Rhea duduk di kursi tunggu yang ada di lobby utama Rumah Sakit. Menunggu sang suami tepatnya calon mantan suaminya yang akan menjemputnya.
Baru saja Rhea duduk, sebuah mobil sedan bersama hitam metalic itu datang, mengetahui kalau itu mobil Ernest maka Rhea langsung masuk ke dalam.
"Sudah lama?" tanya Ernest basa basi sambil mencium kening Rhea. Wanita itu masih mengijinkan suaminya mencium keningnya. Padahal, di lubuk hatinya paling dalam dia sudah jijik. Bibir yang sama telah mencium wanita lain sebelumnya.
Rhea hanya tersenyum, "Belum lama kok." jawabnya singkat.
'Belum lama aku melihat kamu selingkuh." bathin Rhea.
"Maaf ya, Sayang. Aku tadi terjebak macet pas muter arah di sana." tunjuk Ernest menyalahkan jalanan yang sudah langganan macet.
"Iya, gak apa-apa."
'Terjebak macet atau terjebak di kenikmatan milik jalang itu, Mas?' sekali bathin Rhea berucap.
Ernest merasa ada sesuatu yang aneh dari istrinya. Pasalnya tidak biasanya Rhea seperti ini. Wanita ini selalu ceria. Tapi kini wajah istrinya itu datar.
"Kita mau makan dimana?" tanya Ernest yang sesekali menatap Rhea.
"Terserah,"
"Kok terserah? Aku baru saja tanya kamu loh." Ernest mulai tersulut emosi.
"Kan kamu yang ajak aku makan, aku kira kamu udah tentuin tempatnya." elak Rhea.
Ernest terdiam.
Laju mobil Ernest terhenti saat memasuki area parkir di salah satu restaurant ditengah Ibu Kota. Sebuah Restaurant tempat di mana dulu dia melamar Rhea menjadi istrinya.
'Bagus sekali, kamu mencari tempat yang tepat, Mas.' bathin Rhea.
"Silahkan, my Princess." ucap Ernest saat dia membukakan pintu mobil untuk Rhea.
Pria itu memang bermulut manis.
***
Seorang pelayan Restaurant menyambut Ernest dan Rhea, Ernest langsung meminta meja untuk dua orang di lokasi yang romantis. Mendengar permintaan tamunya, pelayan itu langsung mengajak mereka ke sebuah meja yang lokasinya sangat romantis. Tidak ada perubahan dari restaurant itu selain lebih banyak tamu yang mengunjunginya, yang berubah justru suaminya.
"Aku pesanin makanan kesukaan kamu ya, Sayang." ucap Ernest yang langsung membuka buku menu dan memesan dua porsi makanan untuk mereka setelah melihat kepala Rhea mengangguk.
Dengan kesabaran penuh Rhea menahan emosinya, dia makan dengan tenang dan masih sesekali ngobrol dengan pria yang sudah mengkhianatinya.
***
"Kita sudah lama tidak seperti ini," ucap Ernest setelah mereka selesai menghabiskan makan malamnya.
Rhea tersenyum tipis.
"Bagaimana kabar Oca?" tanya Rhea santai.
"O-Oca? Kenapa tiba-tiba kamu menanyakan dia, Sayang?" pria itu sedikit terbata karena tidak akan mengira kalau istrinya masih mengingat nama rekan bisnisnya yang sekaligus rekan satu ranjangnya.
"Iya, dia rekan bisnis kamu 'kan, Mas? Apa kamu sudah tidak berbisnis lagi dengannya?"
"Iya, aku sama dia masih berbisnis."
Ernest mengambil gelas yang berisi air putih lalu meminumnya untuk membasahi tenggorokannya yang seketika kering mendengar pertanyaan sang isteri.
'Bisnis saling memuaskan di atas ranjang.' bathin Rhea.
"Boleh aku minta nomer ponselnya?"
"Untuk apa?"
"Kapan-kapan aku mau ajak dia ke Mall mau shopping bareng, karena aku lihat pakaian Mbak Oca itu bagus dan seksi, aku mau tahu dia beli di butik mana."
"Kamu kan dokter, Sayang. Masa mau pakai pakaian seksi?"
"Emang ada larangan dokter gak boleh pakai pakaian seksi? Siapa tahu pasien aku pada sembuh karena lihat penampilan aku."
"Jangan macam-macam, Rhe." Ernest mulai mulai emosi dengan semua ucapan Rhea.
"Dia boleh pakai pakaian seksi dan kamu suka melihatnya, iya kan? Terus kenapa aku gak?"
"Ck! Aku gak pernah suka lihat wanita seksi." elak Ernest dan sekali lagi dia menenggak minumnya.
Rhea menghela napas kasar.
"Sudah lah, Mas. Tidak usah bohong lagi sama aku. Kamu gak capek bohong terus?"
Kening Ernest menyernyit. Mencoba menelaah ucapan sang istri.
"Kamu suka sama Mba Oca 'kan? Sampai beberapa kali kalian kencan, akui saja semua itu!"
"Cukup Rhea! Ini tempat umum jangan bikin malu." ucap Ernest dengan berbisik agar tidak terdengar oleh pengunjung lainnya.
Rhea membuka cincin pernikahan yang sudah melingkar di jari manis pada tangan kanannya selama beberapa tahun ini.
"Aku masih punya harga diri, Mas. Gak mungkin aku mempermalukan diriku sendiri dengan marah-marah di muka umum. Dan maaf aku tidak bisa lagi menjadi istri kamu. Kita cerai!"
Rhea langsung berdiri dan pergi meninggalkan Ernest yang membeku terpaku di tempatnya.
***
Rhea memasuki sebuah taxi yang kebetulan sedang menurunkan penumpang di depan restaurant itu.
"Malam, Mbak. Tujuannya kemana?" tanya supir itu ramah.
"Jalan saja dulu, Pak." jawab Rhea karena wanita itu juga tidak tahu mau kemana saat ini, dia sudah tidak mau pulang ke rumahnya. Rumah Ernest tepatnya karena pria itu yang membeli dan membangunnya menjadi seperti istana.
Kalau dia pulang ke rumah orang tuanya pasti lah akan banyak pertanyaan dan mamanya-Dira pastilah menyuruhnya pulang.
"Ke jalan Andara saja, Pak." ucap Rhea setelah beberapa saat dia berpikir.
"J-jalan Andara yang rumah para artis sultan itu ya, Mbak? Mbak siapanya mereka? Mau dong Mbak kenalin siapa tau bisa masuk tipi." cerocos supir taxi itu.
"Gak semua yang tinggal di Andara itu artis dan sultan, Pak."
"Ya tapi perumahan di sana kan gede-gede, Mbak. Enak yah jadi orang kaya, banyak duit mau apa tinggal tunjuk dan minta."
Rhea hanya tersenyum mendengarkan setiap perkataan supir taxi itu. Dia mengira orang kaya itu enak. Nyatanya Rhea yang terlahir dari keluarga kaya raya tidak seenak dan semudah itu hidupnya. Wajahnya mungkin bisa tampak ceria bersamaan dengan hatinya yang hancur.
Tanpa terasa taxi itu pun tiba di sebuah rumah dengan gerbang besar dan tinggi. Seorang security menghampiri dan supir taxi itu membuka jendela mobilnya.
"Malam, Pak. Saya mau antar penumpang-" belum selesai supir itu ngomong sudah terpotong oleh security rumah itu yang melihat nyonya mereka ternyata penumpangnya.
"Malam, oh ... Bu Rhea, sebentar saja buka gerbangnya."
"Bapak ada, Ton?"
"Ada, Bu."
Security itu pun memanggil temannya untuk membuka pintu gerbang besar itu.
Taxi itu pun masuk dan menurunkan Rhea tepat di pintu utama rumah bak istana.
"Ini ongkosnya dan kembaliannya ambil saja untuk bapak dan anak-anak."
"Makasih banyak, Mbak. Semoga rejeki Mbak di tambahkan terus, usaha lancar dan sehat terus. Sekali lagi makasih." balas Supir taxi itu setelah menerima beberapa lembar uang seratus ribu dari penumpangnya.
Rhea tersenyum dan mengangguk. Kemudian turun dari taxi.
Belum sempat dia membuka pintu, seseorang sudah membukakan pintu besar itu.
"Malam, Bu." salam salah satu pelayan di sana.
"Bapak ada Mbok?" tanya Rhea ramah.
"Ada, Bu. Sebentar saya panggilkan."
***
Rhea bangkit berdiri dari sofa yang ada di ruang keluarga ketika melihat Axel turun dari lantai atas.
"Rhea," panggilnya.
"Papa,"
Keduanya saling berpelukan.
"Ada apa? Ernest mana?" tanya Axel dengan wajah heran melihat memantunya datang malam-malam seorang diri.
"Ada yang mau Rhea diskusikan sama papa tentang mas Ernest." ucap Rhea.