4. Dia Elang

2127 Words
Ting! Lonceng kafe berbunyi bersamaan dengan masuknya seorang perempuan dengan setelan celana jeans pendek selutut, kemeja putih oversize, rambut dicepol asal, dan tas selempang di bahu kanannya sebagai pemanis. Perempuan itu berhasil menarik perhatian para pengunjung kafe, terutama para cowok yang sampai harus mendapatkan geplakan dari masing-masing pacarnya. Dasar cowok mata keranjang! Kembali kepada perempuan tadi, ia mengedarkan pandangannya mencari keberadaan seseorang. Hingga dilihatnya seorang cewek seumuran dengannya melambaikan tangan. Segera perempuan itu berjalan mendekat. "NA! Astaga lama deh!" Perempuan itu adalah Aina, setelah bertemu dengan Salsa, langsung saja mereka berpelukan layaknya seorang bayi kembar yang telah tak bertemu puluhan tahun. "Sal! Pengap!" protes Aina membuat Salsa dengan cepat melepaskan pelukannya, membiarkan Aina menyedot oksigen dengan rakus. "Kebiasaan duo alay, nggak ketemu beberapa jam kayak nggak ketemu dua abad!" Seketika Aina dan Salsa menatap Devan tajam. "Sirik banget lo Dev, kenapa? Mau peluk juga sama gue?" kata Aina. "AINA!" pekik Salsa tak terima. Melihat itu Devan pun tak bisa untuk menahan tawanya. "Mau peluk gue? Langkahin dulu macan betina satu ini," ujarnya di sela tawa. Salsa yang mendengar itu mengerucutkan bibirnya lucu. "Terus aja terus katain aku macan betina! Kamu tuh kadal Afrika!" "Udah ish berantem mulu! Gue nikahin juga lo dua lama-lama!" geram Aina. "Gue mah hayuk gas meluncur, Na," balas Devan. "Hayuk gas meluncur pala lo ancur! Sekolah dulu yang bener, cari duit yang banyak baru nikahin gue!" "Hayoloh Dev, tuntutan ibu negara tuh! Sekolah yang bener katanya, cari duit yang banyak, nggak ada duit nggak nikah lo. HAHA!" Aina tertawa puas kepada Devan. "Sialann!" "Canda nikah!" ledek Aina. Salsa hanya bisa geleng-geleng kepala melihat ulah pacar dan temannya itu. Aina dengan Devan kalau disatukan ya seperti ini, tiada waktu tanpa ribut. "Yaudah Na, lo mau pesen apa? Sesuai apa yang gue bilang tadi, malam ini gue yang traktir," ucap Salsa. Kedua bola mata Aina sontak membulat lebar kesenangan. "Beneran, Sal? Gue kira lo cuma bohong biar gue datang." "Ya kali! Nih lihat, habis gajian gue," ujar Salsa mengeluarkan dompet berisi banyak uang berwarna merah. Memamerkannya kepada Aina dan Devan. "Buset banyak banget yang, dapat dari mana kamu? Ngepet?" tanya Devan. Cowok itu juga tak tau kenapa Salsa bisa mendadak banyak uang seperti ini. "Lo diem-diem pelihara tuyul ya? Atau pesugihan? Ih Sal, dosa gede loh menyekutukan Allah!" Salsa memutar kedua bola matanya malas, menatap kedua orang itu dengan jengah. "Ini duit hasil endorse gue sebulan kemarin! Enak aja pesugihan, duit halal nih asal lo tau! Yaudah deh gue samain aja ya semua?" Mendengar hal itu Aina dan Devan langsung mengangguk antusias sambil tersenyum lebar. "Kalau gini aja kompak! Udahlah tunggu sini," gerutu Salsa lalu berjalan pergi memesan di bar. Ditinggal berdua dengan Devan membuat Aina dilanda kegabutan. Harus ngobrol apa sekarang dirinya dengan Devan. Aina membuang mukanya sekilas sambil menghembuskan nafasnya kasar. Setelah dengan usil Aina mengambil tusuk gigi untuk dimainkan. Melihat tingkah Aina sukses membuat Devan merasa tak nyaman. "Lo kenapa sih?" tanya Devan. "Gue?" tanya Aina balik menunjuk dirinya sendiri. Devan menatap Aina datar. "Nggak! Noh tukang parkir depan. Ya elo lah! Ngapain sih gabut banget mainin tusuk gigi?" Refleks Aina menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Gabut gue Dev, ajakin ngobrol kek," katanya. "Diem-diem mulu lo, gue kan bingung mau ngomong apa jadinya." Devan tersenyum miring kepada Aina. "Huh! Nggak salah? Lo kan dulu cerewet, kenapa sekarang jadi gagu gini?" "Ya maklum kan kita lama nggak ketemu, jadi bingung mau mulai bicara dari mana." "Ya terserah Na, gue juga nggak tau," balas Devan. "Eh Dev?" "Hm?" Devan berdeham tanpa menatap Aina membuat tangan Aina terangkat memukul lengan cowok itu kuat. "Sakit begoo!" umpat Devan. "Mangkannya lihat gue kalau diajak ngomong itu!" "Iya! Iya! Apa?!" "Emm ... kalau boleh tau Salsa kerja endorse apa, Dev? Kok bisa banyak gitu duitnya," tanya Aina terdengar lawak di telinga Devan. "Masa lo nggak tau endorse? Hidup di jaman kapan lo? Jaman batu?" "Ish!" sentak Aina. "Gue tau! Maksudnya dia kerja ngendorsein apaan? Kan gue juga mau tinggal ngomong di depan kamera terus dapat duit, dapat barang gratis pula." "Oalah ... Ya kayak biasa Na, produk kecantikan, pakaian, peninggi badan, obat gemuk!" Dengan sengaja Devan menekankan kata gemuk sambil melihat Aina. Aina yang tak terima sontak memicingkan matanya. "Dih kok body shaming?" "Siapa yang body shaming?" "Lo lah!" tuduh Aina nyolot. "Nggak." "Nggak apaan, terus lo ngomong obat gemuk sambil melotot ke gue maksudnya apa ha? Ngeledek kan?" "Nggak juga." "Halah! Terus biar apa?" "Biar lo merasa aja, sekali-kali cobain tuh beli produknya Salsa, biar badan lo ada isinya nggak kerempengg kek bayi kurang gizi gini," ucap Devan terang-terangan membuat Aina mengeram kesal. "Jangan sembarangan!" semprot Aina marah. "Ini tuh namanya langsing! Seksii! Badan gue yang kayak gini yang buat cowok-cowok tertarik sama gue! Ish, ngeselin banget sih kalau ngatain!" Devan langsung tertawa, hingga hampir saja mengeluarkan air matanya. "Eh keripik singkong! Yang gue tau ya? Seksii itu pantatt sama gunungnya gede, lah elo tepos gini seksii dari mananya? Halu ya?" Pluk! Tak segan-segan Aina melempar tusuk gigi beserta wadahnya kepada Devan membuat cowok itu mengaduh kesakitan. "Lah kok ngamuk?" kata Devan masih meledek. "Bener-bener lo ya? Emang sih remaja masjid sama remaja malam nggak tau mana seksii mana enggak! Eh kalau gue pakai baju minim bahan ke club, nggak butuh waktu lama Dev, cowok-cowok hidung belang langsung nyamperin gue asal lo tau!" ucap Aina membela diri. "Dih, ngayal. Emang pernah ke club?" tanya Devan terkesan meremehkan. "Pernah!" jawab Aina cepat dengan percaya dirinya, seolah datang ke tempat terlarangg itu adalah sebuah kebanggan yang wajib hukumnya untuk dipamerkan. "Serius?" tanya Devan tak percaya. "Buat apa gue bohong?" Raut wajah Devan langsung berubah serius. "Kapan lo pergi ke club?" "Dulu waktu kelas satu SMA, kenapa?" "Satu SMA, kemarin?" kaget Devan "Berarti waktu lo masih di Bandung dong?" "Yap!" "Very crazy! Sama siapa lo ke tempat gituan?" "Diajak temen." "Terus Mami lo tau?" Terdengar helaan nafas kasar Aina setelahnya. Gadis itu juga menatap Devan dengan bibir yang ditipiskan berwajah datar. "Kalau Mami gue tau, udah mati digantung gue di pohon nangka!" "Ha! Nggak percaya gue kalau lo pergi ke tempat gituan, temen lo kan baik-baik di Bandung." "Iya baik covernya doang! Aslinya mah berandall. Masa mereka cari duit jajan dengan cara jual temen? Yaa ... awalnya gue diajak ke mall, lo tau kan ekonomi gue dulu kayak apa? Jadinya mau-mau aja, eh taunya diajak ke tempat dugem! Mana gue diapit sama om-om ihhh, geli gue kalau inget malam itu." Aina bercerita sambil bergidik geli akan apa yang dia alami dulu. "Terus, lo nggak sampai diapa-apain kan?" tanya Devan kepo. "Alhamdulillah-nya iman gue kuat! Pas mau digrepee langsung gue tabok mereka pakai tas terus kabur. Yang bikin emosi, besoknya gue dibenci dong sama satu sekolah!" "Demi apa?" "Demi Salsa selingkuhin lo!" "Anjing!" umpatt Devan. Dirinya sudah serius menyimak tapi Aina dengan menyebalkan membuat Devan kesal. Aina pun berhasil tertawa karenanya. "HAHA! Canda selingkuh!" "Lanjut nggak nih cerita?" tanya Aina kenapa Devan. "Hm." "Dih ngambek, okee terus waktu gue dibenci satu sekolah, lo tau dalangnya siapa?" "Siapa?" tanya Devan. "Temen gue yang ngajak gue ke club? Anjing kan? Dia dengan segala topengnya nuduh gue jual diri ke om-om, ya nyebar satu sekolah, mereka semua lihat gue kayak jijik banget waktu itu." "Terus lo gimana?" "Ya nggak gimana-gimana, gue mah santai-santai aja kalau nggak salah, gue cari bukti yang sebenernya sampai dapet, dan bersihin nama gue di sekolah. Kelar, hidup gue kembali tenteram." "Temen lo sekarang gimana? Minta maaf nggak?" Aina menggeleng. "Tau, ilang kali diculik om-om, habisnya ngeselin!" "Sampai sekarang belum ketemu lagi?" "Alhamdulillah belum, dan kalau pun ketemu mungkin gue bakal bales sih," kata Aina seperti menyimpan dendam sendiri kepada temannya yang ia maksud. Mendengar semua cerita Aina membuat Devan hanya mampu menggelengkan kepalanya percaya tak percaya namun bagaimana pun Aina terlihat cukup keren dalam cerita itu. "Salut sih sama kesantuy-an lo." Aina langsung bergaya seakan tengah mengibaskan rambutnya ke belakang. "Gue gitu loh! Hidup itu emang harus dibawa santuy! Terlalu banyak mikir ntar jadi penuaan dini, emang mau? Gue sih ogah!" Ketika Aina tengah menatap ke arah lain, tepatnya ke arah pintu masuk, seketika tatapannya membeku di sana. Melihat seseorang tengah masuk membuat lonceng berbunyi. "Dev, Dev, lihat deh," panggil Aina dengan tangan yang merabah-rabah mencari keberadaan Devan. Devan yang kesal sontak memukul tangan Aina gemas. "Apa sih?!" "Ish! Sakit!" protes Aina. "Habisnya lo ngapain sih?" "Ck, lihat itu!!" geram Aina menunjuk ke arah pintu masuk. Devan langsung mengikuti ke mana pandangan Aina, di sana Devan melihat seorang cowok dengan kaos hitam santai berdiri memainkan ponsel sambil sesekali mengedarkan pandangannya. "Terus? Kenapa emangnya?" tanya Devan kemudian. "Devv!!! Dia cowok yang gue incar!" heboh Aina. "Dia?" tanya Devan memastikan. "Iya Dev! Astagaa akhirnya ketemu! Ih gue mau samperin dia!" Aina yang hendak berdiri langsung ditahan lengannya oleh Devan. "Lo mau ngapain sih, Na?" "Ya nyamperin dia lah Devan! Mumpung ada kesempatan!" "Duduk dulu!" suruh Devan. "Apa sih Dev?" "Duduk!" tekannya lagi membuat Aina dengan amat sangat terpaksa mengikuti apa yang diucapkan cowok itu. "Apa?" tanyanya membentak. "Lo tau dia siapa?" tanya Devan menatap Aina lekat. Aina pun berdecak kesal. "Ya mangkannya itu karena gue nggak tau! Gue mau samperin dia biar tau Devan. Gimana sih lo!" "Dia itu Elang, Elang Baskara Mahendra." "Ha? Kok lo kenal?" kaget Aina. "Lo apaan sih, Na? Dia itu satu sekolah sama kita! Cuma bedanya dia kelas dua belas, satu tahun lebih tua dari kita. Mungkin kalau sama lo umurnya selisih dua tahun, lo kan bocil." "Enak aja sembarang!" sentak Aina. "Terus, kok gue nggak pernah lihat dia?" Devan lantas tersenyum miring membuat Aina bertanya-tanya. "Rupanya lo harus tau tentang siapa Elang dan gimana orangnya." *** Elang : Bay, lo sama Naufal dmn? Ribet gue balik Cling! Tanpa menunggu lama benda pipih yang Elang bawa kembali memunculkan notifikasi berupa balasan pesan dari Bayu. Bayu : Ck ambekan lo! Gue sama si nopal ada di lantai dua, tempat outdoor, lo buruan sini. Elang : Hm Setelah kembali mengantongi ponselnya, Elang berjalan menuju tempat yang Bayu maksud. Cowok itu berjalan dengan gaya coolnya, tanpa melihat kanan kiri Elang langsung menaiki anak tangga untuk ke lantai dua. Dari tempatnya duduk, Aina tak berhenti memandangi sosok Elang. Visualnya terlihat begitu sempurna di mata Aina. Sosok cowok yang selalu hadir dalam bayang-bayang Aina. Hingga Salsa yang baru saja datang berhasil dibuat bingung tentang kenapa dengan Aina? Salsa bertanya kepada Devan melalui lirikan matanya, Devan yang memang usil langsung saja menarik tangan yang menjadi tumpuan Aina hingga hampir saja dagu gadis itu terpentok meja kafe. Aina yang kaget bukan main melotot tajam kepada Devan, ia mengeraskan rahangnya, jika tak ingat ini tempat umum mungkin Aina telah menghajar Devan sekarang juga. "Sorry Na!" kata Devan sambil tertawa. "Enak banget ngomong sorry! Kaget gue kaget! Kalau gue mati jantungan gimana ha?" "Yaa maaf Na!" "Huh!" Salsa mengabaikan kedua orang itu lalu duduk di tempatnya setelah menaruh beberapa makanan yang telah ia pesan, menatanya di atas meja. "Lagian lo kenapa sih, Na? Bengong gitu kek orang dongoo tau nggak?" kata Salsa. "Saaal!" Rengek Aina. "Gue tuh lihatin cowok yang selama ini gue incar Sal." "Siapa?" "Elang!" jawab Aina cepat. Sebelah alis Salsa terangkat bingung. "Elang?" ulang gadis itu. Aina mengangguk. "Kata cowok lo, lo tau tentang siapa Elang. Dongengin gue dong Sal tentang Elang." Salsa akhirnya menganggukkan kepala paham dengan maksud Aina. Gadis itu lalu memutar duduk menghadap Aina. "Lo mau gue cerita sekarang?" tanya Salsa. "Nggak! Nunggu gue sama Jefri Nichol punya 11 anak! Ya sekarang lah pakai tanya lagi lo! Udah kepo berat nih!" "Busyet neng! Nggak kurang banyak tuh?" "Banyak anak banyak rezeki kalau kata orang dulu. Udah buruan cerita!" "Oke, oke. Jadi dia yang lo maksud itu Elang Baskara Mahendra kan?" Aina mengangguki ucapan Salsa. "Dia itu kakak kelas kita, anak jurusan IPA, cowok emasnya SMA Garuda, cowok paling genius, paling dingin, dan paling nggak ada tingkah. Semua warga SMA Garuda tau sama Elang, dari para guru sampai tukang kebun. Bukan terkenal karena nakal tapi karena prestasinya. Tiap tahun nggak pernah Elang absen kasih piala buat sekolah. Otaknya yang encer pernah bawa Elang sampai ke Eropa buat lomba sains tingkat Internasional. Pokoknya kalau bicarain soal Elang nggak bakal ada habisnya." "Lalu, soal cinta? Dari tadi lo cerita tentang kecerdasan dia. Tentang asmaranya?" "Balik lagi, Elang itu dingin, dia kalau ngomong kadang juga suka nyelekit, selama ini sih nggak pernah gue lihat Elang pacaran atau deket sama cewek. Seorang pun enggak! Bahkan ada yang mau deketin Elang, dia Kak Metta, cewek paling pintar seangkatannya, tapi nggak pernah dia bisa bersaing dengan Elang. Kak Metta sekali pernah nyatain perasaannya kepada Elang, hasilnya?" "Diterima?" tebak Aina. "Ditolak mentah-mentah!" "Alasannya?" Salsa mengangkat kedua bahunya bersamaan. "Nggak ada yang tau, Elang tertutup sama siapa pun. Jadi, kalau lo mau deketin Elang mending mikir-mikir dulu dari pada lo sakit hati dan makan hati mulu tiap hari."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD