C3 - POV Harumi

1046 Words
Acara lamaran tadi telah selesai. Aku menghela nafas lega. Walau tadi sempat ada sedikit masalah akibat seruan dari calon suamiku itu, semuanya cepat terselesaikan. "Haaah..." Aku menghempaskan tubuh ke kasur, make up tipis tadi sudah kuhapus setelah keluarga calon suamiku itu melangkahkan kaki mereka meninggalkan rumahku ini-- lebih tepatnya rumah ibu dan ayahku. Tok tok tok. "Harumiiii." Aku langsung mendorong punggungku untuk berdiri, duduk dari kasur dan menurunkan kaki ke lantai. Dengan penuh rasa malas aku membukakan pintu kamar, untuk kakakku yang belum juga kembali ke rumahnya. Kenapa pula dia berlama-lama di sini? Aku menongolkan kepala, menatap bengong kakakku yang berdiri di depan pintu dengan kedua tangan di atas perutnya, sedikit memasang wajah marah. "Kenapa kamu bengong gitu? Mundur!" Akhirnya sikap kakakku yang sesungguhnya keluar juga, dia sudah menahan sikap aslinya sedari ada tamu tadi. Aku langsung mundur, membuka lebar pintu kamar. Kakakku yang seperti ini, tidak akan bisa dibantah. "Apa-apaan sikap kamu tadi, Harumi!? Di hari penting untukmu ini, tidak seharusnya kamu bersikap tidak peduli begitu. Kamu tau betapa khawatirnya kakak tadi? Kakak tau kamu tidak menyukai perjodohan ini, tapi hargailah orangtua kita. Menikah tidak harus karena mencintai di awal dulu, setelah menikah nanti, kakak yakin kamu dan Yusuf bisa saling mencintai." Kakak tau aku membenci perjodohan ini, kakak pun tau aku tidak suka hidup penuh kekangan seperti ini. "Kakak tidak akan bisa merasakan apa yang aku rasa! Selama ini kakak diberi kebebasan oleh ayah dan ibu untuk melanjutkan kuliah setinggi-tingginya! Sedangkan aku!? Harus memberontak dulu baru diberi izin, itu pun sulit, jika kakak tidak mencoba memberi penjelasan pada ayah dan ibu dulu, aku tidak akan diperbolehkan kuliah! Satu lagi! Kakak menikah karena kakak mencintai suami Kakak! Kakak telah berpacaran dengan Kak Dzawin sejak kuliah! Kakak dan Kak Dzawin saling mencintai, sedangkan aku!?" Aku berseru kesal, marah melihat kakak. Dengan cepat kakak melayangkan tamparannya padaku, aku tak sempat menghindar. Aku memegangi pipiku yang terasa berdenyut. Kakak tak kenal belas kasihan. "Seharusnya kamu bersyukur Harumi! Itu tandanya ayah dan ibu sayang padamu! Makanya mereka menginginkan masa depan yang terbaik untukmu! Seharusnya kamu bersyukur." Mata kakak melotot tajam menatapku, mengulangi kata bersyukur. Melihat ekspresi kakak aku menelan ludah, bukan karena aku takut pada kakak, hanya saja, aku baru menyadari suatu hal, bahwa sebenarnya, aku tak punya siapa-siapa. Kakak yang dulu aku anggap adalah satu-satunya orang yang bisa mengerti diriku, ternyata bukan, kakak sama saja dengan kedua orangtuaku. Memangnya tau apa dia tentang kebahagiaanku! Persepsi kebahagiaan setiap orang itu berbeda! "Hahaha. Ternyata pendidikan setinggi apapun, tidak bisa membuka pikiran seseorang ya? Aku tak menyangka kakak yang pernah aku banggakan, ternyata punya pikiran sesempit ini. Memangnya tau apa kakak tentang kebahagiaanku!? Kakak tau seberapa irinya aku pada Kakak yang diberi kebebasan untuk melakukan apa yang Kakak mau!? Kakak tau seberapa tersiksanya aku dijadikan alat perjanjian!? Dijodohkan pada laki-laki yang tidak aku sukai!? Apa Kakak tau!? Apa Kakak peduli padaku!?" Air mata mengalir di pipiku, hangat. Kakak terdiam mendengar perkataanku. Seumur hidup, baru kali ini aku membentak pada kakak. "Syakila! Harumi! Teriak-teriak apaan kalian ini!? Syakila! Biarkan adikmu istirahat, suamimu sudah datang menjemput!" Ibu mendobrak pintu kamarku, marah besar mendengar kami ribut. Walau ibu tau bahwa aku sedang menangis, dia nampak tak peduli. Kakak menatapku dengan mata sayunya, menundukkan pandangan, melangkah keluar kamar. "Harumi, istirahatlah." Ibu menutup pintu, benar-benar tidak menunjukkan ekspresi peduli padaku. Bahkan menanyai alasan kenapa aku sampai menangis seperti ini saja tidak ada. Haaah... aku muak. Aku menghempaskan tubuh ke kasur, menatap langit-langit kamar dengan pikiran kosong. Bagai angin yang berlalu, menerbangkan daun-daun asa yang sudah rapuh. Apa aku bisa seperti angin? Berlalu begitu saja dan menghapuskan banyak beban ini? Bukankah pelajaran berharga dalam hidup adalah pengalaman? Dan obat terbaik untuk semua suasana hati adalah penerimaan? Memeluk atas penerimaan semua kenangan dari setiap pengalaman yang ada? Lantas... kenapa aku tidak bisa menerima semua yang telah ditakdirkan padaku ini? Boro-boro memeluknya, menerimanya saja aku sudah berat hati. Tidak ada lagi yang aku punya. Kakak yang dulu aku pikir sangat mengerti diriku, tempat aku mencurahkan semua isi hatiku, seseorang satu-satunya yang bisa aku harapkan, kini telah pergi. "Muhammad Dzakir Nur Yusuf, kamu... adalah seseorang yang akan aku benci di masa depan, tapi mungkin tidak juga, karena melihat ekspresi tadi, aku tau betul, kamu merasakan rasa yang sama padaku, karena kita berada di posisi yang sama." Aku langsung terpikirkan sesuatu, pernikahanku dengan laki-laki yang bernama Yusuf itu hanya tinggal 2 minggu lagi, karena aku dan dia tidak saling mencintai, kami juga sama-sama tidak menyetujui perjodohan dengan alasan klasik ini, mungkin kami berdua bisa membuat surat janji perceraian diam-diam. Karena bagaimana pun, perjodohan aku dengan Yusuf hanyalah keegoisan keluarga kami masing-masing. Saat ayah masih kuliah, dia bersama teman-temannya memancing ikan di laut, saat itu pula ayah bertemu dengan kakek Yusuf yang hampir saja tenggelam karena sampannya bocor, ayahku lah yang melompat kelaut untuk menyelamatkan almarhum kakek Yusuf yang ternyata adalah orangtua laki-laki dari sahabat ayah selama SMP, yaitu abi dari Yusuf. Setelah kejadian itu, ayahku lulus kuliah dan bekerja di daerah yang sama dengan tempat tinggal Yusuf, hubungan persahabatan mereka semakin dekat, sampai akhirnya ayah menikah dengan ibu. 2 tahun setelah ayah menikah, abi dari Yusuf juga menikah. 2 tahun setelah itu, ibuku hamil kembali, istri dari abi Yusuf juga hamil. Saat itu lah, almarhum kakek Yusuf merencanakan perjodohan kami, juga dengan alasan balas budi karena telah menolong dirinya yang hampir tenggelam waktu di laut dulu. Parahnya kedua orangtua kami setuju, bahkan tanpa mereka tau apa kami bisa lahir dengan selamat atau tidak. Ini yang aku dengar dari kakak, kata kakak juga mereka melakukan perjodohan ini juga demi mempererat hubungan. Tapi apa perlu mengorbankan kami!? 2 tahun setelah aku dan Yusuf lahir, kakek Yusuf meninggal dunia. Sebelum nafasnya berhenti, dia mengingatkan kedua orangtua kami tentang perjodohan ini. Karena perjodohan ini adalah pesan terakhir dari almarhum kakek Yusuf, perjodohan ini tidak bisa dibatalkan. Naif! Aku langsung beranjak dari kasur, memakai kardigan, meraih jilbabku yang tergantung di samping lemari, mengenakannya. Walau sudah mau maghrib, dan sekarang juga hari Minggu, besok aku harus masuk kerja kembali. Untuk beberapa menit saja, aku butuh udara segar, menenangkan pikiranku dengan udara di bawah langit senja yang berwarna jingga kemerahan. Setan telah berhasil membuatku emosi tadi, dia berhasil merusak imanku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD