“Tuan dan Nyonya sedang tidak di rumah, Tuan.”
Rayden hanya diam mendapat laporan dari ART di rumah orang tuanya. Ia sengaja datang ke rumah orang tuanya untuk mencari Ruby, berpikir mungkin Ruby di sana.
“Apa istriku di sini?” tanya Rayden pada ART berusia paruh baya tersebut.
“Tidak. Nona Ruby tidak di sini, Tuan.”
Rayden menatap wanita paruh baya itu dalam diam kemudian melangkah menuju kamarnya untuk memastikan. Ia tidak percaya. Namun, ART itu benar, ia tak dapat menemukan Ruby baik di kamarnya atau di setiap sudut rumah.
“Sudah kuberitahu, tidak percaya,” batin ART itu melihat Rayden mengelilingi rumah sang majikan.
“Ke mana ayah dan ibu pergi?”
ART itu sedikit tersentak. “Ah, Tuan dan Nyonya mengatakan mereka mengunjungi paman Tuan yang sedang sakit,” jawabnya.
Rayden berdiri dalam diam, berpikir mungkin saja kedua orang tuanya pergi bersama Ruby entah ke mana. Tapi, tak mungkin ia menanyakan itu pada ayah atau ibunya, jika dugaannya salah, ayahnya pasti akan kembali memberinya wejangan yang membuat telinganya sakit.
Pada akhirnya Rayden meninggalkan rumah orang tuanya dan kembali ke rumah dengan harapan Ruby sudah berada di rumah saat ia sampai. Akan tetapi, rumahnya tetap kosong setelah ia tiba, tak ada tanda-tanda Ruby pulang yang membuatnya semakin kepikiran.
Rayden menjatuhkan bokongnya dengan kasar ke sofa sambil kembali mencoba menghubungi Ruby Namun, nomor istrinya itu tetap tak dapat dihubungi. Jika saja ia tahu ke mana Ruby pergi, ia tak akan kepikiran seperti ini. Ia hanya tidak ingin tiba-tiba saja ayahnya menanyakan Ruby dan dirinya tak bisa menjawab ke mana perginya istrinya itu.
Rayden mendesah berat, kepalanya yang masih sedikit pening sisa mabuk semalam kembali semakin pening. Meletakkan ponselnya, tangannya memijit pangkal hidungnya sambil memejamkan mata.
“Ck, apa yang aku pikirkan?” desah Rayden saat kedua matanya kembali terbuka. Ia kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamar untuk beristirahat. Persetan di mana Ruby sekarang, ia tak akan peduli. Toh ia tak melakukan kesalahan apapun yang membuat Ruby pergi. Justru, Ruby sendiri lah yang membuat banyak kesalahan. Dan harusnya ia senang, bukan? Apalagi jika Ruby benar-benar pergi selamanya dari hidupnya. Sesampainya di kamar, Rayden segera menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. Ia memejamkan mata berniat untuk beristirahat agar sakit kepalanya sedikit mereda.
Waktu terus berjalan hingga tak terasa hari menjelang sore saat Rayden bangun dari tidurnya. Harapan pening kepalanya lenyap dengan beristirahat, justru tetap ada karena terlalu lama tidur. Ia bahkan sampai melewatkan makan siang.
Rayden memegangi kepala saat ia bangun dan turun dari ranjang. Ia berjalan keluar kamar menuju dapur untuk mencari sesuatu yang membuatnya sedikit lebih segar. Belum sampai langkah Rayden mencapai dapur, langkahnya terhenti sejenak saat melewati kamar Ruby. Ia pun ingat jika tadi pagi Ruby menghilang bak ditelan bumi. Kira-kira, apakah istrinya itu sudah kembali sekarang? Tapi, melihat suasana rumah begitu hening, sepertinya Ruby belum kembali.
Sementara itu di tempat lain, tampak Ruby yang tengah berbaring di ranjang di sebuah ruangan bernuansa abu-abu yang merupakan kamarnya. Rupanya ia mengunjungi kedua orang tuanya yang tinggal di negara tetangga. Ayahnya baru saja mengalami kecelakaan. Meski tidak terlalu parah, tapi Ruby segera datang pagi tadi setelah mendapat kabar.
“Oi, mau keluar?”
Sebuah suara membuat Ruby yang berbaring tengkurap membalikkan badan. “Ke mana?”
“Jalan-jalan. Mumpung kau di sini, aku traktir,” jawab pria yang berdiri di depan ranjang Ruby yang merupakan kakaknya.
Ruby bangun dan duduk di tepi ranjang. “Padahal kau tahu kenapa aku di sini sekarang,” ucapnya.
“Hah … harusnya aku tidak memberitahumu. Ayah bahkan memarahiku saat kau datang. Dia tak tega mengganggumu mengingat kau itu pengantin baru.”
Ruby memutar bola mata malas kemudian bangkit dari duduknya dan melangkah menuju kamar mandi. “Sepuluh menit lagi aku siap.”
Kakak Ruby yang bernama Jade itu tetap berdiri di posisi, menatap langkah Ruby hingga adiknya itu tak terlihat setelah pintu kamar mandi tertutup rapat. Ia kemudian berbalik dan melangkah keluar kamar menunggu Ruby.
Beberapa waktu kemudian, Ruby telah tampil modis dengan memakai celana jeans dan kaos berwarna putih. Rambutnya ia ikat tinggi menyisakan anak rambut yang membingkai wajahnya. Ia memakai make up tipis yang membuatnya semakin menawan.
“Ayo, aku siap,” ucap Ruby setelah berdiri di belakang sofa yang kakaknya duduki.
Jade menoleh dan tampak terpesona melihat Ruby. Namun, hanya sesaat. Ia kemudian bangkit berdiri dan mengulurkan tangannya pada sang adik tiri.
Adik tiri? Ya, tentu saja, Jade bukanlah kakak kandung Ruby melainkan kakak tiri. Meski begitu, sejak kedua orang tua mereka menikah, Jade memperlakukan Ruby seperti adik kandungnya sendiri. Ia bahkan adalah orang di balik Dominic, orang yang meminta Dominic mempermainkan Rayden.
“Sudah bilang ayah dan ibu?” tanya Ruby sebelum berjalan melewati pintu.
“Sudah. Ayah bahkan menyuruhku membeli oleh-oleh untuk suamimu saat kau kembali.”
Ruby menghela napas berat. Padahal niatnya datang karena ayahnya kecelakaan, tapi ayah tirinya itu justru lebih memikirkan dirinya.
Tak lama kemudian, Ruby dan Jade telah dalam perjalanan menuju pusat perbelanjaan. Sebenarnya Jade sengaja mengajak Ruby keluar untuk menanyakan perkembangan hubungannya dengan Rayden.
“Bagaimana hubunganmu dengan suamimu?” tanya Jade yang sesekali menoleh Ruby dan tetap fokus pada kemudi.
Bahu Ruby terlihat turun saat ia menghela nafas berat. “Hah … bagaimana aku mengatakannya?”
“Katakan saja hubungan kalian membaik atau sebaliknya,” sahut Jade.
“Semalam dia mabuk.”
“Ah, maka dari itu kau datang sendiri?”
Ruby mengangguk lalu mengatakan, “Dia marah karena aku mengatakan padanya bahwa aku yang memberitahu ayah mengenai mantan kekasihnya.”
“Tapi itu benar, kan.”
“Ya, itu memang benar. Aku tak mengira berani mengatakannya padanya. Sekarang aku tidak tahu apakah aku bisa membuatnya mencintaiku atau tidak,” ucap Ruby dengan wajah murung.
“Jadi, kau akan menyerah?”
Ruby tak segera menjawab, ia masih tertunduk sampai tiba-tiba ia mengangkat kepala dan menyunggingkan seringai tipis. “Menyerah? Tentu saja tidak.”
Jade menghela napas berat. “Hah … ya Tuhan, tolong sadarkan adikku ini.”
“Apa maksudmu, Kak? Kau tidak mendukungku? Siapa yang mengatakan akan selalu mendukung apapun yang aku lakukan?”
“Yah, baiklah, baiklah. Tapi, ada kalanya aku kasihan padamu, Bee. Masih ada banyak lelaki yang pasti mau denganmu, teman kakak bahkan ada yang tertarik padamu, tapi kau justru tergila-gila pada lelaki yang tidak melihatmu. Hah … jika kakak bisa, kakak ingin mengambil otak dan hati suamimu dan menuliskan namamu agar kau berhenti seperti pengemis,” ujar Jade panjang lebar. Bee adalah panggilan sayangnya pada Ruby. Ada kalanya Jade merasa kasihan pada Ruby, tapi Ruby benar-benar keras kepala. Tak berhenti mengatakan dia akan membuat Rayden jatuh cinta padanya.
Ruby menggoyangkan telunjuknya ke arah Jade. “Ck, ck, ck, apa maksudmu pengemis, Kak? Aku tidak mengemis, loh. Aku berusaha, bekerja keras, bukan mengemis dengan memohon-mohon padanya.”
“Hah … terserah kau saja. Dasar lebah keras kepala,” ucap Jade sambil mengacak pucuk kepala Ruby.
“Ish, Kakak!” Ruby berusaha menyingkirkan tangan Jade dari atas kepala dan merapikan rambutnya kembali sambil menggerutu. Namun, hal itu justru membuat Jade tertawa kecil.
“Tertawa saja, tertawa terus sampai kakak ngompol di celana,” ucap Ruby menyumpahi Jade. Ia kesal saat kakaknya mengacak rambutnya membuatnya terlihat seperti anak kecil.
Jade tak membalas sumpah serapah Ruby, ia hanya diam dengan sudut bibir terangkat.
***
Untuk pertama kalinya Rayden duduk di kursi meja makan sendirian. Ia tengah menikmati makan malam pertamanya setelah menikah tanpa Ruby di rumah. Sudah hampir sehari dan ia belum juga tahu di mana keberadaan Ruby. Ia pun mulai berpikir bagaimana jika Ruby memutuskan pergi? Tapi, bukankah itu bagus? Sejak awal memang itu yang ia inginkan.
Rayden menghabiskan segelas air putih untuk mengakhiri acara makan malamnya. Bangkit dari duduknya, dicucinya piring kotornya kemudian melangkah meninggalkan dapur. Saat berjalan melewati kamar Ruby, ia kembali menatap pintu bercat putih itu.
Rayden tersentak saat ponsel dalam saku celananya berdering. Ia segera mengambil benda itu dan melihat siapa yang menelepon, berpikir mungkin saja itu Ruby. Tapi, tidak. Yang tertera pada layar ponselnya adalah nomor Dafa.
“Bagaimana, sudah ada kabar dari istrimu?” tanya Dafa setelah Rayden mengangkat panggilan.
“Tidak.”
“Haish, apa jangan-jangan istrimu pulang ke rumah orang tuanya?”
Rayden melebarkan mata sesaat. Bagaimana bisa dirinya tidak berpikir sejauh itu?
“Siapa tahu dia menyerah padamu dan memilih pulang pada kedua orang tuanya.”
Rayden tetap hanya diam tak menyahut apa yang Dafa katakan. Namun, tiba-tiba ia menepuk jidat sambil menghela napas berat.
“Bukankah itu bagus? Memang itu yang aku inginkan,” ujar Rayden. Namun, meski mengatakan itu, ia merasa ada sesuatu yang mengganjal ketika mengatakannya.
“Eh, tapi sepertinya tidak mungkin. Aku yakin dia tak akan menyerah semudah itu. Ah, atau jangan-jangan … Ruby pergi dengan temannya semalam? Ah, atau mungkin, dia diculik? Bagaimana kalau Dominic yang menculiknya? Dia tergila-gila pada istri–”
Rayden segera mengakhiri panggilan. Bicara dengan Dafa justru membuat pikirannya semakin tak karuan. Pria itu terus saja berkata ‘mungkin dan mungkin’ membuat kepalanya terasa pening.
Ibu jari dan jari tengah Rayden bekerjasama memijit pelipis. Berkat ucapan Dafa, sekarang isi kepalanya hanya ada Ruby, kiranya, ke mana perginya istrinya itu.
“Ck, ada apa denganku?” gumam Rayden disertai desahan berat. Ia merutuki dirinya kenapa tak berhenti memikirkan Ruby. Apalagi ditambah ucapan Dafa tadi membuatnya semakin merasa frustasi.
Perhatian Rayden tiba-tiba beralih pada ponsel yang masih dalam genggam tangan kala benda pipih miliknya itu berdering. Menatap layar, alisnya berkerut melihat nomor tak dikenal yang tertera pada layar. Seketika ingatan ucapan Dafa terbesit dalam kepala. Mungkin saja Ruby memang diculik dan itu adalah nomor si penculik, pikir Rayden yang membuatnya segera mengangkat panggilan.
“Halo.”