FL 04

1429 Words
Vernon menuntun sang istri kembali ke ruang makan dan membantunya duduk. "Nak...kau tak apa? Kenapa calon cucuku nakal sekali sih? Kasihan Mommy sayang.." Nyonya Jungnara mengelus pelan perut menantunya. Maura lagi-lagi hanya bisa terdiam, tenggorokan nya terasa sakit hanya untuk berucap. Ia begitu kasihan pada keluarga baik ini, karena harus menjadi mangsa penipuannya. Andai ia bisa memberontak keinginan Pamannya, namun sayangnya ia tak kuasa. Karena Bibi dan keponakannya yang akan terjadi korban nanti nya. Mereka berempat pun melanjutkan sesi sarapan pagi nya. Beberapa saat kemudian Maura kembali ke kamar nya untuk menyiapkan perlengkapan baju bekerja suaminya, ia tersenyum kala mengingat bahwa ia sekarang sudah menyandang gelar sebagai istri, walau tanpa ada rasa cinta, namun pernikahan mereka sudah benar-benar sah tanpa adanya kepalsuan. Tak berapa lama Vernon keluar dari kamar mandi dengan memakai handuk putih sebatas pinggang nya, jangan lupakan rambut basah dengan air yang menetes di tubuh kekarnya, membuat Maura sedikit terpaku dengan pemandangan di hadapannya. "Kenapa? Apa kau terpesona dengan suamimu ini hm?," Goda Vernon, yang mana membuat Maura memalingkan wajahnya malu. "Dasar m***m," gerutu gadis tersebut, berusaha menahan senyumannya.  "Baby...bantu aku mengeringkan rambut ku," pinta Vernon sembari mendudukkan tubuhnya di bawah pinggiran kasur, Maura hanya bisa mengikuti kemauan pemuda itu, ia mulai duduk di pinggiran kasur dengan posisi sang pemuda ada di tengah antara kedua paha nya. Maura segera mengerikan rambut hitam sang suami, begitu tlaten, sedang Vernon memejamkan kedua matanya merasakan kelembutan tangan sang istri yang berlahan membelai rambutnya. "Baby...aku bahagia karena memiliki istri sebaik dirimu," ucap Vernon serius. "Iya..aku tau," hanya itu jawaban yang selalu di ucapkan Maura. Vernon hanya mencoba bersabar, meski bukan itu jawaban yang ia inginkan. Setelah selesai bersiap-siap Maura mengantarkan kepergian sang suami di ambang pintu Mansion tersebut. Dengan senyum manis Maura mengecup pipi sang suami sembari mengucapkan kata-kata manis untuk pemuda tersebut. "Hati-hati sayang," sebatas itu lah kata manis yang di ucapkan Maura, jujur saja ia tak bisa berucap manis sepenuhnya untuk lelaki yang bahkan masih sangat asing di dalam hidupnya. "Iya baby,,, jaga dirimu dan baby kecil baik-baik ok, jika terjadi sesuatu cepat hubungi aku," perintah Vernon dan di angguki paham oleh sang istri. "Em..iya ," sahut Maura singkat. "Oh ya..dan ini untukmu, belanjalah sesuka hatimu jika kau bosan di rumah," ucap sang suami kemudian, sembari memberikan sebuah benda berbentuk kartu berwarna hitam, yang di yakini isi nominal uang di dalam nya yang tak main-main banyaknya. Maura bersorak dalam hati, ia bahagia. Hanya dalam hitungan jam menjadi istri seorang CEO, sudah di beri kepercayaan sebesar ini. Yah! Maura hanya tinggal sendirian di rumah besarnya, mengingat semua orang telah pergi di sibukan dengan kegiatan mereka masing-masing. Maura segera berlari ke balkon kamar nya untuk menghubungi Pamannya, Rehan. "Hallo Paman... bagaimana kabar Bibi dan keponakan ku, jangan siksa mereka," ucap Maura to the poin. "Ck....terlalu banyak basa-basi, cepat kirim uangnya secepatnya...jika tidak, aku tak segan akan mencambuk kedua manusia tak berguna itu," bentak pria paruh baya itu dari sebrang. Maura semakin tersulut emosi mendengar bentakan dari Pamannya, ia tak suka . Kenapa di otak lelaki itu yang ada hanyalah uang dan uang, apakah nyawa kedua orang terdekatnya tidaklah penting baginya?, Batin Maura bertanya-tanya. Tanpa menjawab Maura segera mematikan phonselnya sepihak, dan segera melakukan apa yang di inginkan pria tersebut. Hari berganti hari keinginan Rehan semakin menjadi. Ia tak henti meminta dan mendesak Maura untuk mengirimkan sejumlah uang untuk nya dengan dalih sebagai biaya rumah tangga nya, namun nyatanya semua hanya lah kebohongan semata. Yang terjadi sesungguhnya, uang yang di kirimkan Muara hanyalah untuk bermain judi tak lebih dari itu. Hingga dalam hitungan Minggu, uang di dalam Black card milik Maura hampir ludes seketika, membuat Vernon sedikit curiga terhadap istri nya itu. Jika di lihat-lihat wanita tersebut tidak pernah berbelanja sama sekali, lalu kemana uang yang ia berikan tempo hari perginya?. Batin Vernon. Dari pada terus-menerus curiga pada sang istri, ia mencoba bertanya pada sosok wanita tersebut. Di sinilah mereka sekarang, di kasur king size nya, dengan posisi terduduk di kepala ranjang dengan sang wanita menyenderkan kepalanya di d**a bidang sang pria. "Baby...boleh aku bertanya sesuatu padamu?," Tanya Vernon hati-hati, berusaha agar tak menyinggung perasaan sang istri. Maura sudah gugub namun ia mencoba bersikap tenang seolah tak melakukan apapun. "Iya...apa?," Lirihnya. "Aku hanya ingin tau, akhir-akhir ini kau belanja apa? Kenapa uang yang ada di black card mu hampir habis?," Tanyanya kemudian. Maura menelan ludah nya kasar, ia takut jika pemuda itu marah terhadap nya. Berlahan Maura menegakkan tubuhnya dan bersandar di kepala ranjang. "Maafkan aku...aku ..." Maura menjeda ucapannya. "Aku mengirimkan uang itu untuk keperluan keluarga Pamanku, mereka sedang dalam kesusahan...tolong maafkan aku, aku berjanji akan mengembalikan nya untuk mu... ijinkan aku bekerja, Ver," gugubnya tanpa henti mengomel, hingga Vernon menutup bibir mungil wanita tersebut dengan jari telunjuknya. "Ssattttt,... bernafas lah jika bicara baby, aku hanya ingin tau saja tidak lebih. Kenapa kau sangat ketakutan seperti ini hm? Apa aku semengerikan itu di mata mu hm?," Tanya Vernon sabar. "Kau tidak marah padaku?," Tanya Maura dengan bola mata berkaca-kaca. "Siapa yang bilang kalau aku akan memarahimu hm? Tentu saja tidak, untuk apa aku harus memarahi istri cantik ku ini?," Senyum Vernon seraya mengusap setitik air mata yang keluar di sudut mata sang istri. "Tapi aku sudah menghabiskan uang yang kau berikan," sesal Maura, tentunya hanyalah tipuan belaka. Pada nyatanya ia bahagia mempunyai suami yang begitu memujanya, menjerumus bodoh. "Itu hakmu sayang...aku sudah memberikan nya untuk mu, jadi kau bebas menghabiskan nya. Jika habis aku tinggal mengisinya lagi sayang, aku bekerja hanya untuk kebahagiaan mu dan calon anak kita. Dan masalah tentang keluarga Paman Rehan, aku akan menambahkan nya lagi untuk kau kirim kan padanya. Bagaimanapun keluarga Paman mu juga bagian dari keluarga ku," jelas Vernon yang mana sukses  membuat Maura tercengang. Ia masih tak menyangka bisa bertemu dengan sosok malaikat berwujud manusia di hadapannya. Entahlah ia harus merasa bahagia atau kah harus bersedih. Bahagia karena misinya untuk menipu suaminya berjalan lancar, atau kah sedih karena harus membohongi sosok pemuda yang sangat mencintainya tanpa memandang sisi buruknya. Maura memeluk tubuh kekar suami nya, ia menumpahkan tangisannya yang sedari tadi ia tahan. Rasa sesak yang selalu menyiksa batinya.  "Terima kasih sayang....kau begitu baik, aku bersyukur bisa memiliki suami seperti dirimu," Isak Maura, di pelukan sang suami. Vernon hanya tersenyum sembari mengelus pelan punggung sang istri, agar gadis itu sedikit tentang. "Hei... berhenti menangis baby, nanti hidungmu bisa sakit. Jika kau bersedih maka baby kecil juga akan ikut bersedih, apa kau tidak kasihan hm?," Gumam Vernon. Maura semakin menangis sejadinya, ucapan pemuda itu selalu membuat nya sakit, teringat akan semua dosa yang ia lakukan. "Aku tidak pantas bersanding dengan mu Ver," Isak Maura tanpa sadar. Vernon terkejut dan mendongak kan wajah sang istri agar menatap ke dua mata nya. "Lihat aku,.. kenapa kau bicara seperti itu hm? Aku mencintaimu.. apa kau tidak percaya akan ketulusan hati ku? Hingga kau bicara seperti itu? Aku sakit mendengar nya baby...," Serius Vernon. Maura terdiam seketika, baru kali ini ia melihat keseriusan dari seorang Vernon. "A...aku hanya merasa tak pantas menjadi pendamping hidup mu, kau terlalu sempurna," racau Maura. Vernon berusaha menahan emosi nya, sungguh ia tak suka mendengar ucapan itu dari sang istri. Dengan cepat Vernon membungkam Maura menggunakan bibir nya, melumat nya dengan sedikit kasar. Menumpahkan semua emosinya. Maura membelalakkan kedua bola matanya, merasa terkejut dengan kelakuan sang suami. Ia mencoba menolak namun Vernon semakin brutal melumat bibirnya, bahkan menggigit nya agar Maura membuka bibirnya. "Engghh..." Pekik Maura merasakan ada cairan asin yang mengalir dari bilah bibirnya, perih, sakit. Itulah yang ia rasakan. Vernon tidak mau membuang kesempatan, dengan segera ia melesatkan lidah panjangnya ke dalam rongga hangat mulut sang istri, mengobrak abrik seisi rongga hangat tersebut. Memainkan lidahnya begitu lihai. Maura hanya terdiam tanpa membalas ciuman sang suami. Hingga kegiatan pemuda itu terhenti kala mendapati cairan bening mengalir dari kedua mata indah gadis di hadapannya. Ia sadar telah berlaku kasar pada istri tercinta nya. Sontak ia memeluk tubuh gadis itu dan merapalkan kata maaf berulang kali. "Maafkan aku sayang... maafkan aku, aku terlalu emosi. Aku hanya tidak ingin kau merendahkan diri mu sendiri, aku mencintaimu....aku mencintaimu Maura," Isak Vernon, memeluk erat tubuh sang istri. Maura tidak bisa berucap lagi, ia bingung dengan perasaannya. Pernikahan yang awalnya ia bangun atas dasar penipuan, kini malah sebaliknya dirinya yang terjebak dalam situasi rumit seperti ini. Ia takut jika suatu saat hatinya akan luluh pada cinta sang suami, ia takut jika membayangkan bagaimana reaksi keluarga itu saat mengetahui kebohongan tentang dirinya. Maka dari itu ia berusaha menutup pintu hatinya, agar tidak merasakan yang namanya cinta dalam hidupnya. Ia sadar bahwa dirinya tak lebih dari sebuah alat untuk memeras harta
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD