C2 - POV Yusuf

1118 Words
Sebenarnya... apa arti dari sebuah kebebasan? Apa arti dari sebuah pilihan? Lahir dari keluarga berpendidikan, keluarga yang mengamalkan ajaran Islam. Lahir dari keluarga terpandang, dihargai dan dihormati oleh semua tetangga. Memang suatu kebanggaan, tapi juga menjadi suatu penyesalan jika tidak menjadi seseorang yang sesuai dengan ekspektasi orang banyak. Membawa beban yang sangat berat sepanjang hidupku. Namaku Muhammad Dzakir Nur Yusuf, kedua orangtuaku bermaksud memberiku nama ini agar aku bisa bersikap mulia seperti Rasullullah SAW, cerdas, bercahaya dan menerangkan, serta tampan seperti nabi Yusuf As. Saat umi mengandung diriku, aku sudah dijodohkan bersama seorang anak perempuan yang lebih kecil 3 bulan lebih 3 hari dariku, namanya Harumi Jannah As-Syifa, dia adalah anak dari sahabat dekat Abi, sekaligus keluarganya adalah penyelamat nyawa almarhum kakekku. Ya, sebuah alasan klasik untuk melakukan perjodohan. Detik ini, aku sedang di rumah calon mertuaku, bermaksud melamar sekaligus menentukan tanggal pernikahan kami. Perempuan bernama Harumi yang akan menjadi calon istriku ini duduk tepat di hadapanku, hanya berjarak 1,5 meter saja. Dia nampak tidak mendengarkan obrolan kedua orangtua kami sedari tadi. "Ada Abi." Setelah ayah dari perempuan yang duduk di depanku ini bertanya, aku langsung menjawab, to the point dengan tujuan kedatangan kami, lebih tepatnya tujuan kedua orangtuaku. "Saya Muhammad Dzakir Nur Yusuf, dengan bismillah kedatangan saya bersama keluarga saya hari ini adalah untuk melamar kamu, menjadikanmu istri saya, ibu dari anak-anak kita kelak, Harumi. Saya dan kamu sama-sama tau, kita telah dijodohkan dari lahir. Jadi, sebagai tradisi turun-temurun di keluarga kita, acara lamaran tetaplah diperlukan. Harumi, maukah kamu menerima lamaran saya?" "Harumi, saya tau akhlak saya tidaklah semulai Nabi Muhammad SAW. Saya tidak pula setabah Nabi Ayyub AS, atau setakwa Nabi Ibrahim AS, apalagi setampan Nabi Yusuf AS. Tidak. Saya hanya seorang laki-laki akhir zaman yang Insya allah akan mencintaimu dengan sepenuh hati saya, karena Allah SWT. Saya hanyalah seorang karyawan swasta biasa saja yang Insyaallah akan amanah menjadi calon ayah dari anak-anak kita kelak. Saya tidak bisa menjanjikan harta yang melimpah untukmu, tapi saya bisa menjanjikan kesetiaan, kedamaian, dan kehangatan di dalam rumah tangga kita nanti. Pernikahan adalah ibadah terlama manusia, saya tak ingin gagal dalam melaksanakan ibadah ini, saya mengimpikan rumah tangga yang tak hanya didasari oleh cinta, tapi juga ridho Allah dan restu orangtua. Jadi, Harumi... maukah kamu menerima lamaran saya?" Aku melihat jelas perempuan yang duduk di depanku ini tergugu mendengar kata-kataku. Seolah ekspresi dari wajah cantiknya itu berkata padaku, 'Berapa lama kau menghafal kata-kata ini sampai bisa keluar begitu mudahnya dari mulutmu? Berapa kali kau melakukan riset sampai bisa merangkai kata-kata penarik ini? Perempuan lain pasti akan langsung luluh mendengarnya. Tapi tidak untukku.' Walau hanya sekilas, ekspresinya tadi masih membayang-bayang di kepalaku. Aku langsung terdiam menerjemahkan ekspresi wajahnya. Dia menatapku jijik, mencemooh, menghina, intinya ekspresi yang membuat harga diriku jadi jatuh sejatuh-jatuhnya. Apa dia membenciku karena perjodohan ini? Aku menghela nafas diam-diam. Memaksakan senyum. Perempuan yang duduk di depanku ini mengangguk pelan. Tidak tersenyum sedikit pun. "Saya Harumi Jannah As-syifa, dengan bismillah menerima lamaranmu, Muhammad Dzakir Nur Yusuf. Saya tidak secantik dan semulia istri-istri Baginda Nabi SAW, Khadijah dan Aisyah, yang merupakan ibu bagi umat muslim. Saya tidak pula seanggun dan setabah putri Baginda Rasulullah, Fatimah Az-Zahra. Saya hanyalah wanita akhir zaman yang berharap bisa membangun rumah tangga yang sakinah mawadah dan warahmah, saya hanyalah wanita akhir zaman yang memiliki cita-cita untuk membahagiakan suami dan melahirkan anak-anak yang shaleh dan shalehah dari rahim saya." Perempuan bernama Harumi itu baru tersenyum, tipis. Dia nampak sedang mencoba untuk berdamai dengan keadaan. Walau aku tau, dia tidak tulus menyampaikan kalimat tadi. Aku membalas senyumannya. Aku akui, walau senyuman perempuan ini terasa tidak tulus, tapi tetap saja dia nampak sangat menawan. "Harumi, saya berharap... acara lamaran ini juga bisa membuat saya lebih mengenal dirimu. Jadi mohon bantuannya." "Tentu." Perempuan bernama Harumi ini ikut menundukkan kepala. "Tidak usah formal begitu Nak, kamu juga Nak Harumi, tidak perlu bersikap formal. Kalian akan menikah, menjadi pasangan seiman, sehidup sesurga." Perempuan paruh baya dengan kerudung panjang menimpali. Dia umiku, malaikat yang mendampingku di bumi yang telah Allah berikan untukku. Umi tersenyum tipis dengan wajah bersahabatnya. "Tidak apa-apa Umi, mungkin mereka canggung. Jadi kapan kita akan menentukan tanggal pernikahan?" tambah abiku, laki-laki paruh baya dengan sorban putih berjenggot panjang yang duduk di sebelahku ini. Aku terperanjat kaget, ingin memotong pembicaraan. "Jangan dulu Abi!" Kini semua pandangan tertuju padaku. 22 tahun aku hidup di muka bumi, aku sudah pernah jatuh cinta pada seorang perempuan yang lebih muda 1 tahun dariku, parasnya tak diragukan lagi, kepintarannya tak perlu ditanya, dan yang terpenting adalah akhlaknya. Dia gadis cantik yang santun, penyayang binatang, ramah, baik hati dan tidak sombong. Terlebih dia juga anak dari keluarga terhormat, ayahnya adalah anggota parlemen, ibunya adalah kepala sekolah dari SMA swasta terbaik di kota kami. Walau begitu, ada satu pondasi kokoh yang menghalangi hubungan kami, agamanya. Akan tetapi, itu bukan masalah besar bagiku untuk bersamanya, apalagi hubungan kami sampai saat ini tak pernah bermasalah. Aku berpacaran dengannya sudah sejak 5 tahun yang lalu. Saat aku duduk di bangku kelas 3 SMA dan dia duduk di bangku kelas 1 SMA. Dulu, aku adalah ketua osis, dan pacarku sekretarisnya. Kami berpacaran tepat di awal semester 2, namun tidak ada seorang pun yang tau hubungan kami sampai saat ini, termasuk teman-teman dekat kami. Kami memilih untuk merahasiakannya. Dan kini, aku tak tau apa yang harus aku jelaskan pada pacarku, mengenai perjodohanku ini. Terlebih, aku sudah melamar perempuan yang duduk di hadapanku ini, kami hanya tinggal menentukan tanggal pernikahan, tak akan bisa kami mengelak dari perjodohan ini. Kadang aku bertanya... Apa benar, bahwa jodoh itu adalah takdir Allah? Bukannya aku meragukan atau munafik, hanya saja... bagaimana bisa aku bahagia dengan perempuan yang sama sekali tidak aku cintai? Bahkan perempuan yang akan menikah denganku ini terlihat membenciku. Aku percaya, bahwa laki-laki yang baik pasti akan mendapatkan perempuan baik-baik, begitu pun sebaliknya, perempuan baik-baik, juga akan mendapatkan laki-laki yang baik. Dan aku tau, perempuan yang duduk di hadapanku saat ini adalah perempuan baik-baik, ayahnya adalah ulama besar, ibunya adalah seorang ibu rumah biasa yang berhenti dari pekerjaannya demi membesarkan kedua putrinya, padahal dulu ibunya adalah seorang sekretaris di perusahaan swasta terbaik di luar kota. Aku juga percaya, bahwa rejeki, jodoh, dan maut semuanya ada di tangan Allah SWT. Namun... aku tak menginginkan perjodohan ini, aku tidak mencintai perempuan yang duduk di hadapanku ini. Bukannya aku tidak mensyukuri apa yang telah Allah berikan padaku, hanya saja hatiku tidak berada di sini. "Yusuf, ada apa?" Abi menatapku kaget, ekspresi abi cemas. Aku memalingkan mukaku, melirik ekspresi perempuan yang akan aku nikahi ini, pupil matanya membesar menatapku, ikut kaget atas jawabanku tadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD