Usai menabrakkan diri ke mobilnya, Chaeri ditarik Nara untuk ikut dengan sang sahabat. Bukan, mereka bukan pergi ke Hades, melainkan ke pinggiran Sungai Han. Tatapan Nara masih setia terpaku pada sosok yang kini duduk di sampingnya di dalam mobil yang menghadap langsung ke sungai. Dia terus memerhatikan tingkah laku gadis yang kini sudah bukan manusia lagi—Park Chaeri. Chaeri memang hanya diam sambil menikmati sebotol darah segar yang diberikan Nara kepadanya, tapi tetap saja rasa penasaran sang Gadis Kim tidak dapat dikesampingkan begitu saja.
“Ah, lezat sekali!” seru Chaeri usai menandaskan darah yang sudah seperti makan malam baginya itu. Si Gadis Park menatap Nara dengan tatapan berbinar yang menyiratkan ungkapan terima kasihnya. “Terima kasih, ya. Kalau tidak ada kau aku mungkin sudah menggigit hewan peliharan milik orang lain saking laparnya.”
“Dan dibinasakan oleh Dewan Vampir setelahnya,” balas Nara dengan sarkasme yang langsung membuat Chaeri merengut. Mengabaikan reaksi sahabatnya, Nara pun segera melanjutkan, “karena aku sudah memberikanmu darah sapi, sekarang katakan padaku apa yang terjadi. Bagaimana bisa kau menjadi seorang vampir?”
Ditodong pertanyaan seperti itu oleh Nara, Chaeri pun mengubah ekspresi wajahnya. Kali ini tidak ada rengutan sebal ataupun senyum dengan tatapan berbinar. Nada suara dan wajah Chaeri begitu sendu saat berujar, “Beberapa hari lalu aku ikut kencan buta dengan seseorang bernama Lee Jongin. Dia benar-benar tampan sampai aku begitu percaya padanya. Kami bahkan hampir tidur bersama malam itu ….“
“Park Chaeri bisa-bisanya kau?!”
Chaeri mengangguk frustrasi. “Iya aku tahu aku sangat bodoh, Nara. Tapi aku juga tidak tahu kenapa aku mau saja saat akan dibawa olehnya ke hotel. Mungkin itu yang dinamakan oleh pesona vampir. Pak Park bilang kemungkinan aku disihir oleh Jongin agar mau menuruti semua perkataannya.”
“Tunggu sebentar.” Ada satu nama yang membuat Nara tertarik untuk bertanya, “Pak Park? Siapa yang kau maksud?”
“Dewan Park Jungsoo. Beliau yang menyelamatkanku yang sekarat usai digigit oleh Jongin.”
Informasi itu membuat Nara semakin tampak terkejut. “Bagaimana Dewan Park tahu soal keadaanmu?”
Chaeri mengangkat bahunya. “Beliau bilang anggota dewan memiliki semacam sensor jika ada manusia yang digigit oleh kaum kalian, apalagi kalau kejadian itu berlangsung di daerah yang menjadi kekuasaan dewan tersebut.”
Nara mengangguk. “Sebenarnya tidak hanya Dewan, setiap vampir di radius tertentu dari tempat kejadian pasti akan tahu karena penciuman kami sangat peka terhadap darah manusia. Namun, hukum vampir sejak lama telah melarang kami untuk menggigit manusia. Itu sebabnya Dewan bergegas menolongmu saat tahu bahwa ada vampir yang melanggar hukum. Vampir tersebut harus ditangkap lalu dieksekusi dan korbannya harus diselamatkan entah dalam wujud manusia atau dalam wujud vampir.”
Chaeri mengangguk. Tatapan dan nada bicaranya masih sendu. “Saat aku sadar dari pingsan beliau bertanya apakah aku ingin tetap hidup sebagai vampir, atau mati sebagai manusia. Di tengah rasa sakit yang mendera, aku sibuk berpikir. Haruskah aku menjadi vampir saja atau mati dalam keadaan seperti itu dan aku memilih untuk jadi vampir karena aku masih memiliki banyak keinginan yang belum tercapai.”
“Tapi ada banyak hal yang harus kau korbankan jika memilih hidup abadi sebagai vampir, Chaeri. Kau—“
“Ya, aku tahu.” Chaeri mengangguk cepat dan mencoba tersenyum walau tampak getir. “Aku tahu kalau aku tidak bisa hidup normal lagi sebagai manusia. Aku tidak akan bisa memiliki keturunan dan aku juga akan merasakan begitu banyak kehilangan orang-orang yang kusayangi. Namun, yang terpenting bagiku saat ini adalah aku bisa mewujudkan mimpi mendiang kedua orang tuaku yang ingin aku lulus sebagai seorang sarjana. Aku akan sangat menyesal jika meninggal sebelum sempat meraih gelarku.”
Mendengar perkataan Chaeri, Nara hanya mampu bungkam. Sedikit banyak dia memang mengetahui bagaimana latar belakang si Gadis Park yang harus kehilangan kedua orang tuanya saat berusia tujuh belas tahun karena kecelakaan mobil. Kedua orang tua Chaeri hanya lulusan sekolah menengah atas, itu sebabnya mereka ingin sekali Chaeri menjadi seorang sarjana.
“Lagi pula, kalau aku berumur panjang aku bisa bertemu dengan reinkarnasi kedua orang tuaku, bukan? Walau mereka belum tentu mengingatku, tapi bisa melihat mereka lagi sudah sangat cukup bagiku.”
Nara mengalihkan pandangan dari Chaeri, berusaha menata perasaan manusianya yang saat ini sedang mendominasi. Sesungguhnya Nara merasa marah pada setiap orang yang berani menukarkan kehidupan normal mereka sebagai manusia demi hidup abadi sebagai seorang vampir. Dia merasa mereka hanyalah orang-orang yang bodoh dan tamak. Nara yang lahir sebagai setengah vampir setengah manusia saja merasa bahwa menjadi vampir tidak semudah yang dibayangkan. Terkadang dia malah mengutuk takdir yang membuatnya hidup sebagai seorang hybrid. Namun, setiap mendengar alasan yang berhubungan dengan reinkarnasi orang terkasih seperti yang Chaeri paparkan tadi, entah kenapa kemarahan Nara justru menguap entah ke mana.
“Lalu sekarang kau menjadi bagian dari keluarga siapa? Dewan Park?” Nara bertanya setelah sekian lama diam. Dia sudah memulihkan perasaannya.
Chaeri menggeleng. “Aku diurus oleh Keluarga Park Jooyoung, salah satu bawahan Dewan Park. Kau tahu, kan?”
“Ah, dia. Ya, aku tahu. Hm, tapi bagaimana bisa kau kelaparan? Apa mereka tidak memberimu makan?” Seketika mata Nara membulat begitu menyadari sesuatu. Dia tampak terkejut. “Lalu, bagaimana kau bisa keluar hanya beberapa hari setelah bertransformasi?” Seorang newborn seperti Chaeri masih sedikit berbahaya bagi bangsa manusia jika dilepaskan ke alam seperti ini. Biasanya para newborn harus dikarantina berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan agar mereka terbiasa dulu hidup sebagai vampir vegetarian atau dengan kata lain tidak menyakiti manusia.
Kali ini Chaeri meringis dan menggaruk tengkuk. “Mereka memberiku makan kok, tapi aku kembali merasa lapar setelah berlari dan menabrak mobilmu tadi. Lagi pula, aku masih dalam pengawasan mereka kendati sedang tidak dikarantina di rumah. Itu sebabnya aku bisa menemuimu seperti ini.”
Nara mengangguk mengerti. Rasa penasarannya pun kembali terusik saat dia ingat apa poin yang belum dia tanyakan kepada sosok sahabatnya. “Lelaki bernama Lee Jongin itu, aku belum pernah mendengar namanya. Apakah Dewan sudah mengeksekusinya?”
Chaeri menggeleng. “Dewan bahkan tidak tahu ada vampir bernama Lee Jongin di bawah yurisdiksi mereka maupun di negara-negara lain. Mereka mengira kalau lelaki itu menggunakan nama samaran atau vampir liar yang memang tidak ada datanya.”
Nara pun berdecak dan tertawa dengan kesan meremehkan. “Bahkan sekalipun dia menggunakan nama samaran atau vampir liar, Dewan tetap akan bisa melacaknya lewat aroma dan DNA racun vampir yang bersarang di tubuhmu. Kecuali ….” Tiba-tiba Nara merasa ngeri dengan pemikirannya saat ini. Entah kenapa dia jadi menghubungkan kejadian ini dengan sosok menyerupai Ato yang pernah memata-matainya tempo hari. Selama ini sosok penguntit itu masih menjadi misteri. Hal inilah yang akhirnya membuat sebuah gagasan baru muncul di dalam kepala cantiknya.
Chaeri yang tampak tak mengerti segera bertanya, “kecuali apa, Nara?”
Menelan ludah, Nara pun menjawab dengan nada lirih, “kecuali dia bukan berasal dari dunia manusia.”
*****
Hoon sampai di rumah pukul 11 malam. Tadi usai rapat Dekan mengajaknya dan beberapa dosen lain untuk makan di luar. Mereka makan daging dan minum soju sambil berbincang. Karena Hoon tidak banyak minum, dia bisa pulang sendiri tanpa bantuan sopir pengganti. Namun, sebelum pulang dia sempat mampir ke minimarket untuk membeli beberapa barang.
Setibanya di flat, Hoon langsung menghempaskan tubuhnya ke sofa. Tubuh yang lelah membuatnya terlelap di sana hanya dalam hitungan menit. Awalnya semua gelap, hitam. Namun, tiba-tiba saja keadaan berubah menjadi agak terang karena sinar rembulan. Hoon berada di sebuah lapangan alang-alang di mana sebuah pohon yang Hoon tidak diketahui apa namanya tumbuh di sana.
Hoon mengernyit dan melihat sekeliling. Suasana di sana sangat sepi. Namun, saat atensi Hoon kembali ke arah pohon misterius tersebut, dia dikejutkan oleh adanya sosok yang sedang tergantung di salah satu dahan pohon. Bukan hanya itu, wajah pria tersebut yang begitu mirip dengannya pun semakin membuatnya terbelalak.
“Hah!” Suara itu terlontar dari mulut Hoon ketika mendadak dia terbangun dari lelapnya. Peluh membasahi kening si Pria Oh. Badannya pun ikut bermandikan keringat. Sungguh, dia begitu terkejut dan keheranan karena terus mengalami mimpi yang serupa mengerikannya dengan yang baru saja dia alami. Orang bilang mimpi itu bunga tidur dan sebagian besar tidak nyata, tapi jika demikian kenapa mimpinya terasa begitu nyata dan terjadi berulang-ulang?
“Sepertinya aku kelelahan. Ya, pasti karena itu.” Hoon mengangguk meyakinkan diri sendiri. “Salahku juga malah tertidur di sini sebelum mandi dan berganti pakaian.” Ya, Hoon mencoba berpikir positif kalau ini merupakan teguran untuknya agar membersihkan diri sebelum tidur. Maka dari itu, dia pun segera bangkit dari sofa dan pergi ke kamar mandi di kamarnya.
Usai mandi, Hoon yang sudah berpakaian pun pergi ke dapur untuk membuat teh kamomil dengan harapan setelah meminumnya nanti dia bisa lebih rileks dan tidur dengan nyenyak tanpa mimpi buruk lagi. Kendati dia juga yakin bahwa mimpi itu masih akan tetap menghantuinya, tapi setidaknya dia harus mencoba, bukan?
Sambil meminum teh, pikiran Hoon pun melanglang buana. Entah kenapa dia jadi ingat sosok yang beberapa malam lalu sempat berada di rumahnya, meminum teh di meja yang juga dia tempati saat ini. Senyum manis yang disusul dengan tawa canggung pun terurai dari mulut Hoon. Pria itu menggeleng tak menyangka.
“Aneh. Kenapa hanya dengan memikirkan Kim Nara aku jadi tersenyum dan tertawa seperti orang gila?” Sungguh, Hoon benar-benar merasa aneh dengan dirinya. Hanya butuh waktu satu malam saja dan dunianya terasa berubah. Hoon bukanlah sosok yang dingin lagi kepada Kim Nara, padahal dia sempat membenci gadis itu karena perilaku dan wajahnya yang mirip dengan sosok gadis dari masa lalunya.
Ah, bicara soal sosok yang meninggalkan sang ibu yang tengah sekarat itu membuat rasa penasaran Hoon kembali terpancing. Seharusnya Hoon sudah bisa move on dari masa lalunya dan melupakan gadis yang dia anggap sebagai penyebab Mina meninggal, tapi entah kenapa dia tidak bisa. Bukan karena dia belum merelakan kepergian sang ibu, melainkan karena sosok itu sendiri. Sosok yang cantiknya begitu menyilaukan mata, sosok yang dia yakini sebagai cerminan dari Kim Nara.
Hoon baru ingat kalau sosok itu pernah berkata pada Hoon kecil kalau dia akan melupakan segalanya. Dia akan melupakan gadis itu. Namun, kenapa Hoon harus melupakannya?
"Aku akan mencoba sebisaku. Sekarang cepat pergilah dan setelah kau kembali nanti, kau tidak akan menemukanku dan bahkan tidak akan ingat dengan kehadiranku."
Kata-kata dengan suara yang familiar itu kembali terngiang di telinga Hoon. Sungguh, rasanya Hoon masih penasaran. Siapakah sosok itu sebenarnya? Benarkah dia bukan Kim Nara?
Ya, kendati Hoon pernah melontarkan pertanyaan konyol itu secara langsung pada sang empunya nama dan Nara menjawab bukan, tapi entah kenapa masih ada keyakinan kalau mereka memang orang yang sama. Namun, jika benar begitu tandanya Kim Nara bukan manusia biasa, bukan?
“Apakah dia vampir?” Begitulah yang Hoon pikirkan setiap kali gagasan mengenai Kim Nara yang bukan manusia muncul di otaknya. Memang tidak hanya vampir makhluk yang memiliki usia panjang, tapi jika mengingat kejadian dua puluh tahun lalu saat perampokan dan pembunuhan itu terjadi, sosok mirip Kim Nara dan teman lelakinya memang tampak seperti vampir.
Tunggu dulu. Teman lelaki?
Netra Hoon membelalak samar. Dia yang sedang mengangkat cangkir kini secara perlahan menurunkannya dan meletakkannya di meja.
“Benar. Gadis itu bersama teman lelakinya.”
Kini, Hoon pun mengingat-ingat seperti apa sosok lelaki tersebut karena mendadak dia merasa tidak asing dengannya. Entah kapan itu, tapi dia merasa pernah melihat pria tersebut setelah kejadian dua puluh tahun lalu.
“Kalau benar aku pernah melihatnya lagi setelah kejadian itu, berarti pria itu juga tidak menua. Mungkinkah dia vampir juga?”
Deg!
Lagi, Hoon seakan mendapat pencerahan mengenai sosok itu. Kalau lelaki itu vampir, mungkinkah dia ….
“Selingkuhan Jasmine?”
Ting tong! Ting tong!
Suara bel pintu membuyarkan lamunan Hoon seketika. Sambil mengernyit heran, pria itu memerika jam dinding. Ini sudah hampir tengah malam. Siapa yang bertamu selarut ini?
Mengabaikan rasa herannya, Hoon pun bergerak ke pintu berniat membukakan. Namun, sebelum itu dia mencoba memeriksa lewat lubang pintu. Karena tidak menemukan siapapun, dia pun membuka pintu. Nihil. Memang tidak ada siapapun di sana. Saat akan menutup kembali pintu unitnya, Hoon justru dikejutkan oleh sepucuk surat yang tergeletak di lantai. Penasaran, dia pun berjongkok dan mengambilnya.
Sambil tetap berdiri di ambang pintu, si Pria Kang pun membaca isi surat itu. Matanya membelalak sempurna saat membaca deretan kata dalam bahasa Rumania yang jika diartikan menjadi ….
‘Percayalah pada intuisimu karena intuisi hampir tidak pernah meleset.’