+#- 13

1810 Words
Elina. Sahabat, bagi gue mereka adalah keluarga lain yang gue miliki selain emak, bapak, dan paman, bibi gue. Mereka orang terdekat yang selalu bisa gue andalkan di setiap kesempatan. Gue selalu menganggap Rangga, Anjar, dan Adit sebagai kakak gue sendiri, orang yang akan selalu melindungi gue dari apapun. Gue percaya itu. Dari dulu kami selalu melengkapi, melindungi dan selalu mendukung, apapun masalah yang kami hadapi akan selalu bahu membahu, bahkan hingga sekarang hal itu masih berlaku, dulu gue hanya memiliki dua sahabat. Rangga dan Adit. Tapi setelah kedatangan Anjar, keluarga kami seolah bertambah. Walau sifatnya yang kadang bikin gue kesel tapi tetep aja, tanpa dia haru-hari kita sepi. Walau kadang emang perkataannya itu ngeselin, tapi itu udah jadi ciri khas dia. Gue kadang suka makan hati sama omongannya, tapi kadang perkataan dia itu memang ada benarnya. "Jadi, apa yang bakal Lo lakuin sekarang?" Gue ngangguk pelan, pertanyaan yang sedari tadi berputar di kepala gue sudah diwakilkan oleh Adit. Dia menatap Anjar dengan serius. tak ada raut bercanda seperti biasanya, raut konyol yang selalu membuat kamu tertawa berubah menjadi raut serius saat Anjar menceritakan semuanya. Masalah yang selama ini nggak pernah gue tahu. Undangan Rangga yang gue kira cuma sebatas makan-makan untuk merayakan malam Minggu kelabu bagai ampas parutan kepala yang dibuang setelahnya, dan menghabiskan waktu bersama, berubah seketika menjadi situasi yang melow. Gue masih menatap Anjar dengan segala kemungkinan yang ada. Penjelasannya tadi berhasil membuat gue terkejut. Bukan cuma gue. Bahkan Emi yang duduk di sebelah gue, cewek yang saat ini dekat dengan Anjar sepertinya juga sama seperti gue. Dia belum tau masalah Anjar. Sahabat gue yang satu memegang selalu memiliki rahasia dibalik semua tingkah konyolnya, gue nggak tahu kenapa, mungkin dia belum terlaku percaya dengan kita, gue maklum, masalahnya jelas masalah internal, dan untuk berbagi dengan orang yang bisa dikatakan baru jelas itu sulit. Bahkan gue juga bakal memilih memendam jika berada di posisi Anjar. Masalah yang nggak mudah untuk diselesaikan. "Gue nggak tahu. Bahkan gue bingung mau kemana setelah ini." Jawab Anjar dengan suara lesu, dari wajahnya gue bisa melihat gurat lelah di sana. Masalahnya bukan hal sepele yang bisa di hadapi anak SMA seperti dirinya. Gue tahu itu. "Ngontrak aja, masalah biaya biar kita patungan." Jawab Adit menatap gue dan Rangga bergantian. Jujur gue nggak masalah dengan usulan Adit, kita bisa aja patungan dan cari tambahan di luar semisal biaya yang dibutuhkan kurang. Bukankah sahabat sejati itu selalu bahu membahu? "Nggak usah deh, gue udah terlalu banyak ngerepotin kalian, lagian ini masalah gue. Biar gue sendiri nanti yang selesaikan." Tolak Anjar pelan. "Nggak gitu lah, Njar. Kita ini sahabat, bukan orang lain. Kita udah kayak keluarga, lo kan tau gimana kita!" Gue membenarkan perkataan Adit. Dia itu walau konyol dan terlihat nggak ada dewasanya tapi pemikiran dia itu selalu mementingkan kita sebelum dirinya sendiri. Salah satu yang membuat gue selalu kagum dengan sosoknya. "Setuju apa kata Adit sih gue. jangan ngerasa kayak orang lain lah, kita ini saudara!" "Tapi patungan untuk tempat tinggal gue, kayaknya itu terlalu ngerepotin, gue masih ada tabungan juga, jadi nggak usah deh." Tolak Anjar lagi. "Tabungan bisa lo simpen, buat buka usaha atau apa lah nantinya, intinya sekarang gimana kita bisa cari tempat ngontrak buat lo. Urusan uang sewa lo nggak boleh nolak!" Ucap Adit. Anjar terlihat mendengus, dia menunduk, gue rasa dia masih nggak setuju dengan keputusan Adit, gua tahu ini emang sulit bagi Anjar, tapi gue dan yang lain juga nggak bisa lepas gitu aja. Kita sahabat dan saudara, apapun masalahnya ya gimana caranya kita bantu. Dan gue setuju dengan apa yang Adit katakan. Tabungan Anjar bisa aja buat buka usaha nantinya, nggak mungkin juga Anjar bakal jadi pengamen cafe tiap malem, walau itu menjanjikan tapi nggak selamanya dia bisa melakukan itu. Dengan adanya usaha gue yakin dia bisa maju dan memperbaiki ekonominya kelak. "Gue ada rumah kosong yang udah lama nggak ditinggali nggak jauh dari sekolah." Seketika gue menoleh menatap Rangga yang sejak tadi hanya diam. begitupun kedua sahabat gue, mereka menatap tak percaya kearah Rangga. Dia ini kadang-kadang suka bikin orang kaget memang. "Maksudnya gimana?" Tanya Adit yang sama seperti gue, bingung dengan perkataan sahabat gue ini. "Beberapa tahun lalu bapak ada beli rumah di dekat sekolah, rencananya mau buat gue, tapi nggak kepake karena ibu nggak ngijinin gue tinggal sendiri." "Jadi?" Tanya gue masih agak bingung dengan ucapan Rangga. "Ya Anjar sama ibu bisa tinggal di sana, dari pada nggak ditempati itu rumah kan, mending untuk tinggal Anjar aja. Biar nggak perlu ngontrak." "Lo serius?" Tanya Adit dengan raut tak percaya yang di buat alay, dan melihatnya saja rasanya gue pengen muntah. Berasa melihat Adit versi ngonde. "Iyalah, mana pernah gue becanda!" Jawab Rangga melempar bantal sofa kearah Adit dengan raut kini seperti gue, bagus teruskan, aniaya saja si Adit sialan itu! "Emang gue elo!" "Jadi masalah tempat tinggal udah aman nih?" Tanya gue lagi, mengabaikan perbuatan Adit tadi. Astaga, nggak nyangka, ya. Sahabat gue ini emang selalu bisa diandalkan, nggak sia-sia dia punyak bokap tajir. Sekali sebut saja semua masalah bisa selesai dengan mudah. Apakabar gue yang harus ngerengek untuk kepentingan gue sendiri. Gue aja cuma bisa bantu patungan doang. Lah ini? gila sih ini namanya! "Nggak deh ngga, Lo udah terlalu banyak bantu gue. Gue nggak enak selalu ngerepotin elo. Lagian gimana orang tua Lo nanti kalo rumah yang dibeli buat Lo malah gue pakai." "Kalo Lo masih anggep gue sahabat, Lo nggak bisa nolak apa yang gue kasih, kecuali kalo Lo emang bukan sahabat gue!" Yak, setuju! Pepet terus Ngga, jangan kasih kendor. Orang model Anjar ini nggak bisa kalo nggak dipaksa. Gue yakin dia bakal nolak dengan keras. Tipikal orang yang sudah merasa mampu dengan dirinya sendiri. Padahal mah, ya bisa. Kalau Anjar gue yakin deh mau kayak apa juga kondisinya gue yakin dia bisa. Secara dia memang sudah terbiasa sendiri sebelum bareng kami. Dulu boleh saja dia sendiri. Tapi sekarang tidak lagi, kalo masih Kekeh aja berarti dia nggak anggap kita sahabat di sini. "Tap-" Perkataan Anjar dipotong begitu saja oleh Adit. Ini sih udah jadi perdebatan alot di antara dua orang yang sama-sama keras kepala, lebih baik gue diem deh, walau capek sebenernya, tapi biarin mereka yang alot menyelesaikan keputusan dengan alot juga. "Terserah di elo njar. Mau Nerima apa nggak! Gue udah bilang, Lo nolak berarti Lo bukan sahabat gue!" Diam-diam gue melirik kearah Rangga yang dengan santainya duduk dan memainkan ponselnya, gini ya sifat orang kaya, bebas dan cuek. Sialan, coba aja gue di posisi dia. Anak Sultan mah bebas ya? kapan gue bisa di posisi dia coba? Kan pengen juga guenya.. "Udah deh, manut aja. Dari pada nggak dipeduliin sama Rangga, emang mau Lo?" Ancam Adit dengan raut konyol, asli melihatnya saja gue pengen ketawa. Setelahnya gue mendesis saat melihat Adit merangkul bahu Anjar, omongannya itu loh bikin gue gemes, bisa nggak sih satu anak itu liat situasi dulu sebelum ngomong. Anjar terdiam memikirkan perkataan Rangga, mungkin memang nggak ada pilihan lain, kondisi dia saat ini itu udah kekepet banget, gue nggak kebayang kalo ada di posisi dia, diusir bapak dengan keadaan yang nggak bisa gue bayangin lagi, pantas saja tadi pas sampai di sini gue melihat sesuatu yang mengganjal, luka lebam dibagian tangan ibu Anjar yang terasa ganjal. "Mending untuk sementara dengerin Rangga deh, untuk kedepannya bisa kita pikirin lagi." Kata Emi pelan, cewek yang sejak tadi diam saja mulai membuka suara. "Nah gue setuju sama apa kata Emi!" Seketika gue menimpali perkataan Emi, gue setuju nih. Anjar mengangkat kepalanya, dia menatap Emi dengan tatapan lembut yang selalu dia berikan pada cewek itu. Jika kalian pernah melihat bagaimana seorang cowok yang terlalu bucin dengan pacarnya maka tatapan itu persis seperti yang Anjar berikan pada Emi. Dan perlakuannya itu loh bikin gue melting, dibalik sifat kasarnya itu ternyata dia lembek sama Emi. Pengen ketawa tapi kayaknya situasinya nggak pas, coba aja dikondisi biasa, udah gue cengin tuh sih Anjar. "Nah dengerin Bebeb Lo tuh, untuk sementara terima tawaran Rangga dulu, kedepannya Lo bisa bebas nentuin, mau ngekost atau mau pindah kemana yah nggak masalah, sekarang lebih baik Lo tinggal di sana dulu, kasian ibu sama Doni." Kata Adit lagi, Anjar menatap kamu satu persatu. Gue harap dia luluh dengan keadaan ini. "Udah ya, nggak ada penolakan lagi, besok kita kesana, sekalian beresin rumahnya, nanti gue sama yang lain bantu bersih-bersih. Mumpung besok Minggu." Ucap Rangga setelahnya, dan keputusan sudah bulat. Anjar nggak bisa nolak kalo udah gini. Anjar mendengus sebentar, dan dia mengangguk pelan menjawab pernyataan Rangga. "Thanks!" "Nah gitu dong. Lo udah kayak siapa aja, kan udah gue bilang, masalah kalo diselesaikan bersama itu bakal lebih ringan nantinya. Ya nggak, ngga?!" Rangga mengangguk mantab. "Jangan pernah sungkan. Kita keluarga, nggak mungkin kalo gue atau yang lain bisa nolong terus kita diem aja. apapun bakal kita usahakan!" "Setuju, karena kita keluarga!" Ucap gue lantang, gue terlalu senang dengan keadaan ini, sahabat dan pertemanan kami bukan sebuah embel-embel saja. Gue terlalu beruntung berada di sekitar mereka yang nggak sungkan untuk saling menolong satu sama lain. Bukan cuma pertemanan yang malah menjatuhkan. Pertemanan itu dibangun untuk saling mendukung satu sama lain, dan mereka ini adalah teman sesungguhnya tanpa ada dusta di antara kita. Sesuatu yang selalu membuat gue nyaman berada di sekitar mereka. "Jadi besok kita otw beres-beres nih?" Tanya Adit setelahnya. "Iyalah, kalian nginep aja, biar besok ke sana bareng sekalian." Jawab Rangga dengan santainya. "Ehh mana bisa. Gue belum izin sama mamak ya!" Kata gue nggak terima. Enak aja Rangga ini, gue anak cewek nginep di rumah anak cowok, dikira gue cewek apaan nanti. Nggak deh bahaya, bisa ngamuk Mak Nana tau anak gadisnya nginep. "Nanti gue yang telpon Mak Nana, aman lah. Lagian di luar hujan juga kan? Nggak mungkin Lo balik hujan gini." Iya juga sih, di luar hujan turun lebat, nerobos hujan sama aja bunuh diri. Lagian sekarang udah jam berapa, tapi sekali lagi gue nggak enak lah gue cewek ya kali gue nginep. "Si Emi juga nginep, lo sekalian aja biar ada temennya tuh si Emi." Lanjut Anjar menunjuk Emi yang ada di sebelah gue, seketika gue menoleh menatap cewek yang sedari tadi duduk diam sebelah gue. "Lo ngingep?" Dia mengangguk pelan khas Emi banget, kalem dan nggak banyak omong, CK! sepertinya gue bakal berakhir tidur di sini malam ini. Semoga aja mamak ngizinin deh. "Yaudah Lo telpon mamak tapi!" Kata gue menatap Rangga, "Iye-iye nanti gue telpon." "Bagus!" selamat datang pengalaman menginap untuk pertama kalinya di rumah cowok, gue nggak tahu lagi deh gimana nantinya. sebodo amat orang mau ngomong apa juga, gue nggak peduli, yang penting gue nggak neko-neko di sini. nggak macam-macam dan nggak aneh-aneh. gue nginep ada temennya, dan nggak gue doang yang cewek di sini, lagian ada ibu Anjar, jadi gue rasa aman lah biar kalo mereka macam-macam, ada ibu Anjar yang bakal belain gue.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD