Lucas terus saja memerhatikan satu per satu data keuangan yang kemarin baru saja Deasy berikan kepadanya. Saat ini, di rumahnya, ada Felix, sang asisten beserta tiga orang tim audit yang ikut sibuk membantu. Mengecek berulang kali sembari mencari celah atas dugaan penyelewengan dana yang dilakukan oleh beberapa staff yang selama ini sudah bertahun-tahun kerja di Fourtynine.
Bertahun-tahun dibiarkan, Lucas baru tahu kalau dana perusahaan yang hilang sudah mencapai puluhan milyar rupiah. Pantas saja perusahaan sang ayah merugi bahkan hampir gulung tikar. Lucas juga baru sadar kalau permainan kotor yang dilakukan dilingkungan perusahaan milik sang ayah itu, terbilang cukup rapi.
Buktinya, butuh waktu lama bagi dirinya menyelidiki. Dari beberapa orang yang dicurigai, baru dua orang yang terbukti benar-benar menggelapkan dana perusahaan. Namun, sayangnya yang ketahuan ini hanya menyelewengkan dana dalam hitungan yang tidak seberapa.
Itu sebabnya, PR ini begitu menguras tenaga Lucas. Ia sampai harus menyamar demi bisa mengorek informasi dari para staff bawah yang mungkin saja tahu atau malah pernah menerima suap dari atasan yang sengaja menyelewengkan dana.
"Daniel ini sudah saya cek berulang kali, Pak. Menurut data, beliau nggak pernah sekali pun pakai dana kantor. Bahkan, saya nggak menemukan sesuatu yang mencurigakan."
Felix mengemukakan pendapatnya. Menjelaskan dengan seksama atas temuan dari apa yang ia kerjakan sedari tadi.
"Kamu udah cek semuanya, kan? Udah dicek sama data yang kita dapat sebelumnya juga?"
Felix mengangguk.
"Ini udah saya audit dan cocokkan berkali-kali. Hasilnya nihil. Malahan, saya dapat hasil lain yang merugikan perusahaan juga."
Lucas terkesiap. Kening pria itu berkerut dalam.
"Maksud kamu?"
"Daniel emang nggak pernah pakai duit perusahaan. Tapi, dia menyalahgunakan jabatan dan bahkan menerima suap dengan jumlah yang fantastis dari salah satu investor agar lolos dalam lelang tender yang diadakan Fourtynine."
"Berapa nominal suap yang dia terima?"
"Satu koma tujuh milyar, Pak. Untuk meloloskan lelang tender pembuatan mall yang ada di daerah Utara."
"Sial!"
Lucas menarik napas dalam. Menyandarkan bahunya pada sandaran sofa, pria itu berusaha mencari posisi duduk ternyaman sembari berpikir. Kepalanya terasa penuh. Memikirkan langkah apa yang selanjutkan harus ia ambil demi segera menghentikan masalah serta kerugian yang perusahaan alami beberapa waktu belakangan.
"Terus, ini Pak Lucas maunya gimana? Daniel tetap harus ditindak, kan?" tanya Felix menyambung pembicaraan. "Walaupun dia nggak pakai uang kantor. Tapi, dia udah berbuat culas dengan menerima suap dari salah satu investor untuk memuluskan lelang tender."
Lucas mengangguk. Karena saat ini dirinya sudah menjadi pimpinan, ia harus tegas serta mengambil keputusan yang seharusnya memang ia lakukan.
"Selain Daniel, siapa lagi yang sudah terbukti salah?"
"Sebelumnya ada Thomas, kepala Procurment. Argantara, Medina, dan sekarang Daniel."
Lucas mengangguk sembari mengusap-usap dagunya berulang kali. Tak lama berpikir, pria itu memberi tanggapan.
"Terus, gimana soal Danu? Sampai detik ini belum ketemu juga bukti kalau dia menyelewengkan atau menggelapkan dana kantor?"
Felix mengangguk. Lucas pun beralih kepada dua orang tim audit yang sedari tadi membantunya.
"Kalian berdua juga sampai saat ini nggak ketemu data apa pun itu yang mencurigakan dan berhubungan dengan Danu?"
Kedua tim Audit menggeleng. Salah satunya langsung memberi penjelasan kepada Lucas.
"Pak Danu ini bersih, Pak. Data keuangannya dari pertama kali bergabung di Fourtynine, hingga hampir 10 tahun mengabdi, tidak sedikit pun terlihat mencurigakan. Dari data kekayaan yang Pak Lucas berikan juga, kenaikan pendapatan beliau setiap tahunnya juga nggak begitu signifikan. Sedang beliau sendiri aslinya memang dari keluarga berada."
Lucas mengangguk. Sudah dijelaskan panjang lebar, entah kenapa dirinya masih saja merasa tidak puas. Padahal, saat dirinya menyamar sebagai Lucas yang seorang staff keuangan, dirinya tidak juga menemukan celah. Pun, Deasy juga sudah meyakinkan kalau mantan kekasihnya itu memang bersih. Hanya saja, entah kenapa Lucas merasa ada yang mengganjal dalam hatinya mengenai sosok pria yang satu itu.
"Tapi ... kenapa feeling saya nggak enak sama dia. Kayak yang dia itu aslinya pelaku utama di sini."
"Kalau Pak Lucas masih ragu, kita selidiki sekali lagi, Pak," saran Felix dan langsung dijawab anggukan oleh Lucas. "Siapa tau aja Pak Danu ini punya tabungan di rekening luar negeri. Jadi, data kekayaannya yang di luar nggak ikut tercatat. Atau ..."
Felix menjeda kalimatnya. Hal ini tentu membuat Lucas jadi penasaran.
"Atau apa?"
"Atau bisa aja Pak Danu nggak simpan uang perusahaan di rekening pribadinya. Bisa jadi beliau melakukan money laundry dengan taruh atau titip uang tersebut di rekening pacar, istri, saudara, atau bahkan di investasikan ke usaha."
Lucas mengangguk setuju, masuk akal juga apa yang Felix sampaikan barusan.
"Jadi, menurutmu saya harus bagaimana?"
"Saran saya, kita harus menyelidiki orang terdekatnya dulu, Pak. Yang mudah digapai aja, seperti Bu Deasy karena dulu beliau perempuan yang lumayan lama menjalin hubungan dengan Pak Danu. Lalu dilanjut ke Arindi yang sekarang jadi istrinya. Mereka berdua kan sama-sama staff FourtyNine. Jadi, cukup mudah mengorek data keuangan mereka."
Lucas mengangguk. Tapi tak lama setelahnya ia tampak mendesah panjang. Entah kenapa, bila mendengar nama Deasy, perasaannya langsung tidak enak. Seolah ada kesialan yang sedang mengincarnya bila dekat-dekat dengan perempuan itu.
Padahal, dulu waktu pertama kali bergabung di Fourtynine, jujur saja ia sempat tertarik dengan Deasy. Tapi, setelah tahu kepribadian, kegilaan, serta kenekatan wanita itu, dirinya jadi merinding sendiri.
"Yaelah. Males banget saya selidikin, Deasy. Ribet. Nggak tau kenapa, apa pun itu yang berhubungan sama Deasy, pasti ujung-ujungnya kacau. Lagian, setau saya dia aslinya orang kaya, kan?"
Felix mengangguk.
"Kuliahnya aja lulusan luar negeri. Sebelum di Fourtynine, dia kan menjabat sebagai wakil CEO di Carribean, anak perusahaan Wijaya Group, Pak. Circle pertemanannya juga nggak main-main. Dia bersahabat dekat dengan Velove, CEO Wijaya Group dan Nathanael, CEO nya BlackGold."
Kali ini Lucas yang mengangguk.
"Padahal, temannya orang hebat semua. Tapi, kenapa kelakuannya sengklek macam reog gitu sih? Nggak ada anggun-anggunnya pula jadi perempuan."
Lucas jadi teringat kejadian dua hari lalu. Bagaimana Deasy tanpa terduga dan dengan gilanya menunjukkan bekas kissmark di atas dadanya. Wanita itu memaksa Lucas untuk mengaku bahwa dirinya yang membuat tanda tersebut.
Walaupun memang dirinya yang membuat, mana mungkin Lucas mengakuinya begitu saja. Bisa kacau penyamaran yang sudah ia lakukan selama ini.
Gara-gara kejadian itu, ia bersumpah. Di lain waktu tidak akan meninggalkan jejak apapun yang nantinya malah membuat Deasy bertanya-tanya.
Tunggu dulu!
Lucas yang tadinya sedang melamun langsung terperanjat, kemudian berpikir cepat, memangnya di lain waktu ia berminat mengulang kembali percintaannya dengan Deasy? Astaga. Pikiran macam apa ini.
"Mungkin terkontaminasi Pak Danu kali, Pak," celetuk Felix dan langsung dibalas lirikan oleh Lucas.
"Hushh! Kok kamu jadi nyinyir gitu, sih."
"Ya maaf, Pak. Kan saya ketularan Pak Lucas. Lagi pula, saya juga seumur hidup baru ketemu orang putus cinta sampai segitu nekat dan gilanya."
Menyadari ada orang lain di ruangan, Lucas langsung melotot. Ia pun memberi kode agar Felix menyudahi pembahasan mengenai Deasy.
"Ya sudah, kalau gitu, kamu tolong selidiki Arindi. Biar Deasy jadi urusan saya."
Felix nampak setuju. Sebelum beranjak pergi meninggalkan Lucas, pria itu kembali memberi peringatan.
"Hati-hati, Pak." Wajah asisten Lucas itu bahkan terlihat begitu serius.
"Hati-hati kenapa?"
"Takutnya keseringan dekat, Pak Lucas malah naksir beneran sama Bu Deasy. Apalagi Pak Lucas udah ---"
"Udah ... udah ..." potong Lucas buru-buru. Ia tahu apa yang akan Felix ucapkan kepadanua. "Jangan ngaco, kamu."
Felix langsung tertawa. Tapi, tak lama setelah kepergiannya, Lucas malah kepikiran juga. Jadi terbayang-bayang sendiri kalau sampai naksir dengan perempuan aneh macam Deasy.
***
Deasy memejamkan mata sembari terus saja memijat keningnya berulang kali. Di depan wanita itu, ada sosok Velove yang memang menemani.
Weekend ini, ia memang sengaja mengajak Velove keluar, untuk sekedar berbincang sekaligus makan malam bersama di salah satu restoran ternama. Terlebih ada kejadian memalukan yang baru saja ia alami dan harus diceritakan kepada sahabatnya tersebut.
"Demi apa pun, aku malu banget, Velove."
Deasy terdengar mendesah panjang. Sementara Velove di depannya hanya bisa tertawa lebar.
"Lagian, kamu ngapain sih di hari pertama ketemu bos baru, bukannya jaga sikap atau berwibawa dikit, malah gragasan nunjukin hal-hal aneh."
"Ya, aku kan cuma mau memastikan aja," debat Deasy berusaha membela diri.
"Tapi, nggak nunjukin tato ikan cupangmu itu juga kali, Des. Gila aja! Lucas itu bos kamu, loh. Ku tebak, dia pasti syok tiba-tiba kamu bukain baju demi nunjukin bekas kissmark yang padahal bukan dia yang udah melakukannya."
Bahu Deasy merosot jatuh. Demi apa pun, dirinya memang sering kali nekat. Tapi, entah kenapa, kali ini rasanya malu luar biasa.
"Ku pikir, dengan tunjukin bekas cupang di atas dadaku, Lucas bakal paham dan ngaku kalau emang dia yang buat dan udah tidurin aku. Tapi, bukannya sesuai harapan, dia malah keliatan syok dan nggak bisa ngomong apa-apa. Ini aku harus gimana, Ve? Rasanya pengen nyebur ke laut aja."
Velove kembali tertawa dengan terbahak-bahak. Bukannya iba, ia malah geli sendiri mendengar cerita Deasy.
"Masih untung kamu nggak langsung dipecat. Tindakan kamu emang udah berlebihan banget kali, Des. Yang ada orang pasti ilfeel."
Deasy mengangguk. Dirinya bahkan merutuk kebodohan yang sudah dilakukannya. Padahal Lucas Fernando sudah bersikeras mengatakan bahwa dirinya yang membuat tanda tersebut. Tapi, tetap saja Deasy meyakini Lucas yang tampan lah yang sudah memberikan tanda pada dadanya.
"Semua yang berlebihan emang nggak baik kecuali uang, Ve. Mau gimana lagi, namanya juga pengen memastikan. Tapi, mau dia atau bukan yang udah tidurin aku kemarin, aku tetap mau usaha kejar dan takhlukkan hati Lucas. Pokoknya, bos ganteng paripurna itu harus jadi pasangan aku."
Velove memajukan wajahnya. Menatap remeh, kemudian tertawa. Sebenarnya, kalau soal percaya diri, Deasy memang jagonya.
"Yakin kamu bisa takhlukin bos baru kamu itu? Kalau ternyata dia punya standar tersendiri untuk pasangan, gimana? Bayangin aja ternyata kriteria perempuan idamannya nggak ada sedikit pun di dalam diri kamu?"
Deasy berdecak. Ini kenapa bukannya di dukung, Velove malah meremehkan usahanya.
"Nggak usah manas-manasin deh, Ve. Aku bukan sayur. Jadi nggak usah dipanasin apalagi dikomporin gini. Apa susahnya memantaskan diri biar jadi tipe idealnya. Apa pun itu, bakal aku lakukan biar bisa menarik perhatian Lucas."
Velove geleng-geleng kepala. Fix ini sahabatnya emang telanjur sudah gila.
"Ya, okelah kalau soal memantaskan diri, aku yakin kamu bisa. Tapi, kalau yang jadi masalah ternyata Lucas ini sudah punya pacar, atau mungkin calon istri, gimana?"
"Eleh ... ikan hiu makan awkarin. Ya udah, biarin. Kayak kata pepatah juga, sebelum janur kuning melambai, artinya masih milik bersama, kan? Lagi pula, emangnya menurut kamu, aku ini terlalu amburadul kah untuk Lucas yang bibit unggul itu?"
Velove kehabisan kata-kata. Lelah sendiri meladeni Deasy yang selalu bisa menjawab dan mematahkan saran serta kritik yang ia beri.
Menyudahi perbincangan random keduanya, Velove dan Deasy memutuskan untuk beranjak pergi. Belum sempat lagi bangkit, saat menoleh, Deasy seolah mendapat durian runtuh.
Bak jodoh yang sudah sedemikian rupa Tuhan persiapkan. Atau mungkin memang suratan takdir yang tidak bisa dielakkan, tanpa sengaja Deasy bertemu dengan Lucas. Bahkan, saat memerhatikan, pada akhirnya kedua pasang mata mereka saling bertemu dan beradu.
"Ve ... Velove!" panggil Deasy berbisik, tanpa sedikit pun mengalihkan pandangan matanya dari Lucas yang tengah berjalan memasuki restoran.
"Apaan, sih?"
"Pangeran cakep aku ada di sini."
Velove keheranan.
"Siapa?"
"Lucas," jawab Deasy dengan berbisik. Lalu memajukan dagunya. Memberi isyarat kepada Velove mengenai di mana keberadaan pria yang ia maksud. "Itu loh arah jam 3. Dia pakai baju hitam. Demi apa pun cakep banget."
"Arah jam tiga? Ini udah jam sembilan, Des."
"Velove, ih! Aku serius."
Melupakan rasa malu yang sempat hinggap dan tentu saja mengabaikan Velove yang tidak bisa diajak kerja sama, Deasy melempar senyum terbaiknya kepada Lucas.
Yang membuatnya semakin kegirangan, Lucas bahkan dengan ramahnya balas tersenyum. Pria itu tanpa terduga menghampiri, kemudian menegur sapa Deasy saat posisi mereka sudah berdekatan
"Pak Lucas, selamat malam."
"Selamat malam. Bu Deasy makan di sini juga?"
Deasy mengangguk.
"Iya, Pak. Ini baru selesai dan mau pulang."
"Ah, udah selesai. Sayang sekali. Padahal, kita bisa makan bareng, ya?"
Deasy baknya ulat yang kena siram garam. Kelojotan sendiri saat diajak Lucas berbicara. Nggak tau diam!
"Tapi ... kalau Pak Lucas maksa, saya nggak masalah kok makan lagi."
Velove menoleh, kemudian melotot. Tidak habis pikir dengan kelakuan Deasy. Padahal, sahabatnya itu sudah makan banyak sebelumnya.
"Emangnya Pak Lucas bareng siapa?" tanya Deasy memberanikan diri.
Lucas tersenyum.
"Saya bareng ----"
"Sayang ...."
Dari arah belakang Lucas, muncul perempuan lain dengan perawakan tinggi semampai yang rambutnya tergerai bahkan berpenampilan begitu cantik. Mendekati Lucas, dan langsung mengapit tangan pria itu, seolah mereka adalah pasangan yang tidak terpisahkan.
Melihat hal ini, Deasy langsung terdiam. Terkejut, atau mungkin juga patah hati, mendapati Lucas yang ia incar ternyata datang bersama wanita lain.