Part 6: Tied

1007 Words
"Jadi, penjelasan apa yang akan kalian berikan?" tanya wanita yang masih cantik di hadapanku padahal usianya pasti sudah hampir setengah abad atau mungkin lebih. Kuasumsikan beliau sebagai Mama Rafa. Aku dan Rafa hanya diam. Tapi wajah datar itu tampak santai tanpa beban. Sedangkan aku sudah seperti cacing yang belingsetan. "Biasa lah, Ma. Anak muda." Ucapan Rafa membuat mataku melotot. Dih, najong abis. Rafa? Masih muda? Astaga. "Kamu jangan ngerusak anak orang, ya, Rafa. Udah berapa galon s****a yang kamu sebarkan?" omel Mama Rafa. "Siapa nama kamu, Cantik?" Ya ampun, di saat seperti ini aja wajahku masih bisa memanas dan pasti memerah. Dasar pipi, blushing nggak lihat tempat, deh. "Tabitha, Tante," jawabku penuh sopan santun dan etika. Teknik akting memang sangat dibutuhkan kalau kamu hidup di dunia ini. "Jadi, Tabitha, kamu ada hubungan apa sama anak Tante ini?" Ucapan Mama Rafa yang lembut malah membuatku gugup. Kukira beliau akan mengeluarkan kata-kata sarkatis yang mengiris hati. Rafa mengerling. "Mama pasti udah tau jawabannya tanpa Rafa jelasin." "Jadi, Tabitha ini calon istri kamu, Rafa?" Mataku melotot. Yang benar saja, aku 'kan belum terima lamarannya. Belum? Apa maksud kamu, Tabitha? Apa itu artinya kamu bakal terima lamaran singa jadi-jadian yang bahkan nggak ada romantis-romantisnya sama sekali? "Sudah kamu ikat belum?" tanya Mama Rafa mengerling jahil. "Udah, deh. Mama kepo. Yang penting Mama tinggal tunggu waktu Tabitha jadi menantu Mama aja." Asdfghjkl, bicara apa iblis itu? Pengen kucabik mulut itu rasanya. "Lain kali kalau mau mesra-mesraan, dikunci pintunya, ya! Kalau Lili masuk gimana? Nggak buat buat jadi tontonan anak kecil. Ya sudah, Mama pergi dulu." Ibu Rafa kemudian memberikan kecupan di pipiku sebelum meninggalkan ruangan anaknya. * "Maksud Bapak apa tadi bilang-bilang saya calon istri bapak? Saya aja belum kasih jawaban buat lamaran Bapak yang super nggak romantis itu." Kening dan hidungku mengkerut frustasi. Tenggelamin hayati ke rawa-rawa, Mas. "Lagian, kenapa juga harus saya? Kita kenal bahkan belum sampai setahun." Cup! Bibir Rafa menempel pada bibirku, menggigit kecil hingga kurasakan lidahnya masuk kedalam mulutku, menginvansi gigiku satu persatu. Nafasku putus-putus. Terengah karena ciumannya yang menggebu-gebu. Kutundukkan kepala, malu untuk menatap matanya yang sekelam malam itu. "Belum bukan berarti tidak akan 'kan? Saya asumsikan jawabanmu sebagai iya." Suaranya berat dan serak, semakin membuatnya terlihat seksi. "Bapak jangan sembarangan berasumsi dong. Main pake cium-cium segala. Saya nggak pernah mimpi untuk punya ciuman pertama yang sebegini mengenaskan," marahku sambil menginjak kakinya dengan hak tinggiku. "Seharusnya ciuman pertama saya untuk suami saya nanti. Kenapa Bapak malah seenak jidat nyium saya, hah?!" "Jadi itu ciuman pertama kamu?" Aku menunduk, malu dengan pertanyaannya. Aneh nggak, sih, kalau itu ciuman pertamuku? "Terima kasih untuk menjadikan saya yang pertama." Tubuhku tertarik dan menubruk dadanya, tangannya bergerak di punggungku, mengusapnya dengan gerakan melingkar sambil mencium pelipis dan puncak kepalaku. Itu sungguh sangat menenangkan. Kenapa aku nggak berkutik ketika dia melakukan itu? Seharusnya aku memberontak, kan? * Pagi cerah dengan matahari terik dan udara sejuk. Angin menerpa wajahku ketika membuka jendela kamar. Hari Minggu, artinya aku bisa bersantai sejenak. Hengkang dari segala perintah Rafael Gumilar. Kejadian sebulan yang lalu masih segar terpatri di ingatanku. Setelah acara lamaran super nggak romantis itu, sikap Rafa nggak kunjung berubah hangat. Tetap sama dinginnya. Hanya saja, pria itu semakin gencar menyuri ciuman dari bibirku. Dan sialnya, aku juga menikmatinya. Sialan! There was a time when I was alone drrtt... No where to go and no place to call home drrtt... Hanya pada deringan kedua, benda pipih berlogo apel yang tergigit seperempat telah menempel di telingaku. Tanpa melihat ke nama penelepon, langsung kusapa, "Halo?" Suara serak dan malas-malasanku terdengar, menandakan aku baru saja terbangun dari tidur. "Saya tau kamu belum mandi. Cepat mandi, saya tunggu di rumah 30 menit lagi." Klik! Jengkel dan panas di hati, itu yang kurasakan. Masih pagi saja dia sudah membuatku meradang. Memerintahku seenaknya padahal aku belum mengeluarkan satu katapun selain halo. Dasar diktator! "Nggak bisa, ya, biarin aku santai sehari aja!" gerutuku sambil berjalan menuju kamar mandi. * Berhubung hari ini Hari Minggu, aku hanya memakai pakaian kasual. Celana kodok dan kaos putih polos serta sepatu sport yang sedang tren akhir-akhir ini. Kusambar ponsel dan dompet kemudian memasukkannya ke dalam tas kecil bewarna biru tua keluaran salah satu perusahaan tas ternama. "Lho? Bi, kamu mau kemana? Ini Hari Minggu, loh." Mama terkejut melihat pakaianku yang sudah rapi. Ini bahkan masih jam 8 lewat, tapi Tuan Diktator itu sudah memerintahku dengan ini itu. "Ada kerjaan, Ma," jawabku sekenannya. "Ya sudah, pulangnya jangan terlalu larut." Aku mengangguk, kemudian mencium pipi Mama sebelum keluar dari rumah. Waktumu tinggal 12 menit lagi, Nona. Kupukul setir mobil dengan kesal. Kenapa masih ada manusia se-rese dia sih? Lagian belum out of time juga, kenapa dia sibuk sekali? Selain kadar mesumnya yang meningkat drastis, kadar diktator pria itu juga ikut meningkat. Menyuruhku ini dan itu. Seakan-akan aku ini babysitter yang mengurus bayi raksasa. Gerbang rumah Rafa segera terbuka. Pak Amrin juga sudah tau kalau si Mini ini adalah mobilku. Mungkin Rafa yang memberitahu. "Kakak Cantik!" si Manis Lili berlari kecil kearahku ketika aku baru kelur dari mobil. Rambutnya yang dikepang dua—entah oleh siapa, berayun seiring dengan gerakannya. Aku yang gemas melihatnya, langsung menangkap gadis itu kemudian menghujaminya dengan ciuman di seluruh wajahnya sampai ia terkikik kegelian sambil melingkarkan tangannya di leherku. "Kenapa hanya Lili yang dicium? Saya nggak dapat jatah?" Ampun, deh, Bapak ini. Tua nggak tau tua! "Bapak cium tembok aja," jawabku kemudian berlari ke dalam rumah membawa Lili dalam gendonganku. Walaupun umurnya 8 tahun, gadis itu masih saja terasa ringan. "Kak, Papa cemberut tuh." Lili terkikik melihat ayahnya yang tampak kesal karena kuabaikan. Biarkan saja. Ini namanya balas dendam! Siapa suruh dia nggak memberikanku libur walau hanya sehari saja? Tubuhku bahkan terasa hampir rontok semua. Tulang-tulangku rasanya akan segera lepas semua. Rafa merebut Lili dari gendonganku kemudian berbisik sesuatu sambil mengedipkan matanya. Aku tau, itu pasti rencana licik yang akan ditularkan pada anaknya. Gadis itu turun dari gendongan ayahnya kemudian berlari melingkari tangga menuju lantai atas. Rafa berjalan mendekat, memberikan sedikit jarak pada tubuh kami. Mungkin sekitar satu jengkal, yang mana membuatku deg-degan. "Kamu sepertinya harus saya ikat secepatnya. I can't hold it anymore." Suara berat dan nafasnya yang menerpa wajahku membuat bulu kudukku meremang. Nafasku mulai tercekat ketika ia mendekatkan bibirnya pada...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD