Part 5: His Urge of Marriage

1141 Words
"Sa...saya." Tatapannya yang tajam membuatku tergagap. "Kamu kenapa, hmn?" Demi Tuhan! Aku gugup sekali. Ini bahkan lebih menegangkan daripada acara bertemu dengan calon mertua kurasa. Aku mundur dua langkah darinya, melepas tangannya dari pipiku dengan lembut. Rafa menatapku dengan kening berkerut. "Tadi 'kan saya sudah izin ke bapak. Bapak ikhlas nggak sih ngizininnya?" tanyaku kesal. "Sebenernya saya nggak rela ngizinin kamu pergi tadi, saya lebih suka mengurungmu disini bersama saya." Apa-apaan ini? Maksudnya apa coba? Tolong seseorang jelaskan padaku. Kudengar ia menghela nafas. "Tapi apa boleh buat, kamu 'kan nakal, kalau saya nggak ngizinin, pasti kamu bakal berontak juga." Apa coba hubungannya sama itu? Dasar aneh! "Maksud Bapak apa?" Keningku berkerut, mencerna kata-katanya yang sulit diartikan. "Ngomongnya jangan setengah-setengah dong," omelku. "Sudah, lupakan saja. Kembali ke mejamu dan bawa berkas-berkas yang harus saya tanda tangani ke meja saya," perintahnya. "Apa?" tanyanya ketika aku baru akan membuka mulut. Ish! Manusia ini benar-benar menyebalkan. Aku nggak bisa membayangkan bagaimana nasib istrinya kelak. Bagaimana kalau itu ternyata kamu, Tabitha? Ah! Ngigo kamu. "Apa 80% gaji saya benar-benar akan dipotong?" tanyaku dengan polos. Akting yang bagus, Tabitha. "Tergantung bagaimana kamu bersikap pada saya." Ia maju tiga langkah, kali ini lebih dekat lagi daripada sebelumnya dan menangkup pipiku, memberikan sebuah kecupan di kening. "Heh! Apa ini? Main sembarangan cium aja!" pekikku galak. Tapi bagaimanapun, rona di pipi ini nggak bisa tertahankan. Ya ampun, kalau seandainya aku adalah es krim, pasti saat ini sudah meleleh bagai diterpa terik matahari. * Jam 12, artinya jam makan siang dan aku harus segera menjemput si Manis Talitha di sekolahnya. Aku bingung dengan perubahan sikap singa jadi-jadian itu. Ini sudah beberapa hari setelah kejadian ciuman kening mendadak itu, ia tiba-tiba langsung berubah dingin. Apa Rafa marah? Tapi aku nggak merasa melakukan kesalahan. Seharusnya yang marah itu aku, kan? Sakit jiwa, ya, Pak? Bahkan ia hanya menjawab dengan deheman dan gelengan kepala serta anggukan. Persis seperti orang tunawicara. Menyebalkan, kan? Bisa emosi jiwa kalau setiap hari menghadapi spesies seperti ini. Nggak jarang aku melewatkan makan siang karena sibuk menjemput Talitha dan kemudian diikuti rapat mendadak yang diadakan singa jadi-jadian itu. Semua kerjaan mendadak dilimpahkan padaku. Bahkan sedikit banyak kerjaan Dex juga aku yang mengerjakan. Atas perintah Bapak Rafael Gumilar yang sangat mulia—dalam menyengsarakan hidupku. Intinya aku capek, letih, lelah dan lesu. Bahkan berat badanku berkurang tiga kilogram. Ingin resign, tapi aku masih tergiur dengan nominal gaji yang diberikan. "Kakak Cantik!" Talitha berlari kearahku yang baru keluar dari mobil. Hari ini aku membawa mobil sendiri, beruntung juga Rafa yang galak itu mengizinkanku untuk menjemput Talitha tanpa supir. "Mau makan apa, Little One?" tanyaku sambil membelai rambutnya. "Lili mau drive thru di McD," pekiknya dengan girang. Aku tertawa kecil melihat tingkahnya yang lucu. Fast food? Baiklah, itu wajar untuk anak seumurannya yang suka makan fast food berbau ayam yang digoreng atau apapun itu yang menjurus ke arah western. Fast food memang nggak dianjurkan, tapi untuk menyenangkannya setahun sekali mungkin boleh. Aku pernah mendengar bahwa seorang anak yang dilarang memakan ini dan itu kemudian memakan coklat beserta teman-temannya, langsung diopname di rumah sakit keesokkan harinya. Miris sekali, kan? Entahlah itu adalah faktor imun atau karena terlalu dikekang dalam memilih makanan. Setelah menyebutkan pesananku pada layanan drive thru itu, aku menunggu sambil mengobrol ringan dengan Lili. "Bagaimana harimu, Sayang?" tanyaku sembari mengambil satu per satu pesanan yang sudah selesai. "Great as always. Tapi aku merasa sering mengantuk saat di kelas. Entah karena hembusan AC atau mugkin aku kurang tidur ya, Kak," cerocos Lili panjang lebar. "Mau ke rumah atau ke kantor Papa kamu?" "Kangen Papa, Kak. Ke kantor, ya." Yuck! Si manis itu memasang puppy eyes-nya yang bisa merayu siapapun. Dasar! Tangan Lili nggak berhenti mencomot nugget sambil sesekali menyuapiku yang sedang mengendarai mobil. Perhatian sekali, bukan? Seiring dengan berjalannya mobilku, makanan kami juga sudah habis. Setelah membersihkan tangan dengan tisu basah, kami keluar dari mobil dan berjalan menuju lift, bukan lift khusus petinggi, ya. Entah kenapa, aku kurang suka dengan lift para petinggi dan itu tanpa alasan. Lili juga merasa begitu. "Aku disini dulu, ya. Main sama Om Dex." Aku mengangguk sambil meninggalkan meja sekretaris yang ada di depan ruangan Rafa. Kulihat dia sedang menatap ke arah jendela besar yang ada di belakang meja kerjanya. Pria itu mengabaikan kehadiranku dengan tetap diam padahal aku yang suara ketukan heels-ku sudah sangat nyaring. Mungkin dia sedang lelah dan banyak pikiran. Ah, apa peduliku. Akhirnya ia berbalik dan menatapku. "Tabitha!" panggilnya. "Ya?" tanyaku dan spontan bangkit berdiri. "Kemari." Matanya menatapku dengan tajam. Seolah mampu menusukku kapan saja kalau aku membantah. Baru kusadari kalau mata itu hitam pekat dan begitu tajam. "Tumben kamu jinak, biasanya galak seperti singa betina." Sialan! Jadi dia memanggilku hanya untuk mengolokku yang seperti singa betina? "Bapak tuh yang singa! Singa galak jadi-jadian! Bapak manggil saya cuma buat diolok-olok?" tanyaku berapu-api. Padahal tadi aku sudah sesopan mungkin menjaga sikap. Tetap saja nggak bisa, tensiku selalu naik kalau berdekatan dengannya. Sepertinya aku harus ke dokter untuk memeriksa penyakit hipertensiku, takutnya itu menyerang secara tiba-tiba ketika aku menghadapi manusia di depanku ini. "Saya lihat kamu semakin kurus." Ya situ baru sadar? "Kamu sering melewatkan makan siang?" Matanya menajam, menunggu jawabanku. Bisa nggak, sih, matanya nggak perlu sinis-sinir begitu? Tak cungkil juga nanti. "Jawab, Tabitha!" geramnya karena nggak kunjung mendapat jawaban dariku. "It..itu." Aku terbata-bata. "Apa? Kamu udah makan siang?" "Sepertinya urusan berat badan saya bukan hal yang perlu dibicarakan di kantor. Tenang aja, Pak, saya udah kepala dua dan pastinya bisa menjaga diri saya sendiri. Dan masalah saya semakin kurus, saya lagi ikut program penurunan berat badan." Aku memberanikan diri membalas tatapannya yang tajam itu. "Saya tanya, kamu udah makan siang atau belum. Dari kalimatmu barusan, nggak ada jawaban yang sesuai dengan pertanyaan saya, Tabitha!" Ya elah! Ribet amat, sih, ini orang. Aku makin kurus juga gara-gara situ! Kasih kerjaan nggak tanggung-tanggung banyaknya. "Lagian kalau kamu kehilangan berat badan malah jadi nggak montok," lanjutnya sambil meremas bokongku. Sialan nggak sih? Apa-apaan itu? Meremas, ya ampun. Wah, pelecehan ini! Tak laporin ke Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan nanti. Aku mundur beberapa langkah sampai tangannya terlepas. Najis tralala trilili, deh. "Bapak m***m sekali! Apa maksud Bapak tadi dengan meremas b****g saya?" pekikku garang. "Hanya untuk memastikan kemontokkanmu." Tenang sekali dia menjawab, tanpa ada rasa bersalah dan itu malah semakin menyulut emosiku. Tiba-tiba kakiku tidak berpijak pada tanah. Sumpah demi apapun, Rafa mengangkat tubuhku dengan mudah dan meletakkanku di sofa. "Apa lagi ini? Setelah meremas b****g saya, apalagi yang mau Bapak lakukan?" tanyaku berang. Aku bangkit berdiri kemudian menerjangnya, tapi parahnya, aku malah terpental balik dengan keadaan tertidur di sofa dan Rafa berada di atasku. "Kamu semakin nakal, Sayang," katanya dengan mata yang semakin gelap. Nafasnya yang berbau mint segar menyeruak di hidungku. "Tabitha Hardiwinata, saya mau kamu menikah dengan saya." Eh? Itu tadi apa? Mataku melotot, dengan wajah i***t aku bertanya, "Ha?" "Ini lamaran sekaligus perintah!" tekannya. Lamaran apa tuh? Nggak ronantis sama sekali, huh! Cklek! "Kalian sedang apa disana?" Mampus aku. Kubur aku hidup-hidup sekarang juga.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD