Prolog

595 Words
"Dengan ini, saya resmi menyatakan saudara Januar Handika dan saudari Adelia Padmasari bukan lagi sepasang suami istri." Suara ketukan palu yang terdengar sebanyak 3 kali, menyadarkan Adelia bahwa apa yang sedang ia saksikan bukanlah sekedar mimpi. Di depan sana, hakim dan para panitera sudah mulai pergi dari ruang sidang. Menyisakan dirinya yang hanya bisa terpaku, masih tidak percaya di hari jadi pernikahannya yang ketiga tahun. Resmi pula ia menyandang status janda. Ia menoleh ke samping, mendapati bahwa kursi yang ditempati sang suami. Maksudnya, mantan suaminya sudah kosong. Januar keluar secepat kilat dari ruang persidangan bersama pengacara mahalnya. Ketidakhadiran anak dalam pernikahan mereka membuat proses perceraian berjalan begitu lancar tanpa hambatan. Apalagi Adelia tidak bisa menyewa pengacara yang lebih mumpuni dan hanya bisa mengandalkan pengacara dari pengadilan agama. Adelia berjalan keluar dari ruang pengadilan, bertepatan dengan perutnya yang berbunyi kelaparan. Sesuatu yang tak begitu ia pedulikan. Sebab meski perutnya bergemuruh tak terlintas sedikit pun hasrat untuk melahap makanan apa pun. Lidahnya terasa pahit, begitu pun tenaganya yang terkuras habis ketika yang ia lakukan hanya duduk di dalam ruangan sana. "Mau nebeng pulang sama aku nggak Mbak?" Langkah Adelia terhenti, menoleh ke arah tempat parkir. Menemukan seorang perempuan yang mengenakan gaun ketat, dan jaket tersampir di bahu menyapanya riang. Secara terang-terangan memeluk salah satu tangan Januar dengan begitu mesra. Tatapannya memang penuh perhatian, namun terlihat sekali bahwa dia sedang mengejek Adelia saat ini. Dirinya yang hanya mengenakan kemeja dan celana bahan usang, hendak berjalan menuju gerbang utama yang sangat jauh dari tempat parkir. Berniat menaiki angkot menuju kontrakan 3 petak yang sudah beberapa minggu ini ia huni, semenjak dirinya didepak keluar dari rumah yang telah ia huni selama 3 tahun ini. "Nggak usah, saya bisa pulang sendiri." Adelia menahan diri untuk tidak meledakkan amarahnya. Tidak ingin menunjukkan dirinya lemah, tepat di hadapan orang-orang yang sudah menyakitinya. Pandangannya lantas beralih pada Januar yang bersikap tidak peduli. "Semoga hubungan yang kalian mulai dengan cara tidak benar itu, berakhir bahagia." Tanpa memperdulikan wajah Januar yang tersinggung, Adelia berjalan pergi. Menuju gerbang utama yang masih begitu jauh. Tanpa sadar gigi Adelia bergemeletuk. Harga dirinya terluka bukan main. Diselingkuhi bahkan kedua mertuanya merestui perselingkuhan itu. Dia yang sudah mengabdi selama 3 tahun menjadi menantu taat di rumah itu, terbuang begitu saja hanya karena selingkuhan sang suami memiliki kekayaan berlimpah. Tidak sebanding dengan Adelia yang hanya menjadi ibu rumah tangga biasa. Ia bahkan tidak bisa mengandung seorang anak selama 3 tahun ini. Air mata Adelia tanpa sadar jadi bertumpuk di pelupuk mata. Ia meneguk ludahnya kasar, merasakan dadanya sesak. Cepat-cepat ia menghapus air mata yang terjatuh, namun seiring usahanya itu. Air mata yang turun justru semakin bertambah. Adelia mengumpat kecil, berharap mobil yang membawa Januar dan selingkuhannya itu tidak lewat. Sehingga ia tidak perlu terlihat memalukan seperti ini. Tangisan Adelia sedikit mereda, ketika sebuah mobil hitam berhenti tepat di depannya. Pintu di area penumpang depan terbuka, menampilkan seorang laki-laki setengah baya berjas hitam memegang sebuah tablet. Laki-laki itu tak bicara banyak, hanya membukakan pintu bagian penumpang. Membuat Adelia bisa melihat seorang laki-laki berkemeja hitam yang usianya tak jauh darinya duduk di dalam sana. "Sudah mendapatkan pelajaranmu?" tanya laki-laki itu tenang. Raut wajahnya terlihat kesal, namun ketika dia menatap penampilan Adelia dari atas hingga bawah. Tatapannya perlahan berubah menjadi lembut. "Pulanglah, Papa tetap menunggu putri satu-satunya untuk pulang." Adelia menerima sapu tangan katun yang disodorkan pria paruh baya itu padanya. Mengusap air mata dan ingus yang sempat keluar. Matanya yang memerah itu berubah menjadi dingin. Ia mengepalkan tangannya, merasa malu bahwa keputusannya selama ini ternyata salah. "Maaf." "Pulanglah Adelia. Kami tidak pernah benar-benar membuangmu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD