+#- 9

1590 Words
Rangga. "Nih, minum dulu biar anget!" Gue mengulurkan gelas kopi yang baru aja gue buat, setelah kedatangan Anjar tadi, kini kami duduk di taman belakang, di sebuah gazebo yang memang menjadi tempat favorit Anjar setiap kali dia ada di sini, alasannya sih sepele, karena dia bisa lihat senja dari sini, dan nuansa yang asri memang membuat siapa saja akan betah di sini, termasuk gue. Anjar menoleh, menerima gelas yang gue ulurkan ke dia. Dengan senyum amat tipis, Anjar menatap kilas ke arah gue lalu meniup pelan mug cairan hitam pekat sebelum menyesap kopi yang masih mengepulkan asap panas itu. Cuaca mulai menggelap, menyembunyikan sinar matahari sore di celah awan hitam yang siap menjatuhkan puluhan ribu titik air. Kami sama-sama mendongak, menyapa gelap awan yang ada di atas sana. "Kadang takdir emang selucu itu ya? bahkan alam pun seolah menertawakan keadaan gue!" Gue menoleh, menatap Anjar dengan mata terpincing, baru kali ini gue melihat sahabat gue menertawakan keadaanya sendiri, karena biasanya dia adalah sosok yang selalu optimis di setiap keadaan. "Gue berasa kayak orang g****k yang selalu menganggap enteng semuanya, selalu berfikir positif di setiap keadaan, dan selalu menutup diri dengan kata enggak apa-apa. Yang akhirnya semua itu bikin gue t***l dan buta!' Anjar menghela nafas, mengambil sebatang rokok dan menghidupkannya dengan korek yang ada, asap mengepul keluar dari mulut dan hidungnya, gue nggak tahu apa guna dari batang nikotin yang sebenarnya merusak itu, dan Anjar selalu menikmatinya setiap ia berada di posisi ini. "Sangking tololnya, gue sampek percaya sama omongan ibu kalau semua baik-baik aja, gue terlalu menyepelekan sesuatu, dan menganggap semua akan baik-baik aja, tanpa gue sadari dari semua pikiran positif itu gue malah terpuruk dan menjadi sosok yang buta sama sekitar!" Selama ini Anjar memang menganggap semua baik-baik aja, bahkan untuk hal yang berat sekalipun. Jujur, kalonaja gue yang ada di posisi itu gue nggak tau gimana menghadapi masalah sepelik ini, mungkin gue akan menyerah saat itu juga, tekanan yang di rasakan bukanlah hal sepele, dan nggak semua orang mampu berada di posisi seperti Anjar. "Bahkan gue nggak habis pikir, kenapa gue bertahan sama manusia b******k itu, manusia yang nggak layak gue sebut bapak. Bapak yang cuma bisa nyusahin, gue emang bodoh terlalu lama diem. Bahkan tololnya, gue udah berharap lebih jika bapak gue bakal berubah demi ibu dan anak-anaknya!" Gue masih terdiam menyaksikan Anjar dengan segala tingkahnya, menyesap kembali batang nikotin yang ada, bahkan kini wajahnya mendongak, menatap gelapnya awan yang mulai meneteskan rintik air, perlahan-lahan hingga puluhan ribu tetes membasahi sekitar. "Sekarang gue cuma bisa berharap semua selesai, gue dan ibu bakal pergi dari kehidupannya, gue udah nggak sanggup lagi ngeliat ibu di pukul hanya buat pelampiasan kemarahan yang gue sendiri nggak tau dia marah karena apa!" Air mata luruh membasahi pipi Anjar, untuk pertama kalinya gue melihat sahabat gue menitikan air mata di hadapan gue. Sosok yang selama ini terlihat kuat, ternyata lemah di dalamnya. Gue tersenyum, bukan mentertawakan keadaan Anjar, melainkan memberi semangat dan merasa salut dengan pemikirannya anak labil seperti kami. Gue menepuk punggungnya pelan, memberi usapan di sana sembari mengikuti arah pandangnya. "Apapun keputusan Lo, gue berharap itu yang terbaik buat Lo. Gue di sini selalu ada buat ngedukung apapun keputusan Lo." Najar menoleh menatap gue sekilas, "Thanks, Ngga. Jujur gue nggak tau bakal kemana selain kesini, gue nggak punya siapa-siapa selain kalian bertiga sahabat gue." Ucapnya menghapus air mata yang ada di pipi. "Apapun, gue malah seneng Lo dateng kesini pas Lo ada masalah, itu tandanya gue emang berharga untuk Lo." Anjar mengangguk, merangkul pundak gue dengan erat. "Lo emang saudara gue ngga!" "Lah, selama ini emang lu anggep gue apaan?" Tanya gue memincingkan mata, mencoba mencairkan suasana, nggak enak kan berdua gini yang satu mewek, yang satu lagi bingung mau ngapain, mau nenangin juga bingung gimana caranya, secara dia cowok gue cowok. Ya kali nanti di kira homo kan. "Nggak usah ngejek, gue lagi mewek juga Lo ejek!" Gue terbahak, Anjar memang sekeren itu, ada saat dimana dia mengeluh, ada kala dimana ia memasang topeng untuk menunjukan dirinya kuat. Sepintar itu memang Anjar menyembunyikan semuanya. "Btw, sory gue malah curhat sampek mewek di depan elu." Ucap Anjar terkekeh pelan. "Sants ae lah, gue juga kadang ngeluh sama Lo kan." Anjar mengangguk kilas. "Kita emang saling membutuhkan ternyata." Ucapnya dengan wajah jumawa, dia menatap gue dan setelahnya menaikan kedua tangannya. "Peyuk sini ...." "Najis!!!" Maki gue menendang paha Anjar yang berusaha mendekat, si sialan ini memang kadang bikin gue mual dengan tingkah konyolnya. "Jijik anjim!" Anjar terbahak, lalu menopang kedua tangannya di tuang penyangga gazebo, "kadang, emang kita butuh tertawa ya? untuk melepas semua beban yang ada. Dan yang selama ini gue kira mendem semua kesedihan sendiri itu bisa menutup kemungkinan gue nggak merasakan sakit, nyatanya malah gue nggak sanggup untuk nahan itu sendiri." Dia terkekeh, pun dengan gue. "Itu tandanya anusia memang makhluk sosial, mereka nggak bisa hidup seorang diri, saling menolong dan membutuhkan itu memang sifat naluri manusia. Mau sekuat apa Lo berpikir bisa sendiri, nyatanya Lo akan lelah dengan semua pikiran yang ada." Ucap gue. Apapun itu manusia nyatanya membutuhkan sosok lain untuk mendengar semua keluh kesahnya, terlepas bagaimana sempurnanya sosok itu. Mereka semua membutuhkan sesama untuk memecahkan masalahnya. "Sama halnya kayak gue, mereka selama ini mungkin nganggep gue sempurna dan memiliki apapun yang nggak di miliki mereka, tapi nyatanya gue masih butuh elo untuk berkeluh kesah. Gue butuh telinga lo untuk mendengar semua ocehan nggak guna gue. Sama aja kayak lo sekarang, dengan lo cerita ke gue itu udah menunjukan kalo lo percaya sama gue." Anjar terkekeh pelan, mungkin ada yang lucu dari ucapan gue. "Sebenernya gue nggak percaya sama lo, Ngga. Gue lebih percaya sama Ema sih timbang elo." "Anjim, baru aja jadi sadboy, sekarang udah bucin aja lo!" "Bucin itu penting, Ngga. Biar hidup Lo nggak lurus-lurus aja. Ada kalanya Lo juga ngerasa indahnya masa remaja, pacaran sama sini, ganti pacar banyak-banyak." "Serah di elo deh, Njar. Bucin lo emang akut!" Anjar terbahak, begitupun dengan gue, kita terdiam setelahnya, memandang rintik hujan yang mulai mereda. Kami dua anak manusia yang memiliki masalah sendiri-sendiri. Tapi kami memiliki sebuah harapan, harapan yang cukup besar untuk sebuah asa yang menjulang di kemudian hari. Berharap akan ada sebuah kebahagiaan yang menanti. "Tapi bener deh, Lo tau gimana brengseknya gue dulu, tapi setelah gue ketemu sama Emi, nggak tau kenapa gue ngerasa dia itu segalanya bagi gue." Ucapnya sembari menatap jauh kedepan. "Dia itu ibarat orang asing yang nggak sengaja gue temui, duduk diam dengan sesuatu yang berhasil membuat gue terpaku untuk beberapa dekit. Sosok entah kenapa bisa menarik seluruh perhatian hanya buat menatap dia." Gue terkekeh, Anjar memang sebucin itu, "dan dia yang udah berhasil ngerubah lain menjadi sosok yang lebih baik lagi, dia yang bisa ngendaliin kemarahan lo hanya dengan satu bentakan." Gue menjeda kalimat gue, "Lo emang udah menemukan seseorang yang tepat untuk hidup lo Njar." "Iya emang dia yang selalu mengerti gue, kadang gue mikir, kenapa gue bisa selucu itu, sosok yang kadang ngebantah omongan ibu gue sendiri, tapi bisa langsung nurut tiap kali dia ngelarang." "Emi emang udah pantes jadi pawang elu!" Kami tertawa bersama, tertawa lepas untuk melepaskan semua beban pikiran yang ada. Inilah kami, ada masanya kita bersedih, ada masanya juga kita tertawa. Hingga suara ponsel Anjar menarik perhatian kami, Anjar meringis lalu menunjukan ponselnya, dimana nama Emi tertera di sana. "Baru aja di omongin, panjang umur nih anak!" "Angkat gih, ngamuk mampus lo!" "Wkwk, nggak akan. Lo tau sendiri gimana Emi sama gue." "Iye percaya gue, udah buru angkat!" Anjar mengangguk, menggeser icon hijau laku menghidupkan pengeras suara. Nggak tau sih apa tujuannya, tapi setiap bareng gue Anjar selalu melakukan itu, bahkan kadang gue risih sama kelakuannya. Secara itu privasi dia loh, dan seenaknya aja dia buka privasi sama gue. "Njar, kamu dimana?" Anjar menatap gue melalui ekor matanya, gue tau arti tatapan itu dan anggukan pasti sebagai jawaban. "Di rumah Rangga, Em." "Syukur Lah, tadi sempet nelpon aku, tapi nggak lama putus, pas aku telpon lagi udah nggak bisa." Ada jeda di sana, "kamu nggak papa kan?" "Mau jujur atau bohong?" Tanya Anjar pelan. Dia ini tipikal orang yang nggak mau ngeliat orang yang dia sayang khawatir dengan keadaanya. "Ya jujur lah b**o! Sejak kapan aku mau di bohongi sama kamu!" Gue terkekeh pelan saat melihat Anjar meringis mendengar sentakan dari Emi. "Eh, ya Allah candaan doang elah. Ngegas Mulu sih." "Buru, Njar!" "Iye iya jujur nih ...." Terlihat Anjar menghela nafas pelan. "Gue nggak baik-baik aja. Gue lagi ada masalah yang nggak kecil. Gue bentrok sama bapak dan sekarang ngungsi di rumah Rangga." "Tapi kamu baik-baik aja kan?" "Iya gue baik, baik banget malah." "Terus ibu sama Doni gimana?" "Kita baik, semua baik ..." "Nggak usah bohong sama aku!" Anjar terdiam beberapa saat, mungkin dia nggak tau mau ngomong apa sama Emi, hingga suara Emi membuatnya mebelak mata dengan sempurna. "Aku kesana sekarang!" "Eh Lo kan kerja, em. Nggak usah, kita nggak papa kok!" Jawab Anjar dengan raut panik. "Njar ini Sabtu, kalo kamu lupa?!" "Eh itu_" "Aku kesana sekarang!" Setelahnya panggilan telpon terputus sepihak, Anjar hanya menatap nanar pada layar ponsel yang sudah menggelap yang ada di depannya. "Udah nggak papa, harusnya Lo bersyukur punya Emi yang selalu peduli sama lo!" "Gue cuma nggak enak aja tiap hari repotin dia terus, apa-apa pasti larinya kedua, sedangkan gue nggak pernah berguna buat dia!" "Jangan ngomong gitu, semua ada porsinya sendiri-sendiri, lo sendiri kan yang bilang ke gue." Anjar mengangguk setelahnya. "Thanks." Gue tersenyum dan mengangguk menjawab ucapan Anjar
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD