+#- 10

1487 Words
Rangga. Kehangatan seorang keluarga akan semakin terpancar jika salah satu dari mereka saling perhatian, menyayangi, dan peduli. Itu semua yang gue lihat dari tingkah Anjar, banyak yang menyangka jika Anjar sosok kasar dan serampangan, tapi pikiran mereka akan berubah 180 derajat saat melihat apa yang gue lihat saat ini. Sosok kasar dan badung itu saat ini tengah sibuk mengompres luka memar yang ada di pipi, tangan, dan lengan sang ibu, gue tertegun saat melihat bagaimana lembutnya Anjar memperlakukan ibunya sendiri. Sesuatu yang nggak pernah gue lakukan selama ini, jangankan memerhatikan ibu gue, melihatnya pun bisa di hitung dengan jari. Ibu dan ayah gue selalu sibuk dengan pekerjaannya, pulang hanya beberapa jam, basa-basi soal kabar gue dan setelahnya pergi entah kemana, gue pun nggak tau, dan nggak mau tau. Gue menghembus nafas berat, beranjak dari sana dan berusaha mengenyahkan rasa cemburu yang perlahan menyeruak masuk, terlebih rasa iri saat melihat bagaimana hubungan Anjar dengan sang ibu. Entah kapan gue akan merasakan itu juga. Sahabat gue itu beruntung, memiliki seorang ibu yang begitu lembut dan penyayang seperti "Mbok, lagi apa?" Gue tersenyum saat menemukan mbok Narmi duduk di ruang keluarga dengan tv menyala, menayangkan sinetron kegemaran emak-emak jaman now, acara dengan judul yang memusingkan kepala, Seperti saat ini, Mama tiriku kakak dari suamiku. Jujur gue nggak paham dengan selera emak-emak seperti mbok Narmi yang bahkan akan memiliki cucu sebentar lagi. Sebenernya, mbok Narmi itu sudah pensiun dan menikmati masa tuanya di rumah dengan keluarga tercinta, hanya saja setelah kepergian suaminya karena kecelakaan membuat mbok Narmi memilih melanjutkan pekerjaan di rumah kami, alasannya tak ingin terlalu larut mengenang mendiang suaminya, dan tak tega meninggalkan gue sendirian. Gue tersenyum menatap mbok Narmi yang masih saja sibuk dengan kain dan jarum rajut di tangannya, sebuah sweater rajutan sudah hampir selesai di buat mbok Narmi, kegiatan yang selalu di lakukan saat senggang seperti ini. "Mbok, ngapain?" Tanya gue lagi setelah duduk tepat di sebelahnya, membuatnya sedikit terkejut dan menoleh kearah gue. Beliau tersenyum sekilas lalu kembali fokus dengan kegiatannya. "Belum selesai emang, mbok?" "Ini loh, mas. Sebentar lagi selesai, harusnya kemarin selesai tapi mbok males banget mau nerusin, ini baru kepikiran sekarang." Gue mengangguk paham, memperhatikan tangan lentik yang sudah lihai menautkan benang satu dengan yang lain. Jari keriput yang memancarkan pesona indah di sana. Tanpa tangan itu mungkin gue nggak akan bisa menjadi sosok diri gue yang sekarang. Walau gue kesepian, setidaknya gue masih memiliki mbok Narmi yang selalu ada di sisi gue, bahkan saat gue terpuruk sekalipun, beliau yang selalu menjadi orang pertama yang berdiri menyanggah gue. Sosok pahlawan yang selalu berharga di hati gue, dialah sosok ibu yang selama ini tak pernah aku dapatkan dari ibu kandungku sendiri. "Mbok sih malesan, coba aja udah selesai pasti bagus itu mbok." Mbok Narmi menoleh, dengan wajah menunduk dia menatap gue melalui celah kacamata minus yang ia kenakan, tataan ala nenek-nenek yang sudah berumur. Gue tersenyum menyaksikan tingkah konyolnya. "Emang beneran bagus ya, mas?" Tanya mbok lagi, dan gue hanya mengangguk sebagai jawaban, dan emang nyatanya rajutan mbok Narmi ini bagus, rapi dan motifnya juga kekinian. "Buat siapa emang mbok?" Tanya gue penasaran, siapa tau aja kan, ini rajutan di buat untuk gue, asli nggak akan nolak gue, secara bagus gitu. Mbok Narmi kembali melirik gue lalu terkekeh pelan dan melanjutkan kegiatannya tanpa menjawab rasa penasaran gue. "Mbok ...." Bodok amat sama rengekan gue. Secara penasaran juga kan. "Buat siapa?" "Assalamualaikum!" Ucapan salam itu menarik perhatian gue, segera gue beranjak dan melihat siap yang datang, di sana Emi berdiri di depan pintu, dengan tingkat di sebelah kiri yang menyanggah tubuhnya. "Eh, waalaikumsalam, udah sampek aja Lo em?" Tanya gue, sembari mendekatinya. "Iya, baru aja sampek, lumayan macet jalanan jam-jam segini." Gue mengangguk, memperhatikan penampilan Emi yang malam itu terlihat basah, mungkin di luar masih gerimis dan Emi menerobos rintik hujan hingga membuat bajunya basah. "Yuk masuk, si Anjar di kamar tu tuh, sama ibunya." Kata gue lagi mempersilahkan Emi masuk. Emi mengikuti langkah gue dengan tatapan yang mengitari sekita, gue tersenyum melihat gelagat Emi, bisa di bilang ini kedua kalinya cewek ini bertandang kerumah gue dan wajar kalo dia masih terkagum dengan isi rumah gue yang tergolong mewah. "Tapi kayaknya Lo ganti dulu deh, Em. Basah gitu baju lo." Ucap gue melihat kondisi Emi yang agak menggigil karena kedinginan. "Nggak papa deh, nggak. Basah di depan doang kok." "Yakin?" Emi mengangguk pelan sebagai jawaban, cewek ini emang agak irit omong, sampek gue bingung mau ngomong apaan. "Yaudah kalo gitu, tapi emang siap liat Anjar ngamuk karena baju Lo basah?" Pancing gue, jujur gue kasihan juga liat dia menggigil, dan ukuran tubuh dia kayaknya pas deh sama mbok Narmi. "Kalo mau ganti, nanti gue tanyain mbok Narmi, beliau kayaknya ada simpen baju anaknya deh." Emi terdiam, mungkin sedang berpikir gimana baiknya. Hingga satu anggukan kecil membuat gue gemas dengan tingkahnya, mungkin ini yang membuat Anjar betah dengan cewek satu ini. Kalo gue jujur lebih baik Nyerah deh. "Oke, sebentar biar gue tanyain." Ucap gue berlalu meninggalkan Emi dan mendatangi mbok Narmi yang masih asik ngerajut di ruang keluarga. "Mbok, ada nyimpen baju Fiona nggak?" Tanya gue, mbok Narmi menoleh sebentar lalu mengerutkan kening. "Buat apaan, mas?" Gue menggaruk tengkuk gue yang nggak gatal, malu juga sih tanya baju cewek ke emaknya langsung, tapi ya gimana lagi dari pada Emi kedinginan kan. "Itu mbok, temen Anjar dateng bajunya basah, kedinginan deh kayaknya." "Oh ya?" Tanya mbok laku terdiam sebentar, "kayaknya masih ada beberapa deh di lemari mbok, sebentar mbok carikan dulu." Gue bergerak gelisah menunggu mbok, laku dari pada menunggu di sini dan ngebiarin Em sendirian akhirnya gue memilih menghampirinya. "Sebentar ya, Em. Masih di cariin sama mbok." Em hanya mengangguk dan masih berdiri dengan tongkat di yang menopangnya, gue yakin itu pasti capek banget, ringisan gue keluar begitu saja. "Duduk dulu deh Em, pasti Lo capek kan?" Kata gue mempersilahkan Ema untuk duduk, dan hanya di balas gelengan pelan. Gue mendengus, emang bener-bener irit suara ini mah. "Nggak papa santai aja, duduk dulu sambil nunggu mbok Dateng." "Nggak papa kok, Ngga. Di sini aja." "Em, percaya deh, nggak papa lo duduk dulu, sambil nunggu si mbok Dateng. Biar gue panggil Anjar sekalian" kata gue meyakinkan, agak kasian juga liat Emi berdiri lama gitu, apalagi kalau Anjar tau, bisa habis gue sama itu bocah. Agak ragu, akhirnya em mengangguk pelan dan memilih duduk. "Tunggu, ya." Ucap gue lagi, agak bingung juga sih nanggepin orang macam Emi ini, kalo nggak di tanya suka bikin bingung, nggak mau ngomong. Gue berlalu, mengintip kedalam kamar dan melihat Anjar masih mengobati luka ibunya yang ada di pergelangan, agak nggak enak sih ganggu kegiatan Anjar, tapi gimana sama Emi? Ah udahlah biarin aja nanti biar Emi sendiri yang masuk dan nemuin Anjar. "Gimana, mbok? Ada bajunya?" Tanya gue saat melihat mbok Narmi keluar dari kamar. "Ada, mas Nih bajunya." Jawab mbok Narmi Lalu menyerahkan baju berupa kaus dan sebuah rok panjang, dan ada sesuatu yang aneh di sana, kain berbentuk aneh yang membuat gue agak bergidik untuk melihatnya. "Mbok aja deh yang kasih." Kata gue lagi, sebenarnya agak nggak enak nyentuh barang gituan, itu benda privasi cewek. Mbok Narmi terkekeh pelan saat tahu gelagat gue yang geli dengan apa yang di bawanya, beliau memilih berlalu sedangkan gue membuntuti di belakangnya. "Maaf non, nunggu ya? Ini mbok baru Nemu bajunya, di cari dari tadi taunya nyelip di tumpukan paling bawah." Kelekar mbok Narmi. "Iya nggak papa kok mbok." Jawab Em lalu meraih pakaian yang di ulurkan mbok Narmi, tapi sepertinya ada yang salah dengan apa yang Em lihat, gue nggak tau apa itu. "Eh maaf, BeHanya kekecilan ya, neng?" Seketika tatapan gue tertuju kearah apa yang mbok Narmi maksud, dan setelahnya gue membuang muka, agak malu sih sepontan kayak gitu, seolah perkataan itu memancing cowok untuk langsung menuju ke intinya. "Waduh, kalo itu nggak muat, nggak ada lagi deh, neng. Apa mau pake punya mbok aja?" Astaga, kayaknya keberadaan gue disini nggak di anggap banget deh, ini si mbok juga kenapa harus sebut dengan frontal gitu sih, kan gue malu jadinya. "Nggak, mbok biar pake punya aku Aja, nggak basah kok mbok." "Beneran nggak basah? Takutnya kalo basah nanti gatel, neng." Enggak kok mbok." Jawab Emi dengan wajar bersemu merah, dia malu apalagi gue yang cuma cowok sendiri dan mendengarkan perkataan yang btak senonoh itu, nggak tau lagi deh dimana harga diri gue sendiri, astaga! Muka polos gue .... "Ini gantinya dimana mbok?" Tanya Emi "Di kamar mbok aja nggak papa, neng." Baiklah jangan bersuara ngga, atau lo bakal bikin Emi malu dengan keberadaan lo yang udah nggak di anggap ini. Abaikan, abaikan. Gue bernapas lega saat melihat Emi dan mbok Narmi beranjak meninggalkan gue di ruang tamu sendirian, berusaha mengenyahkan obrolan tadi yang membuat telinga dan mata suci gue tercemar. Ini semua karena mbok yang seenaknya aja bahas gituan di depan gue. Sial, kenapa juga harus Emi sih. Dasar si Anjar diem-diem pakboi juga dia!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD