+#- 12

2057 Words
Rangga. "oi...! Ngga di mana lo!" Suara teriakan yang menggema di ruang tamu berhasil membuat gue mendengus, mulut sahabat gue itu emang nggak bisa dikondisikan nggak tau tempat dan lokasi, bacot nomor satu. Gue menoleh menatap Anjar yang masih sibuk dengan ponselnya, kegiatan gue bareng Anjar harus terganggu karena suara bising yang udah mirip seperti kenalpot bajai. Rombeng! "Sahabat lo tuh!" Ucap Anjar tanpa menoleh kearah gue. Gue menoleh, menatap Anjar dengan mata terpincing, dia bilang sahabat gue? Nggak sadar dia yang lebih sering adu bacot sama itu bocah entah karena masalah apa, dan sekarang dia bilang sahabat gue. Seenak aja nih anak. Gue menggeplak kepala Anjar dengan gemas. Sebodo amat sama teriakan Anjar. "Sahabat lo yang ada!" Kata gue dan beranjak, melemparkan ponsel gue keatas sofa meninggalkan Anjar yang masih sibuk dengan game yang sejak tadi kami mainkan. "Woy, kemana elah! Nanggung ini mau chiken juga!" Teriakan Anjar yang perpres dengan kelakuan gue. "Samperin sahabat lo lah, dari pada makin bikin ribut!" Kata gue meninggalkan Anjar. Gue berjalan kedepan, melihat Adit yang sudah duduk di sofa ruang tamu bersama El yang sore ini terlihat cantik dengan balutan kaus dan juga celana panjang. Rambut yang di kucir kuda membuat dia semakin cantik. Pesona dari El itu selalu membuat gue terpukau, rasanya dia itu punya lem uang bisa memikat gue dengan pesonannya. "Baru dateng Lo pada?" Tanya gue memilih bersandar pada kursi memperhatikan kedua sahabat gue yang sedikit basah. Mungkin mereka menerobos gerimis di luar. Kebiasaan mereka memang, selalu suka ceroboh dan nggak peduli sama keadaan. "Hooh, gue rela hujan-hujanan nih demi lo! Terus mana makanannya? Laper gue!" Ucap Adit menoleh ke kanan kiri, mencari sesuatu dan tentu aja nyari makanan. Gue mendengus malas, begitupun El yang dengan cepat langsung menggeplak kepala Adit karena kesal, gue terkekeh setelahnya lalu berdiri dan mengajak mereka untuk ke ruang keluarga. "gabung sama Anjar aja di ruang tamu." Gue berjalan meninggalkan mereka dan menoleh sesaat kearah Adit. "Kalo lo laper, di belakang noh banyak makanan minta mbok Narmi, masak banyak tadi kayaknya!" Ucap gue saat teringat tadi mbok Narmi sama si Emi ada buat makanan, dua orang itu ternyata bisa langsung mengakrabkan diri walau terpaut umur yang berbeda, mbok Narmi dengan celotehnya selalu berhasil membuat seseorang akbar dengan mudahnya, sedangkan sama gue mana ada gitu, Emi masih aja suka diemin gue dan nggak banyak buka suara. Entah karena apa, gue nggak tahu. "Wahh pas banget, Lo paling ngerti soal gue emang, ngga. Lope you banget lah pokonya!" Ujarnya dan langsung berlari menuju dapur, gue menggeleng melihat tingkah sahabat gue itu. Terdengar dengkusan dari El sebelum dia menyusul di sebelah gue. "Biasaan itu anak. Nggak ada sopan-sopannya di rumah orang!" Gue hanya terkekeh pelan, bagi gue kelakuan Adit udah biasa, bahkan cowok itu kadang berperilaku berlebihan hanya untuk sekedar makanan. "Udah biarin aja, kan gue ngundang kalian sekalian makan-makan juga. Lo nggak laper emang?" Tanya gue. Niatan gue emang ngajak mereka makan di rumah, sekaligus menemani Anjar yang mungkin bisa menghibur kesedihannya sekarang. Anjar butuh sekedar teman adu bacot untuk menenangkan hatinya. Gue nggak mau aja sahabat gue itu terus terlarut dalam masalahnya. Dan dengan gue sendirian kayaknya nggak akan mungkin bisa ngebantu banyak, mereka bertiga itu sudah gue anggap saudara. Jadi tiap kali diantara kami ada masalah, gue selalu mengusulkan untuk kumpul dan melupakan sejenak masalah yang ada. "Laper sih, gue kira lo pesen makan gitu, ehh taunya masakan bi Narmi." Jawab El dengan wajah terlihat kecewa. Gue terkekeh melihat raut kecewa El, tangan gue terulur mengacak tatanan rambut yang rapih hingga membuat dia memekik tak suka, memukul lengan gue dengan tatapan nyalang. "Rangga, Lo reseh banget sih! Rusak nih! Udah rapih juga." "Sisiran lagi lah. Ada sisir tuh di atas kulkas." Kata gue enteng, gue meraih ponsel yang tergeletak di atas sofa dan duduk di sebelah Anjar. Mengabaikan sahabat gue yang masih serius dengan gamenya. "Lo mau makan apa emang?" Tanya gue pada el, mengeluarkan aplikasi game dan menyerahkan ponsel gue kearahnya. "Lo pesen sendiri aja!" Kata gue setelah El menerima ponsel gue. "Makan apa geh enaknya. Bingung gue!" "Apa aja, timbang makanan doang, kalo bisa yang mahal, yang enakan. Jangan kayak orang susah!" Jawab Anjar yang masih fokus dengan game di tangannya. Gue menoyor kepala Anjar saat dia menjawab pertanyaan El dengan seenak hati dia. Kebiasaan sahabat gue gini, nggak tau diri kalo urusan makanan, walau gue mampu buat bayar tapi enggak gitu juga lah. "Seenak Lo kalo ngomong!" "Apaan sih, timbang makanan doang duit Lo nggak akan abis kan?" Ucap Anjar menoleh kearah gue, menunjukan layar ponselnya kearah gue. "Chiken nih!" Katanya bangga. Menunjukan hasil permainannya tadi. Gue mendengus, menatap layar ponsel tak percaya, dia ini selalu jago dalam urusan game. Nggak sia-sia dia mainin akun gue yang sering gue top-up in. Peringkat gue naik karena Anjar berusaha keras untuk menang. Lumayan lah nggak rugi-rugi amat. "Jadi pesen apa nih, gue lagi pengen makan bakso mercon Bu Endang deh. Enak kayaknya ujan-ujan gini makan yang pedes-pedes." Tanya El lagi yang sibuk mencari makanan di sebuah aplikasi. Anjar mengibaskan tangannya, gue tau dia paling anti sama bakso dan gue hanya terbahak mendengar itu. "Ngga! Lo orang nggak ada Emi di sini!" Gue dan kedua sahabat gue menoleh menatap Adit yang datang dari dapur membawa sebuah piring berisi roti bakar dan segelas minuman di tangannya. Gue mendengus sembari melirik pada El. "Gue udah ngomong sama El tadi. Dia nggak bilang ke Lo emang?" Tanya gue menatap El yang hanya meringis menunjukan barisan gigi putihnya. "Gue lupa mau ngomongnya tadi." Jawabnya dengan mengangkat dua jari membentuk huruf v, dan gue cuma mendengus membalasnya. "Btw Lo orang mau apaan ini, gue pesenin skalian!" "Bebas deh, asal jangan bakso!" Jawab Anjar. Adit menatap cengo kearah El, dan gue bisa tebak dia bakal pesen banyak makanan setelah ini. Mengambil kesempatan untuk kesenangan perutnya sendiri. "Lo pesen makanan El?" Tanya Adit semangat, meletakan piringnya dan mendekati El. Dia mengintip sebentar, melihat apa yang di pesan El untuk kami. El mengangguk pelan "Angga yang nyuruh." "Good. Gue mau pesen juga sini." "Ets, enak aja, di sini gue yang di percaya untuk pesen ya. Lo orang tinggal sebut aja apa yang Lo mau!" Teriak El menyembunyikan ponsel gue di belakang tubuhnya, gue terkekeh pelan melihat kelakuan mereka. "Aelah, timbang gitu doang!" Adit mendengkus lalu memilih duduk di sebelah Anjar yang sudah fokus pada layar ponselnya. "*Gue pizza, Thai tes, burger sama Boba! Pesenin sekalian tuh." "Itu aja?" Adit mengangguk santai, mengambil sepotong roti yang di bawanya tadi lalu mengunyahnya dengan pelan. "Lo ngapain?" "b***k!" "Dih di tanya gitu doang udah ngegas AE Lo!" "Ya kalo mau tanya pinteran dikit lah, Lo nggak liat gue lagi apa? Jelas-jelas megang hp, terus hp gue miring itu berarti gue masih main game!" "Busyet dah, lengkap amat bos jawaban Lo! Abis kan bahan pertanyaan gue!" Anjar mendengkus, sedangkan gue hanya menggeleng pelan, heran dengan kedua sahabat gue itu. Abaikan mereka gue menoleh kearah El, memperhatikan cewek yang selalu berhasil menarik perhatian gue ini. Dia cantik apalagi saat keningnya berkerut seolah tengah memikirkan sesuatu. "Ngga, kenapa sekarang ongkos kirimnya jadi naik ya?" Kening gue berkerut tak mengerti apa yang di katakan El sebelum dia menunjukan layar ponsel kearah gue, hanya sekilas sebelum dia tarik kembali. "Biasanya nggak Segede ini uang ongkos kirimnya." "Emang lo pesen apaan? Bukannya gojek emang ongkosnya segitu ya?" El hanya terkekeh mendengar pertanyaan dari gua yang memang nggak tau apa yang dia maksud, apalagi tadi gue cuma liat sekilas apa yang dia kasih lihat. "Gue pesen tas di online." Tunggu dia bilang pesen tas? Bukannya tadi gue cuma nyuruh dia buat pesen makanan ya? "Lo pesen tas?" Tanya gue pelan dan hanya di jawab anggukan oleh El. "Lah emang gue ada nyuruh Lo pesen tas?" "Sekalian, gue lagi pingin tas. Berhubung lo kasih akses buat hp Lo ya sekalian aja!" Astaga, wanita dengan maha kebenarannya nggak akan bisa gue bantah, biarkan saja mereka berbuat sesuka hati mereka, yang bisa gue lakukan hanya mencebik dan membiarkan El menguras tabungan gue. Walau gue tau sahabat cewek gue ini mengerti akan sebuah batasan. "Njar, enak nggak diapelin sama cewek?" Ucap Adit menarik perhatian gue, dan gua yakin sebentar lagi akan ada perdebatan panjang di antara kedua sahabat gue ini. "Maksudnya?" Tanya Anjar sama sekali tidak menoleh kearah Adit. Dia masih fokus dengan game di ponselnya, sedangkan Adit dia mengangkat kepalanya menatap langit-langit dengan mulut sibuk mengunyah. "Ya di apelin pacar itu itu enak nggak? Lo kan sekarang lagi di apelin?" "Gue nggak paham Lo ngomong apaan!" "Elah lo ini, itu si Emi, dia kesini karena Lo kan? Nggak mungkin amat Emi kesini buat nyamper si Rangga!" "Sialan!" Gue mendengus, melempar Adit dengan bantal sofa yang tepat mengenai kepalanya, dia mendesis pelan sembari melirik kearah gue "Sakit b**o! Jadi jomblo nggak usah sok keras deh!" sialan amat ini bocah, bisa-bisanya ngecengengin gue, seolah gue nggak laku amat. Padahal kalo dipikir gue itu bisa aja dapetin cewek manapun yang gue mau, cuma prinsip gue kalo gue nggak suka ya gue nggak mau, gue males aja bikin! cewek sakit hati yang ujungnya malah balik ke diri gue sendiri. Jangan sampai karena gue bikin sakit hati satu cewek malah berimbas buruk ke diri gue sendiri. Seburuk-buruknya gue, gue masih percaya karma itu masih ada. Lagian gue sendiri bukan berarti gue nggak pernah suka sama seseorang. Sekarang pun gue masih memendam perasaan pada satu orang cewek yang jelas nggak mungkin bakal gue ungkapin. Terlebih hubungan kita seolah memiliki batasan dan ngga bisa untuk bersama. Gue tau posisi gue dimana dan dia siapa. "Apaan sih sensi mulu lo ini, cari pacar gih! biar bisa kayak Anjar. Di perhatiin, dibelai, dimanja. Biar nggak galak-galak lo itu!" "Ogah!" "Halah ngeles aja. Bilang aja kalo lo nggak laku!" "Eh si anying!" Sekali lagi gue melempar bantal sofa, tapi dengan mudah ditangkap oleh Adit dan di lempar kembali ke gue, dan sialnya lemparan dia itu kuat dan berhasil mengenai wajah gue tanpa bisa gue hindari. Adit terbahak sembari berdiri dan kabur dari hadapan gue. Gue malas untuk m ngejar, memilih duduk dan sembari mendengkus, sahabat gue itu emang kurang kerjaan, suka bikin gue kesel. "Nih ngga hape Lo." Gue menoleh, menatap sembari tersenyum. "Udah? Pesen apa aja Lo?" Tanya gue melupakan kekesalan gue tadi. Dia mengangguk pelan, lalu bersandar pada sofa dan sibuk dengan ponselnya sendiri. "Makanan anak-anak. Sekalian gue pesen tas yang tadi lo liat, nggak papa kan?" "Nggak papa, jojong aja!" "Iya jojong aja. Mau lo kuras tabungannya juga dia nggak bakal marah, El!" "Maksudnya?" "Jangan dengerin, lagi sableng dia hari ini. Jadi abaikan!" Kata gue menatap Anjar dengan tajam. Mulut anak satu ini emang minta dicabein. Biar nggak asal ngejeplak aja. Dari tadi juga ngomong asal sembarang aja. Jangan sampai apa yang gue rahasiain selama ini kebingkar karena mulut sialan itu. "Enggak, emang maksud lu apaan Njar? Ngatain gue matre kah?" Yasalam, kenapa harus gini sih, El juga kenapa harus ambil hati coba. Udah tau Anjar suka ngejeplak juga. "Nggak, maksud Anjar nggak gitu." Ucap gue mencoba memberi pengertian pada El, jangan sampai deh dia tersinggung karena ucapan Anjar. "Sensi amat deh, maksud gue Lo nggak nyadar emang selama ini? Gimana Ran-" "Njar!" Sentak gue kasar, seenak aja dia mau bongkar rahasia gue. "apaan elah lo orang ini, timbang gini doang, gue undang kalian nggak untuk ribut ya!" "Anjar tuh, maksudnya apa coba ngomong gitu!" Ucap El dengan wajah kesal, "Udah Njar, Lo juga udah lah apaan sih pake ngomong gitu, nggak papa lah. Lagian Lo orang emang biasa gue belanjain!" "Ya gue tau, tapi nggak gini juga lah Ngga. Mau sampek kapan coba?" "Udah deh lo diem dulu!" "Gue cuma bantu Lo!" Jawab Anjar seolah nggak mau kalah, gue tau dia niat bantu gue, tapi nggak sekarang juga, masih ada hari lain. "Tapi nggak gini juga!" Sentak gue. Anjar menatap gue dengan tatapan tak percaya, dia terlihat ingin membatah kata-kata gue tapi kembali bungkam dan menundukkan kepalanya perlahan. "Najar, udah!" Gue menoleh, menatap Emi yang mendekat kearah kami sembari membawa sebuah nampan berisi minuman dan kue kering di atasnya. "Nggak usah ribut. Udah pada gede juga!" Pantes dia bungkam, pawangnya udah dateng. Bagus lah gue nggak perlu adu otot lagi sama ini bocah, sekalian gua kasih tau Emi aja nanti biar lebih dijinakin lagi itu mulut si Anjar biar nggak asal ngejeplak aja!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD