butuh waktu untuk menjelaskan pada Ibu Ani. Aku nggak mau kena hukum lagi."
"Kamu tinggal bilang kalau ada teman menginap. Aku sering membawa teman ke rumah. Mamaku nggak marah."
"Kamu punya mama? Tadi katanya yatim piatu." Gadis kecil kesal karena merasa dibohongi.
"Aku nggak bilang begitu. Kamu saja yang menyimpulkan seperti itu." Anak lelaki membuang muka, merasa kesal karena sudah dikira yatim piatu.
"Kalau kamu punya orang tua, kamu harus pulang. Nggak bisa tinggal di sini!" Suara gadis kecil mulai mengeras.
"Kenapa aku nggak bisa tinggal di sini?" Anak lelaki menatap tajam mata gadis kecil.
"Karena ini rumah untuk yatim piatu seperti aku!" jawabnya setengah berteriak. []
©elopurs-2020