Cekrek!
Kedua bola mata Aina langsung terbuka saat itu juga, bertepatan dengan lampu flash yang menyorot wajahnya dengan sangat cepat. Di depan wajah Aina telah ada seorang guru yang tersenyum kepada Aina, sampai detik ini Aina yang baru bangun tidur masih tak dapat mencerna apa yang terjadi. Tatapan gadis itu cengo membuat seisi kelas menertawakannya. Salsa yang berada di samping Aina hanya bisa menutup wajahnya karena malu.
"Enak tidurnya?" tanya guru dengan wajah cantik tersebut. "Masih pagi, baru jam pertama udah molor. Ini ketiga kalinya ya kamu tidur di jam pelajaran saya, Aina."
Aina menguap sambil mengucek matanya. "Bu Mayang cantik, masih pagi jangan marah-marah nanti cantiknya luntur, mau?" kata Aina dengan suara sedikit serak.
Brak!
"Astagfirullah!"
Aina terlonjak kaget begitu juga dengan Salsa. Tanpa ba-bi-bu, Bu Mayang langsung menarik tangan Aina agar berdiri. Setelahnya Bu Mayang menunjukkan sebuah foto yang barusan ia ambil kepada Aina.
"Foto ini akan saya kirim lagi ke Mami kamu, dan jika kamu tidur waktu pelajaran saya minggu depan, saya nggak akan segan buat panggil Mami kamu ke sekolah! Paham?"
Mata Aina seketika membulat takut, dengan kaku ia mengangguk. "Paham, Bu."
"Sekarang ikut saya!" Bu Mayang menarik paksa tangan Aina untuk ikut dengannya.
"Eh, Bu mau ke mana?!" tanya Aina berusaha memberontak. "Aduuh Ibu ini masih pagi, masa mainnya hukum-hukuman sih, Bu nggak seru tau!"
Bu Mayang yang sudah geram dengan tingkah Aina pun menyeret Aina hingga ke luar kelas, membawanya turun ke lantai bawah. Semua murid menonton adegan itu, ada yang dari jendela kelas bahkan ada yang sampai ikut keluar kelas berdesakan di pintu dan berjajar di pembatas koridor hanya untuk melihat hukuman apa yang akan Aina terima di pagi hari yang cerah ini.
Langkah Bu Mayang berhenti di bawah tiang bendera. Aina mendengus akan hal itu. "Nggak kreatif banget Bu hukumannya hormat bendera terus," celetuk Aina.
"Ohh kamu mau hukuman yang berbeda? Saya suruh ngepel lapangan mau?"
Lantas dengan sangat cepat Aina menggeleng dan nyengir menunjukkan sederet gigi putihnya. "Enggak deh Bu, ini aja biar kayak di film-film."
Bu Mayang tersenyum penuh arti kepada Aina seperti ada dendam sendiri dengan anak muridnya satu itu. "Kalau gitu tunggu apa lagi, cepat hormat!" perintah Bu Mayang tegas.
Aina langsung menuruti perintah Bu Mayang, mengangkat tangan kanannya untuk hormat ke pada sang saka merah putih yang berkibar dengan megah berlatar belakangkan langit biru yang sangat indah. Namun seindah-indahnya apa yang Aina lihat tetap saja sebuah hukuman seperti ini harusnya Aina hindari bukan malah dicari.
"Terus seperti itu sampai jam saya habis!" kata Bu Mayang sebelum meninggalkan Aina sendiri.
Sebelum berjalan kembali ke dalam kelas. Bu Mayang sempat menengok terlebih dahulu ke atas, ketika itulah semua murid yang keluar kelas menunjukkan kepalanya di balik pembatas koridor langsung berhamburan masuk. Bu Mayang sampai geleng-geleng kepala kenapa murid-murid jaman sekarang tak ada takut-takutnya, sangat jauh berbeda dengan jamannya dulu yang diancam dengan penggaris saja sudah menciut tak berani bergerak sedikit pun.
Tak lama setelah Bu Mayang pergi, kini terlihat dari anak tangga yang berada di pojok, para murid kelas XII IPA-1 secara ramai-ramai turun hendak ke lapangan dengan kaos olahraga yang mereka kenakan. Sudah hampir seminggu lamanya Aina tak melihat sosok Elang kali ini dia harus satu lapangan dengan cowok itu. Rasanya malu!
Benar saja, saat Aina melihat Elang, saat itu pula Elang juga menatapnya. Dengan wajah cool-nya Elang berjalan ke tengah lapangan membuat kepala Aina refleks berputar mengikuti langkah cowok itu. Bisik-bisik dari cewek di kelas Elang secara samar masuk ke dalam indera pendengaran Aina, namun sebisa mungkin Aina tak menggubrisnya. Aina memilih kembali menengadahkan kepalanya menatap ke bendera. Biarlah wajahnya terkena sinar matahari, toh bukannya matahari pagi itu sehat?
Di tengah lapangan, Bayu yang tengah mengikuti gerakan pemanasan sesekali mencuri-curi pandang ke arah Aina. Elang dan Naufal berhasil menangkap gerak-gerik Bayu. Lalu dengan aba-aba melalui gerakan dagu dari Elang, Naufal dengan sengaja mendorong tubuh Bayu, tak terlalu keras namun berhasil membuat Bayu terjatuh karena dirinya tak seimbang. Sontak saja tawa keras sukses Bayu dapatkan dari teman-temannya. Aina saja sampai menoleh kepo karena tawa menggelegar tersebut.
"Kalau pemanasan tuh jangan bengong! Lihatin apa sih?" kata Naufal mendapatkan tatapan tajam dari Bayu.
"Anjing lo!" umpatt cowok itu.
Pak Fahri langsung mendekati Bayu sambil berkacak pinggang. "BAYU! NGAPAIN KAMU PAKAI ACARA JATUH SEGELA HA? MAU CARI PERHATIAN YA?"
"Enggak Pak! Mana ada kayak gitu, saya mah udah dapat banyak perhatian ngapain juga dicari," balas Bayu.
"Alasan itu Pak!" sahut Naufal. "Tuh lihat Pak, siapa yang lagi hormat di bendera, pasti Bayu mau caper sama Aina, Pak!" cetus Naufal di sela tawanya.
Aina yang mendengar jelas omongan Naufal sontak mengerutkan kedua alisnya sampai menyatu. "Ngapain bawa-bawa gue dah!" kesal Aina.
Pak Fahri lalu melihat ke mana yang Naufal maksud dan dia mendapati Aina yang baru saja menengokkan kepalanya. "Emm apa kamu saya hukum saja di sana bersama Aina?" tanya Pak Fahri membuat Bayu langsung menggeleng.
"Jangan pak!" tolaknya.
"Ngomongnya nggak mau tapi dalam hati pasti seneng banget tuh. Udah Pak hukum aja!"
"Diam kamu, Eko!" banyak Pak Fahri membuat cowok bernama Eko itu langsung terdiam.
"Bayu, jangan banyak drama kamu. Sekarang ikuti pemanasan dengan baik atau kamu saya hukum dengan Aina di sana!" kata Pak Fahri mengancam lalu berjalan pergi. "Yang lainnya juga lanjutkan pemasangan dengan baik!"
Setelah Pak Fahri pergi, Bayu langsung melayangkan pukulan kepada Naufal hingga cowok itu meringis kesakitan.
"Apaan sih Bay!" sentak Naufal.
"Apaan-apaan! Maksud lo apa ha? Untung ya gue nggak jadi dihukum sama Pak Fahri," geram Bayu.
"Kalau dihukum juga lebih bagus kali, Bay. Lo pikir gue dari tadi nggak lihat lo bengong? Mana sama lihat ke arah Aina terus, ngaku lo!"
"Nggak usah sotoy!"
"Emang kenyataan kok, lo nggak bisa ngibulin gue Bay!"
"Berisik banget sih lo! Udah sono jangan ngurusin gue sama Aina terus, urusin sendiri sana kisah cinta beda agama lo sama Ataya!"
"Biasa aja kali Bay, kalau emang lo nggak ngelihatin Aina kenapa ngegas gitu? Pakai acara bawa-bawa masalah percintaan Naufal segala," sahut Elang.
"Ck sama aja lo, Lang! Cemburu kan lo?" tuduh Bayu.
Elang lalu terkekeh. "Sama sekali nggak ada hubungannya sama cemburu, Bay."
"ELANG! BAYU! NAUFAL! KALIAN KALAU TIDAK BISA MENGIKUTI PELAJARAN SAYA SILAHKAN MENEPI DARI LAPANGAN!" teriak Pak Fahri membuat ketiga langsung terdiam.
***
Jam istirahat baru saja berkumandang. Para pemilik perut lapar langsung berlari tak sabar untuk segera bisa duduk di meja kantin—surga bagi para murid SMA. Aina yang juga tak tahan dengan demoan dalam perutnya pun langsung berdiri setelah mengemasi alat tulisnya.
"Duluan ya, Sal! Keburu rame!" pamit Aina meninggalkan Salsa begitu saja. Salsa ingin menggapai tangan Aina namun tak sempat keburu Aina pergi.
Alhasil Salsa hanya bisa menghela nafasnya pasrah lalu gadis itu membuka ponselnya, mengirimkan pesan kepada Aina agar membelikannya makanan juga.
Cling!
Aina yang tengah mengantri dimsum harus mengalihkan pandangannya kepada ponsel yang berbunyi sekaligus berdering. Dilihatnya sebuah pesan dari Salsa bertengger di bilah notifikasi paling atas.
Salsa : Gue nitip apapun deh yang sama kek lo
Aina memutar kedua bola matanya jengah. Tak menunggu lama Aina membalaskan pesan tersebut.
Aina : Bayarnya dua kali lipat! Titik no debat!
Salsa : Itumah namanya pemerasan
Aina : Gamau yaudah selamat lapar sayang!
Salsa : Wah kebangetan sih:(
"Non ini pesanannya." Tubuh Aina langsung menegang. Di ambilnya dimsum miliknya yang telah jadi itu.
"Bu, nambah dua lagi ya?" kata Aina, setelah mendapatkan anggukan Aina harus kembali mengantri. Oh ayolah Aina tak akan setega itu membiarkan temannya kelaparan sementara dirinya makan enak.
Setelah menunggu beberapa menit, semua pesanan Aina jadi. Segera Aina membayarnya dan berjalan kembali ke kelas. Namun sepertinya orang-orang sangat suka membuat masalah dengan Aina. Ketika akan menaiki anak tangga untuk ke lantai dua, tiba-tiba saja tangan Aina ditarik untuk menepi. Cowok yang menarik Aina juga membenturkan punggung Aina dengan keras pada tembok, tapi untungnya makanan yang Aina bawa tak terjatuh.
"Aw ssstt," Aina meringis kesakitan sambil menutup mata.
Ketika membuka matanya Aina telah dikejutkan dengan seorang cowok yang sudah mengunci pergarakan Aina. Tangan kiri cowok itu ditempelkan kepada tembok, sementara tangan kanannya berada di pinggang, tatapan tajamnya begitu dekat dengan Aina. Sungguh menyeramkan dengan jarak sedekat ini.
"Lo mau apa?" tanya Aina takut.
"Murahan!" bentak cowok itu dengan begitu dingin. "Gara-gara nyokap lo keluarga gue berantakan! Ternyata bener kata pepatah kalau buah nggak bakal jatuh jauh dari pohonnya."
"Ngomong apa sih? Gue nggak ngerti, bahkan gue nggak kenal sama lo," kata Aina.
"Nggak heran kenapa lo begitu murahan, sejak kapan Ibu lo jadi pelacurr dan gangguin bokap gue?"
Lidah Aina rasanya sangat tercekat, ada rasa sakit yang sama sekali tak bisa Aina definisikan lewat kata. Saat orang menyebut ibunya seorang pelacurr saat itu lah orang tersebut mengibarkan bendera perang kepada Aina. Rasa takut Aina seketika langsung hilang, Aina merapatkan giginya siap-siap membalas ucapan cowok di hadapannya. Setelah melirik name tag-nya barulah Aina tau siapa cowok itu. Namanya Andra.
"Pantes Elang selalu nolak lo, karena sampai kapan pun Elang nggak bakal pernah mau sama benih pelacurr kayak lo! Dasar, Ibu sama anak nggak ada bedanya!"
Plak!
Tamparan keras berhasil Aina layangkan untuk Andra. Kepala cowok itu sampai tertoleh ke samping saking kuatnya tamparan yang ia terima.
"Lo boleh ngatain gue, lo boleh hina gue, tapi enggak untuk Ibu gue!" kata Aina penuh penekanan.
"Ibu gue nggak mungkin ngelakuin hal kayak gitu! Dia orang baik, dia selalu ngajarin hal baik sama gue, jadi lo orang baru sama sekali nggak ngerti gimana Ibu gue!" marah Aina.
Seketika koridor tersebut ramai dengan para murid yang berbondong-bondong ingin melihat Aina ribut.
Andra merasakan panas luar biasa menjalar di pipinya. Anda tersenyum miring kepada Aina. Ditariknya dengan keras tangan Aina, kali ini sukses membuat makanan Aina jatuh hingga isinya berserakan kemana-mana. Aina kaget bukan main, dia sudah lama mengantri menahan lapar dan makannya jatuh begitu saja sebelum mampir ke perut? Ini sama sekali nggak bisa dibiarkan.
"GILA LO YA?! MAU LO SEBENERNYA APA SIH? GUE SAMA SEKALI NGGAK KENAL SAMA LO TAPI KENAPA LO GINIIN GUE?!" Aina berteriak dengan sekuat tenaganya untuk menyalurkan emosi.
"Lo tanya mau gue apa? Gue mau kasih pelajaran sama lo, bilangin sama Ibu lo untuk stop gangguin bokap gue, paham? Gara-gara Ibu lo keluarga gue hancur!" balas cowok itu.
Langsung saja tak menunggu lama omongan-omongan negatif terus masuk ke dalam telinga Aina. Segala macam hinaan Aina dengar, begitu juga dengan segala u*****n dan cacian mengenai dirinya dan Ibunya. Aina mengepalkan kedua tangannya kuat.
"Dasar keluarga pelacurr!"
Bruk!
Aina terjatuh begitu saja karena dorongan Andra. Aina merasakan bokongnya sakit karena berbenturan keras dengan lantai.
"KURANG AJAR BANGET SIH?! BERANINYA SAMA CEWEK!" bentak Aina setelah kembali bangun.
"PERNAH BELAJAR SOPAN SANTUN NGGAK?"
"Sopan santun nggak berlaku untuk cewek murah kayak lo!"
"BENER-BENER LO YAAA!!!!"
Tak memperdulikan sekitarnya, tak memperdulikan dengan lawannya. Aina yang sudah kelewat geram langsung menyerang Andra. Memukuli Andra dengan brutal, Andra ingin melawan namun sadar jika Aina cewek, alhasil Andra hanya berusaha menghindar sampai kemudian sebuah tangan kekar berhasil menarik Aina untuk menjauh dari Andra dan berhenti menyerang Andra.
"Akh lepasin gue!"
"STOP NA!" bentak orang yang menahan Aina.
Seketika Aina terdiam, kepalanya perlahan menoleh ke belakang. Detik itu juga tatapannya beradu dengan mata tajam Elang. Nafas keduanya memburu kencang. Hingga tanpa pernah Aina sangka, Elang tiba-tiba menyembunyikan Aina dibalik badannya. Setelah itu Elang yang maju berhadapan dengan Andra. Sungguh momen langka. Seperti biasa, semua yang menonton adegan itu langsung mengangkat kameranya tinggi-tinggi.
"Ngaku cowok tapi mulut persis kek cewek!" desis Elang. "Kalau lo merasa benar, lawan gue sini kalau berani," tantang Elang kemudian.
Andra memperhatikan sekelilingnya. Andra sendiri terkejut dengan sikap dan respon Elang. Biasanya cowok itu akan sebisa mungkin menjauh dari keributan, namun kali ini Elang malah mendekatkan dirinya dengan keributan itu.
"Ayo!"
Tak menggubris Elang. Andra hanya memberikan sorotan tajam untuk Aina. "Lolos lo kali ini," katanya lalu berbalik badan dan pergi.
Aina terkesiap, jika biasanya Aina akan berceloteh kini Aina memilih tak membuka suara.
Perlahan wajah Elang berubah tenang. Cowok itu menyisir rambutnya ke belakang dengan jemarinya. Ia lalu berbalik badan menatap Aina yang langsung menunduk. Hingga tanpa sepatah kata pun Elang berjalan pergi melewati Aina begitu saja seolah tak terjadi apa pun dengan mereka sebelumnya.
Pandangan Aina mengikuti kepergian Elang. Untuk kesekian kalinya Elang berhasil membuat Aina terbang dan jatuh di satu waktu yang sama. Elang memberi Aina harapan yang sama sekali tak bisa Aina dapatkan kepastiannya.
Kenapa? Kenapa harus kepada Elang Aina menjatuhkan hatinya.
Sakit. Rasanya Aina ingin mematikan rasanya jika harus seperti ini. Namun pada kenyataannya mau sekuat apa pun Aina berusaha melupakan, bayangan Elang selalu memaksa untuk masuk. Elang selalu bisa mengisi tempat kosong di hati dan pikirannya. Elang, nama yang selalu tersemat dalam doa Aina.
Apa salah jika Aina berharap Elang membalas cintanya. Entah kenapa rasanya ada yang menahan Aina untuk menyerah.
Elang, kalau lo emang suka sama gue, kalau lo emang punya rasa yang sama kayak gue, tunjukin, jangan kayak gini. Kalau lo emang nggak suka menjauh Lang, jangan memberi harapan terus!