“Selamat datang, Suamiku. Mau makan dulu, mandi dulu, atau … aku dulu?”
Wanita itu mengerling nakal seraya menarik ke bawah apron yang menutupi dadanya membuat gundukan kenyalnya menyembul. Seperti biasa, ia menyambut suaminya yang baru pulang bekerja dengan hanya memakai apron tanpa pakaian dalam.
Pria itu hanya diam, kemudian berjalan melewati wanita itu tanpa mengatakan sepatah kata. Wajahnya tampak datar seolah begitu muak dengan sambutan yang istrinya berikan. Alih-alih tergoda dengan tubuh indah istrinya itu, ia justru merasa jijik.
“Hih!”
Wanita bernama Ruby Cleopatra itu menghentak kaki, merasa kesal kembali gagal menggoda sang suami. Sudah hampir sebulan lebih ia melakukan berbagai cara menggoda suaminya itu, tapi hasilnya selalu nihil. Sampai detik ini suaminya yang bernama Rayden Evanz sama sekali belum menyentuhnya, ia masih perawan.
“Lihat saja, aku tak akan menyerah,” gumam Ruby dengan tatapan berani. Ia tak akan menyerah membuat suaminya bertekuk lutut padanya meski tak ada cinta di antara mereka.
Rayden berjalan menuju kamarnya kemudian memasuki kamar mandi. Menanggalkan seluruh pakaian, diguyurnya kepalanya dengan air dingin.
“Sial,” geram Rayden diiringi suara gemeretak gigi. Kedua tangannya menekan dinding, kepalanya menunduk menatap air yang melewati tubuhnya menuju saluran pembuangan air.
Kedua tangan Rayden mengepal kuat, ia memejamkan mata kemudian mengangkat kepala membiarkan wajahnya mendapat siraman air dingin dari shower di atas kepala. Ia tengah berusaha mendinginkan kepala guna melemaskan sesuatu yang menegang. Selama sebulan menikah dengan Ruby, ia berhasil menghindari setiap serangan godaannya. Akan tetapi, ia tetap lah lelaki normal yang kadang kali tak bisa mengendalikan diri ketika tersuguh tubuh mulus telanjang setiap hari. Tiba-tiba ingatan sebulan yang lalu terlintas dalam benak, ingatan di mana dirinya bisa menikah dengan Ruby, wanita yang tidak ia cintai. Dan semua itu, berawal dari pernikahannya yang gagal.
Harusnya Rayden menikah dengan wanita bernama Airin, wanita yang dicintainya dan telah menjalin hubungan kurang lebih 6 bulan dengannya. Akan tetapi, tepat di hari pernikahan, tiba-tiba wanita itu menghilang. Tak ada yang tahu ke mana perginya, Airin menghilang bak ditelan bumi yang memaksa Rayden harus menikah dengan wanita bernama Ruby Cleopatra, wanita pilihan sang ayah.
“Tidak ada tapi-tapi! Kau tetap harus menikah hari ini juga! Jika pernikahanmu hari ini batal, mau ditaruh di mana muka ayah?! Kau mau semua orang menertawakan keluarga kita? Ayah tidak mau tahu, kau harus menikah dengan Ruby!”
Rayden membuka mata saat teriakan sang ayah hari itu seolah kembali berdengung di telinga. Demi nama baik keluarga ia terpaksa menuruti perintah ayahnya. Alih-alih merangkulnya yang terpuruk karena ditinggal begitu saja oleh calon pengantinnya, ayahnya justru mengambil jalan pintas yang semakin membuatnya merasa hampir gila. Ayahnya juga mengancam, akan menjadikannya gelandangan jika berani menceraikan Ruby.
“Di mana kau, Airin ….” gumam Rayden yang masih berharap suatu hari bisa menemukan Airin. Alasannya tak mau menjadi gelandangan pun, demi bisa menemukan Airin. Meski telah resmi menikahi Ruby, tapi hatinya tak bisa berpaling. Ia menjaga diri tak menyentuh Ruby selama ini juga demi Airin.
Tiba-tiba mata Rayden melebar, ia tersentak merasakan benda kenyal menekan punggungnya ditambah tangan yang halus melingkar perut. Ia pun sudah bisa menebak siapa tersangka yang tengah memeluknya tanpa sehelai benang meski tak menoleh memastikan.
“Mau kubantu?” tanya Ruby dengan berbisik. Ia berjinjit mengurangi jarak tingginya dengan Rayden agar bisa berbisik di telinganya dan dengan sengaja meniup telinga suaminya itu.
Gigi Rayden terdengar bergemeletuk. Ia melepas paksa tangan Ruby yang melingkari perut kemudian mendorongnya hingga wanita itu jatuh terduduk.
“Awh! Aduduh ….” Ruby meringis merasakan bokongnya yang perih. Diusapnya bokongnya dan mendongak menatap Rayden yang melotot padanya. “ish, tak bisakah lembut sedikit? Bokongku ini sangat berharga, tahu.”
“Apa kau sengaja ingin membuatku gila?!” teriak Rayden setelah membalut pinggangnya dengan handuk. Ia segera meraih handuk setelah mendorong Ruby.
“Apa maksudmu, Suamiku? Aku hanya ingin membuatmu menyentuhku, itu saja,” jawab Ruby seraya bangkit berdiri dengan hati-hati. “aku tahu kau tidak mencintaiku, tapi bagaimanapun kita sudah menikah. Wajar kan jika aku ingin kita melakukan hubungan suami istri?”
“Tidak! Karena kau hanya pengantin pengganti yang ayahku pilih! Sekarang, keluar!” teriak Rayden hingga urat di lehernya terlihat. Biasanya ia selalu mengunci pintu kamar mandi saat ia membersihkan diri, tapi tadi ia lupa.
“Yah, tapi aku sudah terlanjur telanjang. Bagaimana kalau kita mandi bersama saja? Aku janji tidak akan melakukan apapun,” ucap Ruby dengan mengangkat satu tangan setengah ke udara sebagai tanda perjanjian.
Tangan Rayden terkepal kuat, giginya kembali bergemeretak. Ia tak tahu dengan cara apalagi membuat Ruby menyerah. Mengucapkan kalimat kasar pun tak berguna.
Brak!
Rayden membanting pintu dengan keras saat ia keluar dari kamar mandi. Ia memutuskan pergi dari pada harus mandi bersama Ruby. Jika saja bukan karena ayahnya, mungkin ia sudah menceraikan Ruby sejak lama bahkan sesaat setelah mereka menikah.
Ruby menatap pintu kamar mandi dalam diam. Meski mendapat perlakuan demikian, mendapat teriakan dengan kata kasar, semua itu tak akan membuatnya menyerah. Ia yakin bisa membuat Rayden luluh.
***
“Apa? Jadi dia sama sekali belum menyentuhmu?”
Pria paruh baya itu menatap Ruby dengan wajah berang. Bukan marah padanya, tapi marah karena mendengar apa yang baru saja Ruby katakan. Saat ini Ruby tengah berada di kediaman mertuanya, duduk berhadapan dengan kedua mertuanya di ruang keluarga. Bukan untuk mengadu, melainkan ayah mertuanya itu memintanya untuk datang. Harusnya ia bersama Rayden. Namun, pria itu sudah terlanjur pergi lebih dulu dengan alasan urusan pekerjaan. Mungkin, sengaja untuk menghindari ayahnya.
“Dasar anak kurang ajar, tak tahu diuntung!” geram Dewangga, ayah Rayden. Tentu saja ia marah, meski pernikahan Rayden dan Ruby karena terpaksa, ia ingin Rayden bisa menerima Ruby sebagai istrinya untuk melupakan Airin.
“Tidak apa-apa, Yah. Aku tidak akan menyerah. Aku akan terus berusaha membuatnya menerimaku,” ucap Ruby dengan senyuman yang terukir di bibir.
“Ya ampun, Ruby….” Mata Zahwa berkaca-kaca menatap Ruby yang tampak tegar. “maafkan anak ibu. Meski kau bicara begitu, ibu yakin perlakuannya tetap membuatmu kecewa,” imbuhnya kemudian bangkit dari duduknya di samping Dewangga lalu duduk di sebelah Ruby dan memeluknya. Zahwa adalah ibu Rayden. Meski baru mengenal Ruby saat suaminya membawanya sebagai pengantin pengganti, tapi ia menyayanginya, menerimanya sebagai menantu di keluarganya. Bukan tanpa sebab, melainkan karena ia tahu alasan suaminya memilih Ruby.
“Yah … sebenarnya, Ruby memang sedikit kecewa, tapi–”
“Aku akan membuat anak itu sadar,” sela Dewangga sebelum Ruby selesai bicara. Ia segera meraih ponselnya di atas meja untuk menghubungi Rayden dan memarahinya. Namun, sebelum itu terjadi, Ruby mencegahnya. Ia tak ingin ayahnya ikut campur dan semakin membuat Rayden membencinya.
“Ayah, jangan,” cegah Ruby sebelum Dewangga menghubungi Rayden. “Jika Ayah mengatakan sesuatu mengenai masalah ini, Rayden pasti semakin membenciku. Bukan aku melarang Ayah ikut campur, tapi izinkan aku melakukan tugasku sendiri,” ujarnya berharap ayah mertuanya itu mengerti.
Dewangga terdiam dan meletakkan kembali ponselnya ke atas meja setelah sebelumnya meremasnya. Ia dapat melihat kesungguhan Ruby membuatnya tak dapat menolak keinginannya.
Tiba-tiba dering ponsel terdengar memecah keheningan. Ruby mengambil ponselnya dari dalam mini bag di atas pangkuan dan mengangkat panggilan yang tak lain dari Rayden.
“Pulang, sekarang!”
Ruby menjauhkan ponselnya dari telinga saat suara Rayden yang kencang berdengung di telinga tepat setelah ia mengangkat panggilan. Rayden berteriak dengan nada emosi tinggi.
Belum sempat Ruby mengatakan sesuatu, panggilan telah berakhir, Rayden mengakhiri panggilan begitu saja membuatnya bangkit dari duduknya.
“Ayah, Ibu, Rayden memintaku pulang. Kalau begitu, Ruby pulang dulu,” ujar Ruby kemudian berpamitan dengan mencium tangan kedua mertuanya. Meski seringkali menggoda Rayden dengan nakal, attitudenya pada orang yang lebih tua sangat baik apalagi pada kedua mertuanya.
“Iya, Sayang. Hati-hati di jalan, ya,” ucap Zahwa. “ya ampun, Yah … kasihan sekali Ruby,” ujar Zahwa setelah Ruby pergi.
Dewangga hanya diam. Ia pun memiliki pikiran yang sama.
“Kita harus melakukan sesuatu,” ucap Dewangga saat sebuah ide terbersit dalam kepala. Akan ia buat Rayden menghamili Ruby apapun caranya dan dengan segera.