Entah sudah tidak terhitung lagi berapa kali Deasy menarik napas panjang. Sementara di otaknya tiba-tiba terbayang dengan ucapan Velove kemarin, saat mereka berdua bertemu di coffe shop.
Deasy memejamkan mata erat. Setelah sempat cuek, dirinya malah tiba-tiba tanpa sebab merasa khawatir. Takut apa yang Velove katakan benar terjadi pada dirinya.
"Jangan gila, Des. Kalau kamu nanti hamil gimana?"
"Oh, ayolah, Velove. Aku cuma make out dua kali. Masa iya bisa hamil?"
"Tapi, kamu nggak pake pengaman, kan?"
Deasy menggeleng.
"Namanya mabuk, mana ingat pake pengaman segala macam. Satu-satunya yang terlintas di otakku malam itu cuma rasa nikmat, nikmat, dan nikmat. Mana ngerasa juga itu cowok keluar di dalam atau buang di luar."
"Astaga Tuhan ..." Velove berseru seraya menggeleng berulang kali. Demi apa pun, tidak menyangka kalau Deasy bisa berbuat serandom dan segila ini. "Awas aja sampai aku dengar kamu stress terus mau bunuh diri karena tiba-tiba hamil."
"Nggak mungkin," sanggah Deasy percaya diri. "Di luar sana, bahkan banyak yang make out berkali-kali tapi nggak hamil, Ve."
"Kenapa nggak mungkin?" debat Velove. "Lagian, biar kata cuma sekali, kalau nggak pake pengaman, nggak ada yang bisa jamin kamu nggak bakal hamil, Des. Apalagi ini sampai dua kali make out. Mana cowoknya random. Nanti semisal bener hamil, tentuin ayah biologisnya bakal susah. Kudu tes DNA segala macam. Kamu mau jadi repot begitu?"
"Tapi, aku yakin nggak bakal hamil kok."
"Aku aminkan feelingmu." Velove tampak menyerah. Mungkin kehabisan kata-kata untuk menyadarkan Deasy bahwa perbuatannya sudah begitu jauh. "Cuma ... kalau nanti kenapa-kenapa, awas aja kamu sampai ambil jalan pintas atau nekat!"
Deasy langsung memijat keningnya. Merutuk diri sendiri seraya mengubah posisi duduknya di kursi kerja. Rasa kalut masih saja hinggap. Kali ini lebih parah dari sebelumnya.
"Demi Tuhan, kalau make out dan nantinya hamil sama cowok cakep yang aku bayangin semalam, aku bakal ikhlas lahir batin. Tapi, kalau partner make out nya Lucas dan nanti ujung-ujungnya dia yang tanggung jawab karena aku hamil, rasanya nggak rela," monolog Deasy sambil terus memijat keningnya.
Ada rasa gengsi dan tidak rela sedari tadi memenuhi benak Deasy. Mau taruh di mana harga dirinya kalau sampai hamil dan menikah dengan Lucas yang nyata-nyata adalah bawahannya.
Belum lagi tampang Lucas yang culun, cupu, berkacamata tebal dan ah ... pokoknya jauh dari tipe idealnya, Deasy yakin pasti seluruh penduduk kantor bakal mencemooh atau mungkin menertawakannya. Sedang berpacaran dengan Danu saja ia digosipkan macam-macam.
"Tuhan ... gini banget hidup aku," desahnya tampak lemas. Bahu Deasy merosot jatuh seolah rasa pening betah sekali berlama-lama hinggap dalam dirinya. "Bisa nggak sih partner make out nya diganti cowok cakep dalam bayangan aku aja."
Lagi, Deasy memejam. Tiba-tiba ia merasa mual karena memikirkan kemungkinan yang satu ini.
"Tapi, misal nih beneran hamil anak Lucas, aku harus gimana coba? Masa iya nikah terus seumur hidup tinggal sama cowok yang nggak banget begitu?"
Tubuh Deasy merinding. Sedikit bergidik seperti ada hantu yang melintas di sebelahnya. Apalagi bulu kuduknya serius terasa meremang. Atau jangan-jangan emang fix ada hantu yang baru saja lewat di belakangnya?
"Yukk Deasy, yukk. Yakin aja nggak bakal hamil. Lagian, kakak tua Lucas kecil gitu. Pasti nggak bakal mampu buat kamu hamil," monolog Deasy sekali lagi berusaha menghibur diri sendiri.
Namun, setelah susah payah meyakinkan diri bahwa ia akan baik-baik saja. Ada satu kalimat Velove kemarin yang kembali mengganggu pikiran Deasy.
"Kalau mau lebih meyakinkan diri kamu bakal hamil atau nggak, coba tanya langsung aja sama partner mu malam itu, waktu kalian make out dia keluar di dalam atau buang di luar."
Deasy langsung menggelengkan kepala. Berpikir sekali lagi apakah perlu melakukan usulan Velove dengan bertanya secara blak-blakan kepada Lucas perihal make out malam itu.
Terus saja hanyut dalam pikirannya, Deasy hampir lupa diri. Ia bahkan tidak sadar kalau sedari tadi ada seseorang yang berulang kali memanggil sembari mengetuk meja kerjanya.
"Bu Deasy ... Bu Deasy ... hey!"
Deasy seketika terkaget di kursinya. Gelagapan. Bahkan spontan memekik kala mendapati Lucas tahu-tahu sudah berdiri tepat di depan meja kerjanya. Tapi, anehnya beberapa detik berselang, rasa terkejut itu berubah cepat menjadi ketegangan. Untuk kali pertama, Deasy tampak gugup bertemu dengan Lucas.
"Astaga, Lucas."
"Bu ... saya mau ngomong serius."
Deasy membeku sesaat. Detik berselang, berusaha menarik napas seraya menjaga air wajahnya agar terlihat lebih tenang.
"Ngomong serius apalagi? Soal pekerjaan?"
Lucas memberanikan diri menarik kursi di depan meja kerja Deasy. Mendudukkan dirinya di sana, pria itu menatap lekat wajah wanita yang berstatus bosnya.
"Ini soal kejadian malam kemarin."
"Memangnya kenapa lagi?"
"Saya cuma mau klarifikasi kalau tempo hari nggak maksud buat menjebak ibu atau melakukan hal-hal yang nggak bermoral. Demi Tuhan, awalnya saya cuma nggak sengaja ketemu ibu yang lagi mabuk dan hampir nggak sadarkan diri di Bar. Seperti sebelumnya, Saya cuma berinisiatif membantu dengan mengantarkan pulang. Tapi ..."
"Tapi apa?" sambar Deasy.
"Tapi, Bu Deasy kambuh lagi."
Deasy mendelik. Menarik wajahnya sembari berpikir keras. Memangnya dia sakit apa sampai di kata kambuh segala macam.
"Kambuh?"
"Iya," angguk Lucas berkali-kali. "Bu Deasy mabuk berat terus kembali paksa saya buat melakukan ---"
"Stop!" pinta Deasy sambil melotot. Ia bisa menebak apa yang selanjutkan akan pria itu katakan kepadanya. "Nggak usah dilanjutkan. Sebenarnya, saya itu heran, Luc. Kenapa sih sial banget harus ketemu dan make out sama kamu?"
"Ya mana saya tau, Bu. Saya sudah berusaha menolak. Tapi, Ibu yang paksa dan buka baju saya duluan."
"Emang serius malam itu beneran kamu?" tanya Deasy dengan mata memicing. Kalau boleh memohon kepada Tuhan, ia ingin kejadian semalam cuma mimpi buruk saja. "Kamu pasti bohong, kaaan? Hayo, ngaku aja deh."
"Ngaku apalagi sih Bu?"
"Ya ngaku kalau aslinya kamu disuruh orang buat gantiin dia, kan? Saya yakin banget kalau kemarin malam, partner saya di atas ranjang itu cakep dan itu pasti bukan kamu."
Lucas hampir terbelalak. Ia tidak menyangka kalau Deasy mengingat wajah pria yang tidak lain adalah wajah aslinya saat menemani wanita itu tidur kemarin malam.
Dalam pikiran Lucas, penyamarannya bisa terancam kalau sampai Deasy benar-benar tahu pria malam itu adalah benar dirinya yang dalam wujud asli.
"Nggak mungkin, Bu. Saya yakin ibu pasti mimpi. Yang kemarin malam temani Ibu tidur memang saya. Bukan laki-laki lain. Lagian, Bu Deasy pikir kira lagi main film? Pakai pemeran pengganti segala?"
"Bohong!" sanggah Deasy masih saja tidak terima. "Udah deh, Lucas. Ngaku aja. Siapa yang udah bayar dan suruh kamu buat tutupin identitasnya?"
Lucas mendesah. Rupanya selain tukang paksa, Deasy ini keras kepala juga.
"Itu memang saya, Bu. Bukan orang lain apalagi stuntman. Kalau ibu nggak percaya, saya bahkan masih ingat warna Bra yang ibu pakai waktu itu. Terlebih, saya juga nggak lupa celana dalam yang ibu pakai tempo hari model renda-renda berpita dan warnanya abu-abu monyet, kan? Kalau masih kurang meyakinkan, saya juga ingat, malam itu sempat kasih tanda merah bentuk ikan cupang di atas d**a bu Deasy. Saya berani taruhan, pasti tanda tersebut sampai detik ini belum hilang."
Deasy tercekat. Ucapan Lucas terdengar begitu menohok. Ngomong-ngomong soal tanda merah bentuk ikan cupang, dirinya memang mengakui bahwa tanda tersebut ada jelas di atas dadanya.
Kalau sudah begini, ya memang Lucas lah pelakunya. Sudah tidak dapat di sanggah lagi kalau pria itu yang jelas-jelas menjadi partner nya saat make out malam kemarin.
"Jadi, beneran kamu? Ya ampun, Lucas ...." gumam Deasy setengah frustrasi.
"Udah dikata dari awal emang saya. Ibu aja yang nggak percaya."
Berusaha menenangkan diri walaupun itu mustahil, Deasy tiba-tiba teringat sesuatu. Mumpung ada kesempatan dan memang sedang berduaan, ada baiknya ia memperjelas hal yang sempat membuatnya kepusingan.
"Lucas, kenapa sih saya harus dua kali melakukan hal nggak bener sama kamu? Kenapa juga tiap mabuk pasti yang tolong kamu?" Deasy menatap tajam. Seolah ingin menguliti Lucas yang duduk di hadapannya. "Kamu sengaja buntutin saya?"
"Saya nggak kekurangan kerjaan, Bu. Ya siapa tau aja emang dasarnya jodoh."
"Gila! Tapi, Luc ... omong-omong soal tidur bareng, kalau boleh saya tau, waktu make out kamu pake pengaman, nggak?"
Deasy berharap Lucas mengangguk. Ya siapa tau saja dirinya mabuk berat jadi tidak bisa membedakan apakah Lucas memakai pengaman atau tidak. Tapi, Lucas sendiri kan dalam keadaan sadar. Siapa tahu saja pria itu selalu menyiapkan kondom di dompetnya buat jaga-jaga. Ya walaupun kalau dipikir-pikir juga mustahil.
"Saya nggak pake pengaman, Bu. Ya ... gimana mau pake? Kan dari awal saya nggak ada niatan untuk tidurin ibu atau perempuan mana pun."
Deasy mendesah panjang. Sebenarnya masuk akal dengan apa yang baru saja Lucas sampaikan.
"Tapi ... waktu make out yang kedua, kamu pasti pakai pengaman, kan?"
Lucas kembali menggeleng.
"Nggak, Bu. Saya mohon maaf, tapi yang kedua pun saya nggak pakai pengaman."
Deasy masih berusaha menjaga kewarasannya. Masih ada satu kemungkinan yang bisa saja menolong nasibnya.
"Oke ... kalau kamu emang nggak pakai pengaman. Tapi, waktu kita berhubungan, kamu nggak keluar di dalam, kan?"
Di matanya, Deasy dapat melihat Lucas menarik napas dalam. Pria itu memandangi Deasy beberapa saat. Keseriusan terpancar nyata di mata pria itu. Lantas tak lama berselang, terdengar Lucas berbicara pelan.
"Sayangnya saya lupa, Bu. Mungkin terlalu asyik dan hanyut dalam permaianan, saya jadi lupa apakah waktu itu keluar di dalam atau buang di luar."
Napas Deasy serasa berhenti berhembus. Fix ini nasibnya di ujung tanduk. Salah-salah dirinya bisa beneran hamil seperti apa yang Velove takutkan kemarin.
"Lucas!!!!"
Deasy berseru keras. Kesal sendiri dengan kebodohan yang sudah ia perbuat.
"Bu, Tenang."
Lucas berusaha menengakan Deasy yang sempat histeris. Ia tahu pasti atasannya itu syok dengan apa yang sudah terjadi di antara mereka. Untungnya saja di depan ruangan sedang tidak ramai dan tidak ada staff lain yang berlalu lalang. Kalau ada yang dengar, kan bisa kacau.
"Tenang ... tenang ... Matamu!"
"Kan saya sudah bilang, kalau ada apa-apa sama Bu Deasy, saya siap tanggung jawab."
"Dih, enak di kamu nggak enak di saya dong. Kamu pikir saya sudi nikah sama kamu! Seenaknya aja."
"Ya terus gimana, dong? Kalau saya sih nggak masalah semisal terjadi sesuatu sama Ibu terus nggak perlu tanggung jawab. Tapi, ibu sendiri gimana nantinya?"
Mempertimbangkan ucapan Lucas, kepala Deasy semakin pening. Bayangan kalau dirinya hamil terus menikah dengan pria yang ... ah. Malas sekali menjabarkannya. Deasy rasa-rasanya ingin gila.
"Mending kamu pergi dari hadapan saya, Luc. Liat kamu saya pengen muntah."
"Tapi, ruangan saya kan di sini. Sama Ibu."
"Ya saya nggak mau tau. Pokoknya kamu pergi dulu dari sini. Saya butuh waktu untuk menenangkan diri."
"Oke ... oke ... saya bakal keluar. Tapi, sekali lagi, Bu. Kalau memang nanti di kemudian hari terjadi sesuatu, ibu nggak perlu ---"
"Lucas! Cepat keluar."
Mendengar Deasy yang kembali berteriak membuat Lucas gelagapan. Tidak ingin melihat atasannya itu semakin murka, Lucas pun memilih untuk mengalah dengan segera keluar dari ruangan.