Satu

1809 Words
"Papa tidak setuju!" Adelia masih mengingat jelas, penolakan sang ayah ketika dia bilang ingin menikah dengan kekasihnya Januar. Seorang pria dari latar belakang biasa-biasa saja yang ia temui di bangku kuliah. Pria yang mencintainya dengan tulus tanpa tau siapa jati dirinya selama ini. Setelah bertahun-tahun menghabiskan waktu bersama, beberapa hari lalu Januar resmi melamarnya. Memintanya sebagai pendamping seumur hidup. Penolakan sang papa jelas sudah dia prediksi. "Aku tetap akan menikah dengan Januar." Jika sang Papa bisa menjadi keras kepala, begitupun Adelia. Ia menatap sang Papa tenang. "Papa nggak akan bisa ngelarang aku. Aku akan tunjukkin kalau pernikahanku nanti akan tetap bahagia dan semua ketakutan Papa soal Januar tidak ada yang benar." "Kamu tidak akan pernah bisa meninggalkan segala kemewahan yang telah Papa beri untuk kamu." "Siapa bilang aku nggak bisa?" Kalimat Papanya waktu itu menjadi pemicu Adelia berbuat nekat. Kabur dari rumah, memutus segala hubungan dengan keluarganya. Paling ekstrim ia meminta tolong salah seorang teman untuk tetap tutup mulut mengenai keberadaannya. Membuat keluarganya yang mengira dia kabur ke luar negeri, tidak tau bahwa Adelia masih hidup dan bernapas di kota yang sama. Namun, seberapa lama pun Adelia bersembunyi ia harus mengakui bahwa kuasa keluarganya terlalu besar. Hanya menunggu waktu hingga keberadaannya tercium. Sayang, ketika itu terjadi Adelia harus menelan malu bahwa apa yang ia yakini tidaklah benar. Pernikahan yang ia yakini bertahan seumur hidup, berakhir dalam kurun waktu 3 tahun. Mobil yang membawa Adelia masuk ke sebuah kompleks mewah. Jangan salah sangka, kompleks yang dimasuki bukanlah kompleks yang dihuni oleh beberapa rumah yang memiliki pemilik berbeda-beda. Seluruh bangunan dan tanah yang ada di dalam kompleks ini adalah milik keluarga Adelia. Kompleks besar ini diisi oleh berbagai fasilitas seperti supermarket, sekolah hingga gedung perkantoran yang mengurus urusan internal rumah. Kediaman keluarga Adelia berbeda dari keluarga lain, sebab mereka seolah membentuk peradaban sendiri di tengah padatnya Jakarta. Semua penghuni kompleks ini adalah keluarga dan pekerja yang sudah mengabdi dari generasi ke generasi pada keluarga Adelia. Mobil itu memasuki area sebuah rumah besar yang ada di sisi paling dalam perumahan. Sebuah rumah besar bak istana berwarna hitam berkilauan berdiri kokoh. Rumah yang sudah diwariskan secara turun temurun itu, adalah kediaman khusus kepala keluarga mereka. Keluarga Padma. "Papa merindukan kamu, Del." Adelia yang terdiam sejak tadi, menoleh. Mendapati kakak keduanya, Arkana kini mengusap puncak kepalanya penuh sayang. Seolah sadar akan apa yang sedang diresahkan oleh si bungsu yang sudah lama meninggalkan rumah. Walau tak bisa dibantah ada kekecewaan atas keputusan si bungsu yang lebih memilih orang lain daripada keluarganya sendiri. Tak pernah sekalipun keluarganya memikirkan untuk membuang Adelia. Terlebih sang Papa. "Kamu selalu disambut dengan tangan terbuka di rumah ini." Pintu di samping Adelia terbuka, menampakkan sosok sang Papa yang masih segar bugar meski usianya sudah melewati usia 50 tahun. Ekspresinya nampak lega bukan main kala mendapati keberadaan Adelia. Cepat-cepat kepala keluarga Padma itu memeluk putri bungsunya erat-erat. "Nak, kamu pergi terlalu lama." Tanpa sadar air mata Adelia kembali berlinang. Merasa bodoh bahwa dia telah membuang semua kehangatan ini hanya demi bersama pria tidak tau diri seperti Januar. Tidak menyangka bahwa dia terbutakan oleh cinta, tanpa memberi kesempatan pada keluarganya untuk memberikan alasan kenapa mereka menentang hubungan Adelia dan Januar. "ADELIA!" Dari balik punggung sang ayah, Adelia bisa melihat 3 kakak laki-lakinya ikut berlari tergopoh-gopoh keluar dari kediaman utama. Wajah mereka terlihat lega bukan main, akhirnya menemukan keberadaan adik bungsu mereka. Sorot mata khawatir itu tetap sama. Tak ada satupun dari mereka yang menatapnya penuh amarah. Yang ada hanya tatapan rindu dan khawatir. "Maafin aku," bisik Adelia lantas menangis sejadi-jadinya dalam pelukan sang Papa. Menyadari bahwa untuk pertama kalinya, keputusan yang ia ambil salah besar. *** Padma. Di kalangan masyarakat biasa, itu hanyalah sebuah nama tanpa arti apa-apa. Beberapa mungkin teringat dengan hotel-hotel mewah dan megah yang kerap ramai di saat libur panjang. Namun, jika bicara soal nama Padma bagi kalangan masyarakat atas. Maka, itu lebih dari sekedar nama. Padma adalah keluarga yang berada di puncak tertinggi kelas atas. Kekuasaan dan kekayaan mereka sudah diluar nalar. Keluarga ini sudah memasuki generasi keempat, namun tali persaudaraan dalam keluarga tersebut masih terjalin begitu erat. Mereka adalah bukti langka bagaimana sebuah nilai yang diteruskan secara turun temurun terus dipegang teguh akan memperkuat hubungan keluarga satu sama lain. Itulah kenapa, meski keturunan mereka sudah bertambah begitu banyak. Seiring meluasnya anak-anak perusahaan mereka, tidak pernah terjadi perebutan kekuasaan. Semuanya tunduk dan patuh pada mereka yang menduduki posisi sebagai 'keluarga utama'. Adelia Leila Padmasari, adalah anak terakhir dari Heri Padmana. Kepala keluarga Padma saat ini. Satu-satunya perempuan dari 5 bersaudara. Umumnya keluarga dengan kekayaan yang diwariskan turun temurun ini, akan condong mendahulukan putra-putra mereka sebagai ahli waris. Namun, di keluarga Padma semua orang berhak menjadi pewaris utama tanpa terkecuali. Itulah kenapa semua orang berjuang dan menunjukkan kemampuan mereka saat ini. Menunjukkan bahwa mereka layak untuk menjadi pewaris keluarga Padma berikutnya terlepas dari hubungan keluarga ataupun gender. Sebelum dirinya benar-benar angkat kaki di rumah, Adelia merupakan salah satu 3 kandidat terbaik pewaris keluarga Padma. Bersama sang kakak sulung dan salah seorang sepupu mereka yang kekerabatannya sudah sedikit jauh. Hilangnya Adelia dari lingkungan sosial kalangan atas jelas menimbulkan banyak rumor-rumor buruk. Salah satunya terjadi perebutan posisi antara si bungsu dengan sang kakak sulung yang merasa posisinya terancam. Padahal kenyataannya- "Makan seafood yuk." Hari masih sangat begitu pagi, ketika tanpa aba-aba kakak sulungnya, Alex, merangsek masuk ke kamar. Seingatnya ia diberitahu sang kakak memiliki perjalanan bisnis ke Swiss, jadi sangat membingungkan kenapa kakak sulungnya itu justru berada di sini. Tidak mengenakan pakaian formal sama sekali. "Kak, masih jam 4 pagi." Sebisa mungkin, Adelia mempertahankan posisinya yang bersembunyi di bawah selimut. Jelas tidak mau ketahuan bahwa dia kembali menangisi nasibnya semalam suntuk meski sudah 2 minggu sejak dirinya kembali ke rumah. "Nggak ada restoran seafood yang buka jam segini." "Pokoknya kita makan seafood." Dari balik selimut yang membungkus rapat-rapat seluruh tubuh sang adik, Alex mengusap-ngusap puncak kepala si bungsu dengan penuh kasih sayang. "30 menit ya, yang lain juga ikut kok." Setelah berucap seperti itu, terdengar suara satu tepukan sebelum selimut yang membungkus Adelia ditarik paksa. Sang puan tersentak bukan main, terlebih kala beberapa pekerja rumah wanita secara kompak menggotongnya ke kamar mandi. Tak memperdulikan nona muda mereka beberapa kali berseru heboh. Alex hanya tertawa puas, seraya melambaikan tangan kecil sebelum pintu kamar mandi ditutup rapat-rapat dan samar suara air mengalir terdengar. Ekspresi jenaka Alex, langsung berubah suram. Ia berjalan keluar kamar, lantas menoleh pada laki-laki berjas hitam yang hanya berbeda beberapa tahun darinya itu. "Periksa apa saja yang Adelia alami selama 3 tahun ini. Berikan juga laporan lengkap tentang laki-laki b******k bernama Juan yang sudah menyia-nyiakan adik saya itu. Lakukan secara diam-diam, rapi, dan cepat." "Baik Pak." "Oh dan sampaikan sama ayah, maaf dia tidak bisa ikut liburan kali ini." *** 3 tahun hidup sebagai orang biasa tanpa gelimang harta, cukup untuk membuat Adelia lupa seberapa 'gila' kekayaan keluarganya itu. Seharusnya dia tau ketika sang kakak mengajak makan seafood yang dimaksudkan bukanlah mencicipi hidangan laut di sebuah restoran. Kakaknya cukup gila memboyongnya ke Miami, untuk melahap seafood di salah satu restoran langganan keluarga mereka selama bertahun-tahun. Pergi dari satu negara ke negara lain sudah menjadi kebiasaan mereka, mengalaminya lagi setelah selama ini hidup sederhana jelas membuat Adelia tersadar bahwa keluarganya tidak bisa dikatakan 'normal'. "Sebenarnya makan seafood tuh alasan Bang Alex aja." Andre, kakak ketiganya itu berucap dengan nada pelan. Jelas tidak ingin perbincangan mereka terdengar oleh si sulung yang duduk di barisan terdepan sembari menyelesaikan beberapa berkas pekerjaan. Duduk berdampingan dengan kakak kedua mereka, Arkana yang nampaknya dihantam kesibukan serupa. Berbanding terbalik dengan kedua kakak kembarnya Andre dan Andri yang memang memiliki waktu luang pada perjalanan kali ini. "Bang Alex beberapa tahun ini suka beli karya seni." "Buka suka lagi, tapi tergila-gila." Sahutan itu ditimpali oleh Andri yang dengan mudahnya menarik satu kartu bertuliskan +4 dari permainan UNO yang sedang mereka mainkan. "Aneh banget." "Bukannya Kak Alex emang suka karya seni ya?" balas Adelia dengan tenang meletakkan selembar kartu bertuliskan +4 serupa yang sukses membuat Andre menghela napas berat. Lantas mengambil 8 kartu dari tumpukan secara mandiri. "Maksudku, dari awal Kak Alex sama kayak aku kok suka sama karya seni." "Kalau kamu kan sejak awal memang suka nemuin langsung para pelukis atau kurator seni kan? Bang Alex kan nggak pernah beli karya seni secara langsung biasanya melalui perantara Mas Bian." Bian, salah satu sepupu mereka yang memang berkecimpung di dunia seni. Berbeda dengan yang lain, ia tidak berminat sedikitpun berkarir di perusahaan manapun yang berkaitan dengan keluarga Padma. Lebih senang menjelajahi dunia sebagai kurator seni yang menghubungkan pembeli dan penjual dari seluruh dunia. 4 tahun lalu menikahi seorang perempuan berkebangsaan Spanyol dan terus hidup tak menetap di suatu negara. Dari perbincangan dua kakak kembarnya saat ini, Bian sedang berada di Alaska mengejar seorang seniman yang terus menolak menjual karya padanya. "Jadi Kak Alex sekarang beli karya seni langsung ke pembuatnya?" "Nggak, dia beli lewat kurator. Kalau nggak salah namanya-" *** "Mas, lo serius?" Pria yang sedang menikmati semangkuk soto yang sudah dibuatkan sang adik dengan susah payah mengumpulkan bahan-bahannya itu, melempar tatapan tak paham. Tak mengerti maksud dari pertanyaan adik perempuannya yang berdiri di ambang pintu dapur sembari berkacak pinggang. "Serius, dia udah jalan kesini malah." "Mas ini udah lebih dari 3 kali kita deal-deal an lukisan sama dia. Dan setiap karya itu harganya selalu membengkak dari harga pasar. Lo nggak takut apa Mas?" Sang puan, menghela napas menarik salah satu kursi meja makan. Lantas menatap kakaknya serius. "Lo nggak takut kita ketahuan?" "Tenang aja, nggak akan." Pria itu berucap percaya diri seraya mengusap lembut puncak kepala sang puan yang terlihat khawatir. "Gue udah periksa secara cermat rekam jejak dia di dunia seni. Dan dia memang tipikal orang awam, Mas rasa dia nih tipikal orang-orang banyak duit yang beli karya seni cuman sekedar buat digelapin atau ya gede-gedean gengsi aja sama sirkelnya. Sasaran empuk kan?" Perempuan tersebut tak menjawab, ia melirik ke belakang. Lebih tepatnya ke arah studio lukis yang kini ada sebuah lukisan di kanvas besar. Sebuah lukisan yang baru saja ia rampungkan. "Ini kali keempat Mas jual replika lukisan pelukis terkenal ke dia loh. Aku takut ketahuan." "Nggak akan, lagian kalau ketahuan." Tangan laki-laki itu bergerak merogoh saku celananya. Memberikan sebuah kunci yang sang puan tau benar kunci untuk sebuah rumah tersembunyi mereka. "Kamu bisa ambil semua yang ada disana, dan lari sejauh mungkin. Mas nggak akan biarin kamu ikut terseret ke dalam masalah ini." "Entahlah Mas, rasanya perasaanku nggak enak untuk lukisan ini." Kini perempuan tersebut mengigit kukunya, kembali merasa gelisah. "Kamu nggak ngerasa aneh informasi soal orang bernama Alex Padmana ini sedikit banget?" "Justru informasinya yang sedikit ini, berarti dia bukan sosok berpengaruh di kalangan atas." Pria itu meneguk sedikit soda kalengan yang adiknya suguhkan. Jelas bukan pendamping yang cocok untuk semangkuk soto hangat. "Dia pasti tipikal orang yang sedang berusaha membesarkan gengsinya, dan terlihat berkuasa. Padahal nyatanya dia bahkan tidak sadar sedang ditipu berkali-kali."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD