Who Are You?

2145 Words
Usai mengantar Chaeri pulang ke kediaman barunya, Nara memilih pulang. Mood-nya menghabiskan waktu di Hades sudah sirna, digantikan dengan hasrat ingin memberitahu sang ayah mengenai isi kepalanya mengenai kemungkinan bahwa ada makhluk lain yang sedang mencoba mengganggu bangsa vampir. Sesampainya di rumah, sang Gadis Kim segera menuju ke ruang kerja ayahnya. Ya, pada jam-jam seperti ini biasanya sang ayah masih mengurus pekerjaannya yang belum sempat diselesaikan di kampus. Benar saja, saat mendekati ruangan bernuansa gelap itu, aroma sang ayah masih bisa tercium dengan jelas. “Ada apa kau kemari, Sayang?” tanya Jooho sesaat setelah Nara membuka pintu ruang kerja. Pria itu masih enggan mengalihkan pandangan dari laptopnya. Nara mendekati meja kerja sang ayah dengan wajah tegang, tapi gadis itu belum berkata apa-apa sampai akhirnya Jooho mengalihkan atensi kepada dirinya. “Chaeri telah bertransformasi,” secuil informasi itu Nara sampaikan kepada Jooho sebagai pembuka. Dia melihat reaksi terkejut dari sang ayah. “Chaeri sahabat manusiamu itu?” Jooho memastikan. Setelah mendapat anggukan dari sang putri, wajahnya semakin terkejut. “Vampir yang menggigit Chaeri sepertinya adalah orang atau makhluk yang sama dengan yang menguntitku menggunakan wajah Ato. Dia bukan berasal dari dunia kita.” Kali ini wajah Jooho semakin membelalak tak percaya mendengar perkataan putri semata wayangnya. Saking kagetnya dia sampai menutup laptopnya guna bicara serius dengan Nara. Sambil bangkit dari kursi kebesaran Jooho berujar, “duduklah dan jelaskan pelan-pelan pada Ayah.” Nara pun menuruti kata-kata sang ayah dan duduk di sofa kulit berwarna cokelat yang berada di ruangan itu. Jooho mengambil tempat di seberangnya. “Jadi, ada apa? Kenapa kau bisa menyimpulkan seperti itu?” Jooho bertanya. Rautnya tampak penasaran. “Chaeri kencan buta dengan seseorang bernama Lee Jongin. Dia adalah orang yang menggigit Chaeri sehingga Chaeri menjadi seorang vampir seperti sekarang. Dewan sudah mencoba melacak pria itu, tapi tidak ditemukan apa pun. Kalau dia hanya seorang vampir liar, Dewan pasti akan tetap berhasil melacaknya, bukan? Tapi ini tidak sama sekali.” Nara menjeda beberapa saat sebelum melanjutkan, “Hal ini mengingatkanku pada sosok penguntit itu. Penguntit yang menyamar menjadi Ato dan keberadaannya tidak bisa dilacak sampai sekarang. Hanya ada satu alasan yang tepat untuk menjelaskan semua ini, bukan? Kemungkinan sosok itu bukanlah berasal dunia kita.” Kini, Jooho tampak mengerti. Dia mengangguk-angguk tanpa ragu. “Kau benar. Hanya makhluk yang bukan berasal dari dunia kitalah yang bisa melakukan semua itu.” Namun, kini raut Jooho menjadi keheranan. “Tapi, kalau itu benar, mengapa makhluk dari Atas ingin mengusik kita? Apa yang mereka inginkan atau cari?” “Nah, itu juga yang masih menjadi pertanyaan besar bagiku, Ayah. Aku sama sekali tidak mengerti.” “Well, apa pun itu, tolong jangan sampaikan ini ke siapapun dulu, ya. Ayah hanya tidak mau asumsimu ini membuat bangsa vampir menjadi gempar. Kalau situasinya mendesak, barulah kita beri tahu Dewan.” Nara mengangguk tanpa perlu banyak bicara. “Dan kita juga harus berhati-hati, Sayang. Jangan percaya pada siapapun karena bisa saja dia berada di sekitar kita, tapi kita yang tidak menyadarinya.” Kali ini Nara lebih dulu terdiam sebelum mengangguk secara perlahan. ***** “Hahahahahaha!” Tawa menggelegar itu memenuhi sebuah ruangan serba hitam, di mana terdapat sebuah kursi yang mirip singgasana yang diduduki oleh seorang pria tampan. Pria itu membawa sebuah gelas berisikan cairan yang sewarna anggur merah, tapi lebih pekat; darah. Dia meminumnya sampai habis usai puas tertawa. Seorang pria lain yang tampak duduk di pojok ruangan hanya mampu menggeleng melihat kelakuan sahabatnya. “Kau pasti sangat puas sekarang karena berhasil mengacaukan pikiran mereka berdua,” lirih si pria di pojok ruangan pada pria di singgasana. “Hahahaha.” Pria itu tertawa lagi dan menatap sahabatnya dengan senyum penuh kemenangan. “Wu Yian, kau seperti tidak tahu saja bagaimana sahabatmu ini, hm? Tentu saja aku sangat puas. Inilah yang kutunggu-tunggu sejak lama.” Yian mengangguk-angguk dengan raut wajah yang tampak bosan dan lelah. Sungguh, dia benci harus terjebak dalam situasi ini untuk kedua kalinya. Ya, dia tahu akan apa yang sedang terjadi, tapi dia tidak bisa ikut campur. Memilih untuk berpura-pura tidak tahu, padahal justru dialah yang paling tahu bahwa takdir akan terulang kembali. Takdir yang begitu kejam bagi dua anak manusia. “Jika ….” Yian membuka mulut dan sang sahabat memusatkan atensi kepadanya. “Jika … di kehidupan ini kemalangan kembali menimpa keduanya, apakah kau akan melakukan hal yang sama di kehidupan selanjutnya?” Sahabatnya tampak berpikir, tapi tentunya Yian tahu kalau dia hanya berpura-pura. Yian sangat memahami sifat lelaki itu. Dia serupa monster yang hobi mengacaukan kehidupan makhluk lain sesuka hati. “Serius, Yian, kau masih bertanya? Tentu saja aku akan tetap melakukan hal yang sama.” Tawa menggelegar kembali terdengar. Namun kali ini singkat saja karena setelahnya wajah pria sang pemilik tawa mengerikan itu mendadak tampak serius. “Justru aku lebih penasaran bagaimana jadinya jika mereka yang menang? Apakah aku akan tetap hidup? Atau musnah?” Yian terkejut mendengar pertanyaan tersebut. Mendadak dia juga penasaran, akankah sahabatnya terkalahkan? Kalau ya, akankah kehidupan abadinya tetap terjaga? Ganjaran apa yang akan didapatkannya? Senyum sinis menghiasi wajah tampan mengerikan itu. “Tapi tentunya aku tidak akan binasa hanya karena kalah dari mereka. Aku yakin bisa bangkit lagi dan kembali menghancurkan mereka di kehidupan selanjutnya dan selanjutnya lagi, entah mereka akan terlahir sebagai apa. Aku akan tetap memastikan mereka tidak bisa bersama selamanya. Dari setiap perpisahan itu akan menghasilkan akhir yang berbeda-beda. Menarik, bukan?” Lagi, pria itu kembali tertawa dan Yian hanya bisa mendengus karenanya. ***** Biasanya kalau sedang gelisah Nara akan mencari Jay untuk mencurahkan isi hatinya dan itulah yang sedang dia lakukan saat pagi menjelang. Ya, semalaman dia memikirkan ini dan rasanya kepala dara cantik itu hampir pecah memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang belum tentu terbukti kebenarannya. “Woah, gunung es sudah mencair rupanya? Biasanya kau baru mencariku setelah dua hari bertengkar, tapi ini bahkan belum dua puluh empat jam—“ “Berhenti menggodaku dan cepatlah kemari, Jay Jung. Aku benar-benar tidak bisa memikirkan ini semua seorang diri,” tukas Nara dengan nada putus asa. Sungguh, entah kenapa dia merasa semakin kalut. Sebab, entah kenapa sebuah nama dari sosok yang tidak ingin dia bayangkan menjadi dalang di balik semua ini tiba-tiba bertahta di pikirannya. Nara benar-benar takut kalau kecurigaannya terbukti benar. Setidaknya jangan orang itu, pikirnya sejak tadi. Tidak terdengar balasan apa pun dari sosok di ujung sambungan yang membuat Nara langsung berasumsi kalau mungkin sahabatnya ikut merasa heran dan mungkin saja panik mendengar seberapa putus asa dirinya. “I’ll be right there.” Begitu kata Jay sebelum mengakhiri panggilan. Kalau saja Nara sepenuhnya manusia, dia pasti sudah menghela napas lega sekarang. Nara yang tadinya berdiri di balkon kini masuk kembali ke kamarnya. Bertepatan dengan hal itu, sang ibu mengetuk dan membuka pintu kamar anak gadisnya. Dengan tersenyum manis berujar, “Sayang, sarapan sudah siap.” Nara balas tersenyum manis—menyamarkan kekalutan yang dia rasa dan menjawab, “Aku akan menyusul.” Jihyun mengangguk dan menutup pintu kamar Nara kembali. Sepeninggal sang ibu, Nara pun sedikit berbenah diri dan bersiap keluar kamar. Hari ini kelas pertamanya dimulai pukul sebelas, itu sebabnya dia hanya mengenakan baju rumahan. Namun, ada satu hal yang tidak boleh dia lupakan, yaitu ponsel. Nara baru saja meraih ponselnya saat layar benda persegi panjang tersebut menyala dan menampilkan pesan dari seseorang. Netra Nara membulat, kentara terkejut melihat siapa sosok yang telah mengiriminya pesan yang berbunyi, ‘Kim Nara, kau tidak lupa dengan janji hari ini, bukan? Hari ini aku tidak ke kampus, jadi kita bertemu di apartemenku saja setelah kelasmu berakhir, bagaimana?’ Pesan itu bukan berisi ancaman atau sebagainya, tapi entah kenapa Nara merasa takut dan curiga. Tentu saja hal ini berkaitan dengan apa yang semalam dia bahas dengan sang ayah. Namun, Nara dengan cepat mengenyahkan perasaan itu dan membalas, ‘Baik, Prof. Nanti selesai kelas pukul lima saya akan ke sana.’ Nara terus menyakinkan diri sendiri bahwa apa yang dia pikirkan hanyalah kecurigaan belaka. Dia tidak boleh dan tidak bisa menuduh Kang Hoon dalang di balik semua ini, kendati ada beberapa keanehan mengenai fana tampan tersebut. Tidak, sampai dia menemukan sendiri buktinya. ***** “Tapi, bukankah semua itu masuk akal?” Jay mencoba menyampaikan pendapatnya usai Nara menceritakan semua. Johoo memang mengatakan padanya untuk tidak bercerita kepada siapapun, tapi Nara rasa Jay adalah pengecualian baginya. Nara tidak bisa jika tidak berbagi dengan sahabatnya tersebut. “Kenapa?” Nara bertanya, sejenak merasa takut mendengar kalimat yang akan terlontar dari mulut pemuda di hadapannya. “Sejak awal dia memang memiliki aura yang berbeda dari manusia kebanyakan, bukan? Aromanya bahkan tidak terendus oleh kita. Menyelami pikirannya saja tidak bisa. Hanya makhluk Atas yang mampu seperti itu, Nara.” “Aku tahu, Jay, tapi tetap saja aku tidak bisa langsung memercayai asumsi itu.” Nara bersikeras, setengah tidak rela kalau Hoon dijadikan kambing hitam. “Kalau dia makhluk Atas, harusnya kita masih bisa merasakannya. Tapi aku tidak merasakan apa-apa. Dan makhluk yang menguntitku itu dia punya aura yang sulit didefinisikan. Ada keraguan antara aura dari Atas atau Dunia Bawah. Yang jelas, bagiku mereka memiliki aura yang cukup berbeda. Terlalu berbeda malah.” Jay tergelak, sepertinya dia tidak tahu lagi harus berkata apa. “Kalau begitu, kita buktikan nanti sore.” Nara menatap Jay tak mengerti. “Maksudmu, kau ingin aku mengonfrontasinya langsung?” Jay sontak menggeleng. “Tidak, jangan seperti itu. Kau amati gerak-geriknya dulu. Kau tidak bisa langsung menyerangnya kalau belum ada bukti yang kuat. Kau hanya perlu bersikap seperti biasa padanya sambil mencari tahu tentang Kang Hoon. Pokoknya, jangan buat dia curiga.” Nara mengangguk. Keterdiaman melanda kedua vampir berbeda gender itu, tapi si gadis lebih dulu memecah keheningan dengan bertanya, “bagaimana kencanmu nanti malam?” Jay menatap Nara terkejut. “K-Kau serius menanyakan hal itu?” “Memangnya kenapa?” tanya Nara sambil mengangkat bahu, kebingungan. “Well, kemarin kau menentangku menemuinya, tapi sekarang ….” Nara berdecak dan mendorong bahu Jay. “Ey, sudahlah jangan dibahas terus! Aku memang khawatir padamu, tapi aku tetap tidak punya hak untuk melarangmu menemuinya. Lagi pula kau benar, perasaan juga tidak bisa diatur apalagi ditebak, bukan? Serahkan saja pada takdir bagaimana itu semua akan berakhir.” “Woohoo, jadi Kim Nara sudah mulai percaya takdir?” Jay menggoda dengan senyum menyebalkannya yang khas dan langsung menuai pukulan di kepala bagian belakangnya. Jay meringis, walaupun tidak merasa kesakitan sama sekali. “Aku hanya sedang mencoba bersikap realistis. Yang penting aku sudah memeringatkanmu,” sungut Nara kesal. “Kalau begitu ….” Jay merangkul Nara dan tersenyum lebih tulus kali ini, tidak ada kesan mengejek apalagi menggoda. Dengan lembut melanjutkan, “… aku juga tidak akan melarangmu memiliki perasaan pada Kang Hoon, tapi kau harus tetap waspada. Mengerti?” Nara juga tersenyum dan mengangguk. “Jadi, bagaimana dengan kencanmu? Kalian jadi bertemu nanti malam?” Senyum Jay pun berubah menjadi senyum bangga dan jemawa. “Tentu saja. Lagi pula, kalau dia ingin membatalkan janji, seharusnya dia memberi tahuku. Eh, tapi kami bahkan belum bertukar nomor ponsel ….” Suara Jay melemah di ujung kalimat yang membuat Nara tertawa geli karenanya. “Dasar bodoh! Sudah begitu yakin, tapi kau bahkan tidak punya nomornya?” Jay berusaha membela diri. “H-Hei, saat itu kami berada di hutan, mana sempat aku memikirkan nomor ponsel? Lagi pula, aku yakin dia pasti tidak akan membatalkan janji begitu saja.” Nara hendak menimpali lagi, tapi dia urungkan. Sebagai gantinya, gadis itu hanya menggeleng tak percaya. “Sudahlah, lebih baik aku bersiap-siap ke kampus saja. Kau juga lebih baik pulang sana dan bersiap-siap.” Si gadis vampir bangkit dari sofa yang dia duduki dan bersiap memasuki kamar mandi. “Eh, kau mau berangkat ke kampus bersama atau ….” Nara langsung menjawab lewat gelengan. “Tidak usah, aku nanti menyetir sendiri saja. Aku harus ke apartemen Hoon, ingat?” “Ah, benar juga. Ya sudah, sampai bertemu di kampus!” Jay pun keluar dari kamar Nara usai mendengar gumaman pelan gadis itu. Sepeninggal Jay, Nara pun segera melanjutkan langkahnya. Memasuki kamar mandi guna membersihkan diri. ***** Tidak ada yang aneh saat Nara sampai di apartemen Hoon. Pria itu masih bersikap ramah seperti biasa kepada Nara. Mereka berjanji temu untuk membahas nilai-nilai mahasiswa dan diskusi mereka juga berjalan hangat. Sejenak Nara ingin mengutuk pemikirannya tadi pagi mengenai si Pria Kang. Kendati begitu, dia tidak melupakan pesan Jay yang menyuruhnya untuk tetap waspada dan mencari tahu mengenai sang dosen. Kegiatan membahas nilai berjalan singkat saja. Dalam waktu satu jam akhirnya mereka selesai juga. Sebagai basa-basi, Nara berpura-pura ingin pamit pulang. “Hm, kalau begitu saya ….” “Tidak usah buru-buru, Kim Nara. Santailah dulu.” Kata-kata Hoon terasa menggantung. Nara merasa kalau pria itu sebenarnya ingin menyampaikan sesuatu, tapi dia terlihat ragu. Hal ini terlihat jelas dari gerak-geriknya. “Kau ….” Benar saja, saat Hoon membuka mulutnya mendadak Nara menjadi tegang. Pria itu bertanya, “… siapa kau sebenarnya?”

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD