Ze Shaosen yang terbaik

1088 Words
Lady Qin menggosok-gosok punggungnya. Rasanya sangat sakit dipukul oleh Lady Lin kakaknya yang langsung melakukan apapun sesuka hati jika dia kesal. Namun, mengingat luka di hatinya belum sembuh, Lady Qin tak begitu merasakan sakit di punggungnya tersebut. "Kau bicara apa, ah memalukan sekali. Kenapa tiba-tiba mengatakan aku menyukainya?" bisik Lady Lin yang cengar-cengir ke arah Ferdinand, sambil mengambil belanjaan yang telah terjatuh di lantai. "Kalian sedang berbelanja?" tanya Ferdinand sambil tersenyum simpul. Senyum yang membuat semua wanita pasti lupa diri jika melihatnya, tak terkecuali Lady Lin. "I-Iya, kami sedang berbelanja. Kau apa kabar?" tanya Lady Lin hanya sekedar berbasa-basi. "Baik, tali sepertinya Lady Qin dalam masalah," ucap Ferdinand setelah melihat mata Lady Qin yang membengkak akibat menangis. "Ah, dia sudah biasa begini. Selalu menangis saat putus cinta," "A Lin, kenapa mengatakan aku putus cinta? memalukan saja," Lady Qin menyenggol kakaknya. "Jadi kau mengerti apa itu rasa malu?" "Aih, A Lin menyebalkan. Selalu saja balas dendam," ucap Lady Qin cemberut. "Hahaha, kalian tampak akrab sekali. Hmm, silahkan saja lanjutkan berbelanja. Aku juga harus berbelanja untuk kebutuhan rumah," ucap Ferdinand sambil berlalu pergi. "Wah, lihatlah si tampan itu, bahkan dari belakang dia tampak sempurna," ucap Lady Lin. Tanpa sadar dia meremas roti yang seharusny dia masukkan ke keranjang. "A Lin, kau menghancurkan rotiku! aih, dasar." "Jangan berisik. Kau bisa ambil lagi." "Ambil lagi? kalau begitu tambah satu varian rasa lagi." "Tidak." "A Lin!" Beberapa jam kemudian. Ferdinand selesai berbelanja. Dia pulang setelah menolak ajakan Lady Lin yang memintanya untuk makan bersama. Wanita itu ternyata menunggunya di luar supermarket, dan tentu saja Lady Qin mengomel panjang lebar karena harus terpaksa ikut menunggu. "Haha, dua kakak beradik itu lucu sekali," ucap Ferdinand sambil menaruh barang belanjaan ke atas meja. "Kau sedang apa?" tanya Ze Shaosen yang baru saja datang dari ruang tengah. "Kau sudah bangun? kau tidur nyenyak sekali," "Ah, aku kelelahan. Ya ampun, kenapa aku bisa merasakan kelelahan? sangat menyebalkan." "Hmm, mungkin rasa lelah itu berasal dari jiwa murnimu. Sepertinya gadis itu menangis semalaman." "Darimana kau tahu?" "Tadi aku bertemu dengannya, saat membeli bahan makanan." "Jika dia masih berkeliaran berarti dia baik-baik saja." "Hmm, bisa jadi," Ferdinand tersenyum sambil sibuk mengeluarkan belanjaannya dari dalam kantong. "Kau, menadapatkan semua ini dari mana?" tanya Ze Shaosen keheranan dengan banyaknya buah-buahan dan sayur-sayuran yang dibeli Ferdinand. "Sudah kubilang, aku berbelanja. Kau tahu kan, supermarket di depan sana? kita bisa mengambil apapun dengan syarat memberikan uang," "Uang?" Ferdinand menghela nafas, lalu merogoh sakunya. beberapa detik kemudian dia mengeluarkan uang kertas kembalian dari supermarket, "Ini namanya uang. Kau harus punya banyak benda ini di dunia manusia. Jadi kau bisa mendapatkan apapun. Dalam istilah manusia disebut membeli," "Wah, menyulitkan sekali," "Ini lebih mudah daripada harus bertani sayuran, ataupun memburu makanan di hutan." "Tapi, Ferdinand. Kenapa kau membeli sayur dan buah saja? dimana dagingnya, apa kita tetap berburu? apa mereka tidak menyediakan daging?" "Tentu saja ada. Hanya saja, aku vegetarian." Ze Shaosen menatap Ferdinand penuh curiga, lalu kembali menatap semua sayuran dan buah-buahan yang dibeli Ferdinand, "Ferdinand, apa wujud murnimu ... Kambing?" "Uhuk!" mendengar pernyataan Ze Shaosen. Ferdinand yang sedang meminum air,.langsung terbatuk, "Ze Shaosen, dari semua yang ada bagaimana bisa kau menyebut jiwa murniku adalah ..." "Lihat semua rumput yang kau bawa ini. Lagipula, Kambing bukannya ada yang kedudukannya tingkat tinggi?" "Tidak ada, Ze Shaosen. Tidak ada." "Ya ampun, kau kesal?" "Apa aku terlihat kesal?" "Jelas sekali." "Tidak. Kau saja yang terlalu cepat menyimpulkan. Daripada membicarakanku, lebih baik kau temani jiwa murnimu." "Maksudmu gadis yang selalu dalam keadaan darurat itu?" "Hmm, aku melihatnya tadi. Matanya membengkak karena menangis," "Menangis bisa membuat mata bengkak? ah, tentu saja. Bagaimana tidak bengkak, jika ada sesuatu yang keluar dari mata. Apa semua manusia seperti itu? maksudku, mata mereka bocor jika dalam keadaan bersedih?" Mendengar pertanyaan Ze Shaosen, Ferdinand yang tadinya sibuk membersihkan paprika, terhenti sejenak. Lalu menatap Ze Shaosen sambil menghela nafas, "Ze Shaosen. Bukan hanya manusia. Nobsoul pun akan menangis jika dalam keadaan sedih. Bahkan Dewi sekalipun," "Yang benar saja. Aku tak pernah menangis sebelumnya." "Mungkin kau lupa, karena sudah lama tertidur. Kau lupa bahwa Nobsoul itu mirip dengan manusia." "Mana mungkin Nobsoul disamakan dengan manusia, kita punya kekuatan, dan wujud murni," "Yah, selain itu semuanya hampir sama." "Hah, gadis itu. Kenapa harus menangis, sial. Aku sudah menyatu dengannya, mungkin benar, karena dia aku jadi kelelahan." "Hei, kau sekarang sudah bisa menemuinya tanpa dipanggil, kan? karena kau bisa merasakan suasana hatinya sekarang. Kalau begitu, kau harus menemuinya," "Untuk apa. Dia harus memanggilku. Itu peraturannya." "Peraturan itu tak berlaku untukmu. Karena Nobsoul lain tak bisa mengetahui posisi jiwa murni, makanya jiwa murni harus memanggil. Sedangkan kau, kau bisa merasakan keberadaan bahkan kondisinya. Kau tak perlu dipanggil lagi." "Lagipula, itu tidak darurat. Mengapa aku harus bersusah payah menemuinya? hah, lebih baik kau urus rumputmu itu," Ze Shaosen beranjak dengan wajah cemberut, lalu masuk ke kamarnya. "Ya ampun. Umurnya sudah melebihi tiga ratus tahun, tapi dia masih seperti anak-anak, ck ck ck," *** Malam harinya, Ze Shaosen tidak bisa tenang. Perasaannya terasa sedih, sudah pasti Lady Qin masih menangis malam ini. Wanita memang begitu. Awal putusa mereka sangat merasa sedih, dan selalu menangis. Tapi, tentu saja kesedihan itu tak bertahan selamanya. Mereka perlahan akan menerima dan ceria kembali. Namun, saat ini Ze Shaosen benar-benar terganggu, karena apa yang dirasakan Lady Qin berpengaruh juga padanya. "Jika aku sedih, aku akan kurus, lalu sakit, lalu masuk rumah sakit ...." Perkataan Lady Qin terngiang di telinga Ze Shaosen. Ze Shaosen memiliki satu patokan selama dia mengenal manusia. Jika manusia memasuki tempat yang bernama rumah sakit, maka manusia tersebut sudah dipastikan dalam keadaan darurat. "Bagaimana jika dia benar-benar masuk ke tempat itu?" gumam Ze Shaosen sambil terus mondar-mandir, "Tapi, hari ini dia tidak memanggilku. Buat apa aku peduli?" ucapnya kemudian. Di sisi lain, Lady Qin duduk sambil menyangga dagunya ke lutut. Dia masih dalam keadaan patah hati. Dia menatap gawai di depannya, tak ada panggilan atau pesan dari mantan pacarnya tersebut. "Haa, tega-teganya memutuskanku saat sedang sayang-sayangnya, hiks." Lady Qin mulai menangis lagi, "Padahal dia paling tampan dan baik, kenapa memutuskanku begitu saja?" Lady Win cemberut, sambil mengusap air matanya, "Aku ingin kembali padanya. Tapi, Ze Shaosen galak itu tidak mau membantu." "Apa katamu?" Lady Qin dikagetkan dengan sebuah suara yang tiba-tiba. Gadis itu bahkan hampir jatuh dari duduknya, "Z-Zeze? kau ... kenapa disini? aku tak memanggilmu," ucap Lady Qin tak percaya. "Ayo kita lihat bagaimana rupa laki-laki itu, setelah itu baru aku putuskan, akan membantumu atau tidak." "Benarkah? kau mau membantuku?" "Belum membantu, hanya melihat kelayakannya dibantu eh Nobsoul mulia sepertiku." "Ze Shaosen! kau yang terbaik,"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD