"Selamat makan ciwi-ciwi ku." Devan datang dengan nampan berisikan makanan di tangannya, cowok itu kemudian meletakkan masing-masing pesanan Aina dan Salsa di hadapan mereka, setelah itu Devan langsung mengambil duduk di sebelah Salsa.
"Wihh Devan kalau baik gini jadi makin ganteng deh, sayang punya temen kalau enggak udah gue nikahin lo," ujar Aina.
Langsung saja tangan Salsa terangkat melemparkan sebuah bakso gorengnya kepada Aina membuat gadis itu mendelik kaget.
"Sini lawan gue dulu kalau mau sama Devan!" tantang Salsa memajukan wajahnya.
"Ah elah canda Sal, lagian mana mau gue sama Devan, gue kan cuma cinta mati sama Elang seorang!"
"Iya cinta mati, lo yang ngarepnya Elang cinta tapi Elang ngarepnya lo mati! Miris, miris," balas Devan sambil menyuapkan nasi gorengnya ke dalam mulut.
"Devan ish jahat banget ngomongnya!" omel Aina tak terima.
"Lah bener kan?"
"Eh udah udah, Na lihat tuh pujaan hati lo datang," ucap Salsa menunjuk pada pintu masuk kantin. Di sana terlihat tiga cowok pentolan sekolah tengah berjalan masuk sambil sesekali mengedarkan pandangan mencari bangku kosong.
"Masyaallah gantengnya jodoh gue," puji Aina tanpa sadar.
Pluk!
"DEVAN!" pekik Aina ketika merasakan kepala yang sakit terkena lemparan sesuatu dan Devan adalah pelakunya.
Aina menatap Devan tajam namun dengan mata yang berkaca-kaca, sakitnya bukan main. Karena pekikan Aina tadi, semua jadi memperhatikan mereka.
"Na, ngapain pakai teriak sih?" tegur Salsa malu jadi bahan tontonan.
"Kepala gue sakit, Sal! Malah dilempar sendok sama pacar lo! Jadi sakit kuadrat kan!" marah Aina dengan suara keras, peduli setann jika dirinya jadi bahan perbincangan.
"Na, sorry gue nggak sengaja," ujar Devan merasa bersalah. Devan juga tak menyangka jika respon Aina akan seperti ini.
Air mata Aina telah bercucuran deras membasahi pipinya. Melihat itu Salsa langsung berdiri pindah duduk di sebelah Aina untuk menenangkan. Salsa juga menyalahkan Devan melalui sorot matanya.
"Na, udah Na," kata Salsa namun saat Salsa ingin memeluk Aina tiba-tiba saja Aina langsung berdiri, menyentak tangan Salsa dengan kasar.
"Na?" panggil Devan.
"Bercanda lo keterlaluan tau nggak!" bentak Aina lagi kali ini tepat di hadapan muka Devan.
Aina lalu segera beranjak pergi meninggalkan kantin. Sejujurnya Aina juga malu harus menangis dilihat banyak orang, tapi mau bagaimana lagi, air mata serta emosinya refleks keluar tanpa Aina minta dan tanpa bisa Aina tahan. Semua terjadi begitu saja. Puluhan pasang mata yang melihat Aina seperti itu sama-sama memasang wajah terkejut. Bahkan saat Aina melewati Elang dan kedua temannya, Aina hanya melengos begitu saja, tanpa menengok dan melirik sedikit pun membuat Elang bertanya-tanya bingung.
"Kok aneh? Lo transparan ya Lang kok dilewati gitu aja?" gumam Bayu.
"Ck, bagus kali Bay, kan Elang juga risih sama Aina," balas Naufal.
"Lo dua jadi makan nggak? Kalau enggak gue mau perpus!" kata Elang kepada kedua temannya.
"Jadi dong!" jawab Bayu dan Naufal cepat secara bersamaan.
***
Di dalam toilet Aina terus membasuh wajahnya dengan air wastafel, berusaha menghilang bekas sembab yang membandel. Berkali-kali Aina membilas namun tetap saja, bekas habis menangis itu masih ada, apalagi ketika mengingat betapa sakit dan malunya tadi, rasanya mata Aina langsung memanas.
Jujur Aina sebal dengan Devan, tapi dia juga merasa tak enak telah marah-marah. Harusnya Aina tak semarah tadi, cuma balik lagi, efek kepala habis jatuh dari atas kasur membuat emosi Aina tak terkendali. Dan jika mau ditarik ulur semua ini salah Elang! Kenapa cowok itu mampir di bayang-bayang Aina sebelum tidur? Coba kalau tidak, Aina tak akan halu sampai kejadian kayak di kantin tadi bukan?
"Ish! Emang semuanya salah Elang!" geram Aina memukul marmer wastafel.
"Untung suka, coba kalau enggak. Udah gue ucel-ucel tuh muka sok cool-nya! Mana dikasih bekal nggak bilang makasih kek apa kek, diem terus! Sebenernya tuh cowok beneran manusia apa batu dikasih nyawa sih? Heran gue!"
Brak!
"ANJIIIIING! APALAGI SIH? NGGAK BISA AP—" Mulut Aina seketika bungkam ketika berbalik badan dan menemukan sosok Ratu berdiri sambil melipat kedua tangannya di atas dadaa.
"Apa?" tanya Ratu menaikkan dagunya tinggi-tinggi menantang Aina.
Aina lalu sebentar memalingkan mukanya, berdehem singkat kemudian membalas tatapan Ratu. "Sorry gue kira siapa, habisnya gue lagi kesel lo ngagetin gebrak-gebrak pintu."
Ratu terkekeh pelan. "Gue nggak mau basa-basi sama lo."
"Yaudah buruan mau apa, gue juga nggak punya banyak waktu."
Langsung saja, dengan cepat Ratu meraih dagu Aina, mencengkeramnya kuat hingga membuat Aina meringis kesakitan. Tak sampai di situ saja, Ratu juga menyeret Aina, membenturkan punggung Aina pada tembok, mengunci pergerakan gadis itu.
"Eh anak baru! Gue kasih peringatan terakhir ya sama lo, jangan sok kecentilan di sekolah ini. Karena sekolah ini adalah daerah kekuasaan gue. Paham?" kata Ratu.
Haning, tak ada sahutan dari Aina.
"MALAH DIEM. JAWAB! PUNYA MULUT KAN?" teriak Maya, salah satu teman Ratu sambil dengan sengaja menendang ember yang ada di sana hingga menimbulkan suara gaduh.
Aina terkesiap sampai menutup mata. Dalam hati Aina mengumpati ketiga cewek kurang kerjaan itu. Setelah menarik nafas panjang, Aina lalu kembali membuka matanya. Dengan berani Aina menepis kasar tangan Ratu dari dagunya, membalas tatapan Ratu tak kalah tajam membuat Ratu refleks mundur.
"Perlu lo tau ya Rat, gue sekolah di sini bayar! Jadi terserah gue dong mau apa, mau gue sok centil kek, mau gue sok cantik, emang apa urusannya sama lo? Sekolah ini bukan punya nenek moyang lo 'kan?" ujar Aina lantang.
Rahang Ratu mengeras. Tangan gadis itu tergerak lalu mendorong dadaa kiri Aina kencang. "Berani ya lo sama gue?"
"Apa? Lo pikir gue takut? Sorry, dalam hidup gue nggak ada sejarahnya gue takut sama manusia!" Aina terdiam sejenak lalu terkekeh. "Kecuali lo iblis, bukan manusia. Baru gue takut!"
Puas membuat Ratu tak bisa berkata-kata, Aina langsung melenggang pergi begitu saja. Tak lupa Aina menyenggol kasar bahu kedua teman Ratu.
"AARRGGHHH!" Ratu mengeram kesal.
"Akh! Tuh cewek kenapa nggak ada takut-takutnya sih sama gue?"
"Mungkin lo harus lebih dari ini Queen," balas Eka.
"Atau lo perlu berbuat sedikit kekerasann buat dia agar jerah," imbuh Maya.
Terlihat seringai menyeramkan dari Ratu, matanya memicing ke depan dan tersenyum miring. "Lo berdua benar, gue harus kasih pelajaran yang lebih buat Aina."
***
"Dududu ... Nanana ... Lalala ...."
"Weitss Aina, makin hari makin cakep aja."
Sontak langkah Aina terhenti. Gadis itu lalu menolehkan kepalanya ke belakang, melihat tiga cowok duduk di dekat anak tangga, hingga ketiga cowok itu berdiri mendekatinya.
Aina tertawa renyah kepada ketiga cowok itu. "Hai, makasih lo pujiannya."
Ketiga cowok itu kemudian saling tatap penuh arti, lalu salah satu dari mereka, cowok dengan tindik di telinganya mengambil tempat di sebelah Aina, akan merangkul Aina namun dengan cepat Aina menghindar.
"Sorry, ada apa ya?" tanya Aina yang mulai ketakutan.
"Emm nggak ada apa-apa sih, gue cuma mau nawarin lo buat entar malem ada waktu nggak? Kalau kosong, bisa dong ikut kita bertiga. Iya nggak?" Secara bersamaan kedua teman lainnya mengangguk.
"Aduuh sorry lagi nih, gue nanti ada acara jadi nggak bisa, next time maybe?"
"Kalau kita bayar? Mau nggak?" tanya cowok yang lainnya, cowok berjam tangan hitam di pergelangan lengan kirinya dengan genit.
Kening Aina mengerut bingung. "Maksudnya gimana ya? Gue agak ngelag nih mon maap."
Cowok dengan tindik tadi berjalan memutari Aina sambil berkata, "Ya gini loh Aina, lo ikut kita nanti kita bayar, berapa pun lo mau! Kalau mau makan juga boleh, apa pun yang lo minta bakal kita kasih. Gimana? Mau enggak?"
Aina sontak memudurkan langkahnya, memberi jarak kepada mereka bertiga. "Sekali lagi maaf ... banget, gue nggak bisa. Oke, gue pergi dulu, bye!" katanya lalu berlari pergi, namun belum jauh Aina berhenti, tepat saat telinganya berhasil menangkap kalimat yang tak mengenakkan dari para cowok tadi.
"NGGAK USAH SOK JUAL MAHAL DEH, NA! EMANG BERAPA SIH HARGA LO?"
Ini sudah kelewatan. Kedua tangan Aina secara tak sadar mengepal kuat. Dengan sekali tarikan nafas Aina berbalik badan, melepas sepatu kirinya lalu melemparkannya dengan sekuat tenaga sampai mengenai jidat cowok dengan anting tadi.
Ternyata mereka berusaha menguji kesabaran Aina. Gadis itu kembali berjalan mendekat. Melihat cowok itu kesakitan, setelah mengambil dan memakai lagi sepatunya, kepala Aina mendongak menatap mereka bertiga.
"Lo cewek jangan sok bareni ya sama kita!" ancam salah satu dari cowok itu.
"Apa? Emang kalian siapa? Mafia di sekolah ini? Preman di sekolah ini? Ketua geng di sekolah ini? Bukan kan? Gue udah berusaha sabar dan sopan ya sama kalian, tapi kalian malah nguji gue," marah Aina.
"Jangan kalian pikir kalian cowok bisa seenaknya! Gue juga bisa marah! Belum lihat badak betina marah kan? Sini, mau coba?" ucap Aina lagi, kali ini sambil menggulung kedua lengan seragamnnya ke atas.
"Ayo! Ngapain cuma diem?"
Ketika kedua cowok itu akan maju, cowok bertindik itu menahannya. "Biarin, kita cabut," katanya.
"Untung lo cewek!" kata salah satu dari mereka sebelum pergi.
Di sana Aina semakin merasa tinggi, gadis itu mengusap pangkal hidungnya bangga bisa mengusir para cowok brengsekk tersebut.
"Hah! Baru kena lempar sepatu aja kabur! Cupu lo semua! Cemen!"
"Ekhem!"
Rupanya Aina belum menyadari deheman tersebut.
"Ekhem! Khem!"
Tunggu dulu!
Aina mulai terdiam, perlahan Aina berbalik badan. Detik berikutnya Aina berhasil dibuat hampir terkena serangan jantung karena hadirnya seseorang yang terlalu tiba-tiba.
"E—Elang?" nama itu yang dengan refleks Aina ucapkan.
"Udah sok jagoannya?" tanya Elang dengan datar.
Aina mengangguk masih dengan wajah cengonya. "Udah kok. Lo sendiri sejak kapan ada di sini."
"Baru."
"O—ohh kirain."
"Gue mau balikin ini, makasih. Lain kali nggak usah kasih gue bekal, gue bukan anak TK!" ujar Elang mengulurkan kotak bekal Aina yang langsung di terima oleh gadis itu dengan senyum sumringah.
Aina mengintip isi di dalamnya dan kosong. Kini tak bisa lagi Aina untuk mendeskripsikan isi hatinya. Bahagia tak terhingga!
"Yaudah gue cabut dulu."
"Eh tunggu Elang!" Aina menahan tangan Elang, namun Elang enggan berbalik badan hingga Aina yang harus berjalan dan berdiri di hadapan cowok itu.
"Apalagi? Ada yang kurang?"
Dengan cepat Aina menggeleng. "Nggak ada kok, lengkap."
"Terus?"
"Itu, gimana rasa nasi gorengnya, enak nggak?" tanya Aina antusias.
"Nggak tau, nggak cobain. Bayu sama Naufal tadi yang habisin. Udah ya, gue cabut."
Terkejut? Bukan lagi! Pernyataan Elang berhasil membuat hari patah hati sedunia! Di tambah lagi setelah memberi pertanyaan yang menyakitkan bagi kesehatan telinga dan hati Aina, Elang langsung melengos begitu saja. Jadi Elang tak memakan bekalnya?
"Haha, Elang lucu ya? Bisa banget buat gue terbang dan jatuh di saat yang bersamaan."
Prok! Prok! Prok!
Aina bertepuk tangan dan menggeleng tak percaya.
"Ini antara gue yang kelewat goblokk atau Elang yang kelewat pinter mainin perasaan? Hah! Dikira hati yang poteq bisa disambung lagi pakai benang jahit? Ngadi-ngadi tuh cowok!"