“Syukur lah. Aku benar-benar khawatir, By.” Dengan sorot mata nan teduh, Azka menatap Ruby yang duduk di hadapannya dibatasi meja ruang tamu. Rupanya tamu yang Jade maksud adalah Azka. Azka benar-benar mendatangi rumah Rayden untuk mencari tahu keadaan Ruby.
“Maaf sudah membuatmu cemas, Az. Aku sudah beli ponsel baru, nanti aku akan menghubungimu,” ujar Ruby yang sebelumnya sudah memberitahu Azka mengenai apa yang terjadi.
Tanpa Ruby sadari, raut wajahnya masih tampak berbinar. Suasana hatinya masih berbunga-bunga setelah apa yang terjadi sebelumnya dengan Rayden.
“Oh, ya, Bi, tadi … siapa?” tanya Azka. Ia sempat terkejut saat yang membuka pintu adalah seorang pria yang tidak ia kenal, bukan Rayden si pemilik rumah.
“Halo, namaku Jade.”
Ruby segera menoleh ke belakang mendengar suara sang kakak. Kakaknya itu berdiri di belakang sofa yang didudukinya dan tersenyum cerah pada Azka. “Sejak kapan kakak di sini?” tanya Ruby penuh selidik. Padahal ia sangat yakin, saat ia duduk menemui Azka, kakaknya bersembunyi di kamarnya.
Kedua tangan Jade menekan kepala sofa, menjadikannya tumpuan saat ia setengah membungkuk ke arah Ruby di depannya. “Sejak teman laki-lakimu yang tampan itu menanyakan aku.”
Dahi Ruby tampak berkerut. “Sebaiknya kakak pergi,” ucapnya dengan wajah masam kemudian kembali menghadap depan pada Azka.
“Jadi, kau temannya, Ruby? Teman dekat? Atau sangat dekat?”
“Ah, ano, itu ….” Azka menggaruk pipinya yang tak gatal sambil menatap Ruby dengan senyum canggung.
Ruby menghela napas berat hingga ia tertunduk sekilas. “Maaf, Az, ada banyak hal yang terjadi setelah aku lulus SD,” ucapnya kemudian bangkit berdiri dan membalikkan tubuhnya menghadap Jade dan memberinya pelototan. “kakak sudah merusak momen berhargaku tadi, jangan membuatku lebih kesal lagi dengan berada di sini.”
Jade seakan tertegun mendengar dan melihat bagaimana Ruby memperingatkannya. Namun, tiba-tiba saja ia tertawa. Seperti biasa, melihat Ruby marah dan memberinya pelototan juga seakan ingin melumatnya hingga lenyap justru tampak lucu di matanya.
“Hahaha … hahaha … ya, ya, baik lah, lebah maduku. Baik, aku akan pergi dan tak akan mengganggu kalian,” ucapnya dengan kedua tangan terangkat di depan d**a. “tapi aku akan mengadu pada suamimu,” ucapnya kembali saat ia berjalan mundur dan membuatnya kembali mendapat pelototan dari Ruby.
Jade terus melangkah mundur hingga akhirnya menghilang di balik dinding. Tingkah konyolnya pun lenyap seiring dirinya yang tak lagi dapat Ruby lihat. Tepat saat Jade menghentikan langkahnya, Rayden keluar dari kamar dan tanpa sengaja keduanya beradu tatap.
“Kebetulan sekali,” gumam Jade.
Rayden hanya diam. Tak ada raut wajah canggung yang tercetak di wajah. Ia tahu, Jade pasti tahu seperti apa hubungannya dengan Ruby membuatnya tak perlu bersandiwara.
Kembali pada Ruby, ia kembali duduk menghadap Azka sambil menghela napas berat.
“Kelihatannya kalian akrab sekali.”
“Hah … seperti yang kau lihat,” sahut Ruby.
“Kukira, dulu kau anak tunggal.”
“Eh? Apakah aku belum menceritakannya padamu? Ibuku menikah lagi setelah ayah meninggal,” ujar Ruby. Meski sudah cukup lama kembali menjalin pertemanan dengan Azka, ia tidak menceritakan banyak hal mengenai keluarganya.
Azka menganggukkan kepala. “Jadi, pria tadi adalah kakak tiri Ruby,” batinnya.
Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar. Ruby pun bangkit dari duduknya dan membuka pintu melihat siapa yang datang.
“Selamat pagi.”
Ruby sedikit terkejut melihat siapa yang berdiri di hadapannya saat ia membuka pintu. Orang itu tak lain adalah Dominic.
“Aku kebetulan lewat, jadi mampir. Apa tuan Rayden di rumah?” tanya Dominic dengan senyuman terukir di bibir hingga matanya menyipit.
Ruby sedikit bergidik. Senyuman Dominic tampak menakutkan terlebih setelah ia mendengar dari Rayden bahwa Dominic tertarik padanya. Sepertinya Jade tidak memberitahunya mengenai pria itu.
“Ya, suamiku di rumah,” jawab Ruby dengan memasang senyum palsu.
“Ck, aku kurang beruntung,” batin Dominic. Ia kemudian melangkah maju meski Ruby belum mempersilakannya masuk. Ia pun dibuat sedikit terkejut saat menemukan Azka. “kau ada tamu, Nyonya Ray?” tanyanya saat ia setengah berbalik menatap Ruby yang berdiri di sisi pintu.
Ruby mengangguk. “Ya. Silakan duduk. Aku akan memanggil suamiku,” ucapnya kemudian melangkah berniat memanggil Rayden sekaligus membuat minuman.
Dominic tak mengalihkan pandangan dari punggung Ruby. Ia baru duduk di sebelah Azka setelah Ruby tak lagi terlihat.
Tanpa Dominic sadari, Azka memperhatikannya saat menatap punggung Ruby membuatnya berpikir pria yang duduk di sebelahnya mungkin tertarik pada Ruby.
“Kyah!”
Tiba-tiba saja lengkingan suara teriakan Ruby terdengar membuat Azka maupun Dominic bangkit dari duduknya. Keduanya saling melempar pandangan sekilas sampai akhirnya berlari menuju sumber suara.
Di sisi lain, Jade dan Rayden yang berada teras belakang juga terkejut saat tiba-tiba mendengar lengkingan jeritan Ruby. Keduanya baru saja dalam pembicaraan yang serius. Namun, harus terpotong saat jeritan Ruby terdengar.
“Ruby!” Jade melupakan tujuannya mengajak Rayden bicara empat mata. Ia bergegas menuju arah suara Ruby terdengar, khawatir telah terjadi sesuatu dengan adik kesayangannya itu.
Rayden masih berdiri di tempat. Meski ia juga terkejut dan cukup penasaran apa yang terjadi pada Ruby, tapi ia tak ingin terlihat terlalu panik. Memasukkan satu tangannya ke saku celana, dengan langkah kaki yang lebar ia mengikuti Jade di belakangnya.
Langkah kaki Rayden membawanya ke dapur mengikuti Jade sampai akhirnya terhenti melihat pemandangan di depan mata. Di hadapannya ia melihat Ruby berdiri di atas meja makan sambil menunjuk ke sudut kabinet bawah. Sementara, tiga orang pria berkerumun, seperti bekerja sama menemukan sesuatu pada arah tunjuk Ruby itu.
“Keluar kau tikus sialan!” ucap Jade yang menungging dan memasukkan kepala ke dalam kabinet berisi koleksi panci Ruby, mencari keberadaan tikus yang sudah membuat Ruby ketakutan.
“Minggir kau, biar aku yang tangkap tikus itu,” ucap Dominic yang juga melakukan hal serupa, memasukkan kepalanya ke dalam kabinet meski bahunya berhimpitan dengan bahu Jade. Ia ingin terlihat seperti pahlawan, menangkap tikus yang sudah membuat Ruby menjerit ketakutan.
Jade menoleh, dan seketika dahinya berkerut tajam menatap Dominic. Saking paniknya ia sampai tak menyadari ada Dominic di sana. Saat tiba di dapur dan melihat arah tunjuk Ruby, ia segera bertindak. Ia tahu Ruby paling takut dengan tikus.
“Kau? Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Jade dengan mata melotot. Jarak wajah mereka begitu dekat mengingat ukuran kabinet yang tak terlalu lebar.
“Kau? Kau juga, apa yang kau lakukan di sini?” balas Dominic. Ia juga sama terkejutnya. Terlalu ingin menjadi pahlawan kesiangan, ia tak memperhatikan bahwa yang datang adalah Jade, bukan Rayden.
“I- itu! Tikusnya di atas!” teriak Ruby sambil menunjuk kompor melihat tikus yang dilihatnya tiba-tiba muncul di sana.
“Apa? Aw / Aduh.” Jade dan Dominic sama-sama mengaduh saat kepala mereka saling membentur. Bukan hanya saling membentur kepala masing-masing tapi juga terbentur pintu kabinet saat hendak mengeluarkan kepala mereka.
Sementara itu, Azka bertindak cepat. Ia segera mengambil panci yang tergantung untuk digunakannya memukul tikus itu.
Rayden tetap berdiri di tempat, memperhatikan tingkah konyol pria dewasa di depan mata. Jade, Dominic, dan Azka, ketiganya seperti seorang b***k yang berniat melindungi tuan putri mereka. Tiba-tiba terbesit sebuah bayangan dalam kepala di mana Ruby duduk di kursi raja dengan mahkota ratu di kepalanya. Jade berdiri di samping sofa sementara Dominic dan Azka bersimpuh di sisi kanan dan kiri depan Ruby dengan kepala menyandar di paha Ruby. Entah kenapa muncul perasaan aneh dalam dadanya membayangkan pemandangan itu. Ruby dikelilingi pria-pria yang menyukainya, pria-pria yang rela melakukan apapun untuknya.
Tangan Rayden mengepal. Padahal yang dilihatnya hanyalah bayangan, hanya imajinasinya semata, tapi membuatnya merasa marah. Muncul ketidak sukaan melihat Ruby dikelilingi banyak pria padahal Ruby adalah istrinya.
“A- Awas, hati-hati, Az!” teriak Ruby melihat Azka berusaha memukul tikus itu. Namun, tikus itu begitu lincah. Berhasil menghindari serangan Azka dengan berlari cepat menuruni kabinet.
Ruby yang benar-benar takut dengan tikus, tak dapat menahan jeritannya melihat tikus berwarna hitam itu berlari ke arah meja makan yang dipijaknya membuatnya reflek melangkah mundur tanpa menyadari kakinya telah melewati tepi.
”Kyah!’
“Ruby!”