FL 10

2107 Words
Selepas membelikan es krim anak lelaki itu, kini Vernon kembali menghampiri Maura yang sudah duduk di dalam kafe tersebut, menunggu sang suami selesai dengan urusannya. Tak berapa lama pemuda itu datang dan duduk di kursi depan Maura. "Maaf sayang, harus menunggu lama," tuturnya. "Tidak apa-apa Ver, aku sudah memesankan makanan untuk mu," seru sang istri. "Terima kasih sayang," entah mengapa hari ini ia sangat bahagia. "Ver,.. apa kau sangat menginginkan seorang anak?," Tanya Maura, sembari mengaduk jus dalam gelas nya. "Em, iya....eh! Tapi jangan di fikirkan sayang, aku tidak memaksamu. Aku akan bersabar sampai kau siap untuk memiliki momongan," ucap Vernon, begitu hati-hati. Tak ingin menyinggung perasaan sang istri. Maura hanya tersenyum getir. 'Maafkan aku Ver,....aku tak bisa memberikan apa yang kau mau. Karena kita tidak mungkin bersama.' "Cepat makan, seperti nya mobil kita sudah selesai di perbaiki," seru Vernon kemudian, mengalihkan atensi sang istri. Yang terlihat sedikit terdiam. Ia jadi menyesal karena berucap mengenai momongan tadi, fikirnya. Mereka pun kembali ke Mansion, melupakan bahwa pekerjaan di kantor masih menggunung. Yang Vernon fikirkan hanyalah sang istri, biarlah Daniel yang mengerjakan pekerjaannya. Masa bodo jika pemuda itu sudah menyumpah serapahinya. "Ver,...kau tak kembali ke kantor?," Tanya Maura. "Tidak, aku ingin menemani mu di Mansion saja, lagi pula Mama dan Papa sedang tidak ada kan? Pasti kau sangat kesepian sendirian di tempat ini," mendengar penuturan sang suami, Maura hanya bisa tersenyum, hatinya terasa menghangat. Sedang keadaan di perusahaan Vernon, terlihat seorang pemuda tengah menggerutu, sembari mengusak rambutnya kasar. Ia harus kembali mengerjakan berkas-berkas yang seharusnya di kerjakan oleh bosnya, dan sayangnya bosnya tersebut sekarang tiada. Pergi entah kemana ia pun tak tau. "Sialan.....dimana kau Ver?, Mentang-mentang sebagai bos, seenak jidatmu sendiri pergi meninggalkan pekerjaan," gumamnya sebal. "Butuh bantuan?," Tiba-tiba datang seorang gadis yang menjadi biang kerusuhan, berujung berimbas pada nya. "Hei....kau sini, cepat tanggung jawab! Gara-gara ulah mu, aku jadi kerepotan begini," geram pemuda yang tak lain adalah Daniel. Gadis itu cemberut, namun tetap membantu pekerjaan Daniel. "Aku kan tidak tau kalau istrinya Vernon akan ke sini," lirih gadis yang bernama Caica itu, jujur ia sangat merasa bersalah. "Makanya, jaga sikap mu! Sudah tau Vernon sudah beristri," "Iya....iya aku tau," Siang begitu cepat berlalu, beralih ke kediaman Vernon. Sepasang suami istri terlihat tengah berduaan di dalam sebuah ruang kamar besar, mereka begitu canggung. Entah mengapa suasana malam ini begitu berbeda. Ada rasa aneh yang menggelitik di dalam hati sang istri, kala sang suami mulai mendekati nya. Vernon, menggeser tubuhnya sedikit demi sedikit. Hingga kini tubuh mereka berdempetan bersandar di kepala ranjang. Maura terdiam, memilin ujung piama nya, jujur ini kali pertama ia berdekatan dengan sang suami, selama dia menikah. Kenapa Vernon tak tersinggung saat istrinya tak ingin ia sentuh? Jawab nya, pemuda itu begitu menyayangi wanita tersebut. Ia hanya tak ingin menyakiti sang istri, ia akan menunggu sampai wanita itu mau menerima keberadaan nya. Menyentuh dalam artian lain, bukan sekedar bersentuhan memeluk dan sebagainya. "Sayang... ijinkan aku,----," ucapan pemuda itu terhenti, ia bingung harus mengutarakan keinginannya. Maura menelengkan kepalanya, ia tau apa keinginan sang suami. Namun ia hanya ingin memastikan pemikiran nya saja. "Ijinkan untuk apa Ver?," Tanyanya lembut. "Ijinkan aku menyentuhmu," lirihnya, takut jika sang istri menolak. Maura memejamkan kedua matanya, sembari menghela nafas panjang. 'Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Dia suamiku, aku merasa berdosa selama ini, tak ada salahnya jika aku menyerahkan kegadisanku untuk nya. Sebagai ganti atas semua kejahatan yang aku lakukan.' "Sayang....! Kenapa kau terdiam hm? Maafkan aku, tak apa jika kau tak mau. Aku tak akan memaksamu, sekarang sudah malam, ayo kita tidur.... Aku tak mau kau besok sakit gara-gara kurang tidur," tuturnya begitu lembut. Maura semakin merasa bersalah. "Ver..... lakukan sekarang, aku siap," ucap Maura cepat. Seraya menundukkan kepalanya, malu. Vernon mematung, ia masih tak bisa percaya. Benarkah yang di ucapkan oleh wanita di dekat nya ini? Walau ini bukan kali pertama ia melakukannya, ya! Melakukan saat kecelakaan terdahulu hingga berakhir ke pernikahan. Padanya nyata nya semua itu tidak pernah terjadi dan Maura masihlah prawan hingga sekarang. "Benarkah yang kau ucapkan sayang? Aku tidak ingin kau melakukannya atas dasar keterpaksaan sayang," ucapnya lagi. Maura hanya menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak Ver... Aku memang ingin melakukannya, kau suamiku...sudah kewajiban ku untuk melayani mu," Vernon tersenyum, sungguh ia sangat bahagia. Akhirnya bisa merasakan yang namanya pernikahan dalam hal sesungguhnya. "Terima kasih sayang, aku mencintaimu," "Em...aku tau," dan jawaban itu lagi yang keluar dari bibir manis wanita tersebut. Malam ini, akan menjadi saksi penyatuan kedua insan berbeda gender tersebut. Malam di mana Maura melepaskan kegadisan nya untuk pemuda yang bahkan tidak ia cintai, atau mungkin belum. Berhubungan dengan penuh keraguan, hanya satu yang Maura rapalkan dalam hati. Semoga ia tak hamil, karena itu tidak boleh terjadi. "Sayang....bilang padaku jika aku terlalu kasar padamu, aku akan menghentikan nya," bisiknya sebelum melakukan permainan inti. "Lakukan lah,," lirih Maura, memandang sayu wajah sang suami yang sudah mengungkungnya di atas tubuhnya. Walau jujur, ia takut. Karena baru pertama kali melakukan persetubuhan. Berlahan Vernon mengarahkan kejantanan nya ke lubang hangat sang istri, hampir satu tahun lamanya ia bersabar. Menunggu sang istri siap untuk melakukan hal ini. "Mungkin ini akan sedikit sakit, karena kita sudah lama tak melakukan nya, gigit bahu ku jika kau kesakitan," pinta nya. Maura tak menyahut, ia sibuk menetralkan nafasnya yang semakin memberat naik turun. 'Kita memang belum pernah melakukan nya Ver...! ' Batinnya. Maura menggigit bibir bawahnya, kala merasakan benda besar, panjang mulai menusuk kegadisannya, seakan merobek paksa segel di dalamnya. Perih, sakit. Itulah yang gadis tersebut rasakan, namun ia harus menahannya. Atau kalau tidak, sang suami akan curiga bahwa dia masihlah perawan. "Sayang....ah, jangan gigit bibirmu," ucap sang suami, berusaha menetralkan geramannya. Merasakan kenikmatan, kala kejantanan nya terasa di himpit daging kenyal, bahkan seperti terasa di remas-remas. Vernon mengusap lembut bibir sang istri, mengecupnya penuh kasih sayang. Menyalurkan hasratnya, untuk sang istri agar melupakan kesakitan nya. Maura berlahan, mulai terbiasa dengan permainan sang suami. Rasa sakit pelan-pelan mulai berubah menjadi kenikmatan. Hingga pergumulan itu berlangsung semakin panas. Mengejar dunia putih masing-masing. Adegan panas itu sudah berlangsung beberapa jam lamanya, kekuatan pemuda itu benar-benar tidak bisa di remehkan. Bahkan Maura sudah klimaks berkali-kali sedang sang suami belum keluar sama sekali. Tak lama kemudian pemuda itu menyusul sang wanita dengan menyembur kan cairan putih nya ke dalam rahim wanita tersebut. Maura memejamkan kan kedua matanya, saat cairan hangat terasa memenuhi rahimnya. Vernon tersenyum melihat wajah sexy penuh keringat tengah memejamkan matanya dengan nafas terengah-engah di bawahnya. "Terima kasih sayang....." Ucapnya, seraya mengecup seluruh wajah basah sang istri. Berakhirlah mereka tertidur karena kelelahan, setelah melakukan sesi adegan ranjang untuk yang pertama kali nya. Pagi menjelang, membangunkan sosok pemuda yang masih tertidur dengan setengah badan tertutup selimut tebal nya. Ia menggeliat kecil, mengerjab kan kedua mata nya. Dan melihat di mana tadi malam sang istri terlelap, namun sekarang sudah tidak ada. Ia tersentak dan mendudukkan tubuhnya, menoleh ke sekeliling. Mencari atensi sang istri, namun seketika hatinya merasa lega. Kala mendengar suara gemericik air dari arah kamar mandi, sudah ia pastikan bahwa itu adalah ulah sang istri. Maura mengguyur tubuhnya dengan air hangat yang mengucur dari shower di atasnya, menatap pantulan cermin besar di depan nya yang menggambarkan gambaran tubuh naked penuh tanda merah di area kulit mulusnya. Ia tersenyum, mengingat kembali kejadian tadi malam. Entahlah ia merasa tidak pernah menyesali perbuatannya kali ini. Vernon merasa khawatir karena hampir satu jam lamanya sang istri tak kunjung keluar dari kamar mandi. Terpaksa ia harus mengeceknya ke dalam. Dan kebetulan sekali, pintu kamar mandi itu tak terkunci. Vernon masuk, libido nya kembali naik. Kala melihat tubuh sang istri tengah berdiri memunggunginya, tubuh putih, basah dan mengkilat karena guyuran air shower. Vernon melepas handuk yang melilit di pinggang nya. Berlahan mendekati tubuh sang istri yang terlihat masih menikmati guyuran air sembari memejamkan matanya. Pemuda itu memeluk tubuh sang istri dari belakang, sontak membuat Maura membuka kedua matanya lebar-lebar. Ia terkejut, dan akhirnya tersenyum. Saat melihat dari pantulan cermin, siapa yang telah memeluk tubuhnya ini. "Ver...ada yang mengganjal," godanya, entahlah kenapa ia bisa bicara bahasa selaknat itu. "Apa yang mengganjal hm?," Bisik sang suami, seraya mengecup cuping sang istri. "Yang di bawah sana," lirihnya, menahan desahan. Seluruh tubuh nya meremang, merasakan kehangatan tubuh sang suami di belakang nya. "Benarkah? Mungkin dia merindukan rumah nya," ucap sang pemuda, kedua tangannya tak henti menggrilia tubuh sang wanita hingga berhenti di kedua benda kenyal, dengan titik merah muda mencuat di sana. "Bukankah tadi malam dia sudah pulang ke rumahnya?," Pancing sang wanita, kala merasakan remasan-remasan pelan di area dadanya. "Dia kedinginan sayang.... hangatkan dia," ucapnya, lebih tepatnya memerintah. Maura hanya mengangguk pasrah, melebarkan kedua kakinya, sedikit menungging. Memberi akses benda panjang di belakang nya, agar lebih mudah menemukan sarangnya. Maura menumpukan kedua tangannya di cermin hadapannya, memejamkan kedua matanya dengan bibir sedikit terbuka, menikmati tusukan demi tusukan di belakang sana. Boleh kah jika ia merasa ketagihan, oleh sentuhan dari sang suami?. Satu jam berlalu, mereka menghentikan olahraga paginya. Hanya sekedar pemanasan di pagi hari. Namun lagi-lagi berakhir dengan semburan cairan putih di dalam rahim sang wanita. Maura menyiapkan pakaian sang suami, setelah siap mereka berdua menuruni tangga menuju ke ruang makan. Nyonya Jungnara, tersenyum melihat atensi dua sosok yang terlihat tengah berbahagia, terpancar dari senyuman di bibir keduanya. "Ehem..... Seperti nya ada yang menyerang menantuku, hingga membuat nya tak ikut memasak pagi ini," goda wanita paruh baya itu, sengaja menggoda pasangan tersebut. Maura tersipu malu menyembunyikan rona merah di kedua pipinya. "Ma.....jangan menggoda istriku, seperti tidak pernah muda saja," cerca Vernon, membela sang istri, tentunya hanya sekedar bercanda saja. "Sudah-sudah, ayo kita sarapan bersama. Dan untuk mu Ver, kemarin Papa dapat aduan dari Daniel. Dia bilang jika kau pergi sesukamu di saat jam kerja, apa itu benar?," Tanya sang Papa yang tak lain adalah Tuan Jordan Fernando. "Iya benar, aku hanya sedang ada urusan dengan rumah tangga ku Pa, bukan kah Papa pernah bilang, jika tiada yang lebih penting di bandingkan dengan keluarga?," Tuturnya santai. Sang Papa, hanya tersenyum puas. Memang itu yang ia ajarkan pada sang putra. Ia bersyukur jika pemuda itu melakukan semua ajaran-ajaran nya. "Kau benar nak, tapi ingat satu hal. Pertanggung jawabkan semua perbuatan mu. Naikkan gaji Daniel, atas semua kerja kerasnya," perintah sang Papa. Vernon hanya mengiyakan ucapan sang Papa, sambil melanjutkan sesi sarapan paginya. Keluarga Fernando memang terkenal akan kedermawanan nya di mata masyarakat. Tak heran jika banyak perusahaan berbondong-bondong untuk bisa bekerja sama dengan perusahaan V-Corporation tersebut. Maura hanya terdiam, mengamati setiap pembicaraan keluarga tersebut. Ia kagum akan komitmen yang tertanam di keluarga besar ini. Ia semakin merasa bersalah jika harus berhianat pada keluarga ini nantinya. Tapi mau bagaimana lagi, ia tetap harus melakukannya. "Oiya...sayang, nanti Mama akan pergi menemani Papa ke luar kota. Dan mungkin agak lama, kau tak apa kan jika harus di Mansion sendirian lagi," ucap sang Mama mertua. Walau hampir setiap hari, wanita itu tak ada di rumah. Namun ia selalu berpamitan pada gadis tersebut. "Tidak apa-apa Ma,...aku sudah terbiasa kok," sahut Maura lembut. "Ver....apa kau sudah mentransfer uang bulanan untuk menantu kesayangan ku ini?," Tanya Nyonya Jungnara, memicingkan matanya ke arah sang putra. Vernon merolling bola matanya. Dan memperlihatkan sebuah kartu berwarna hitam ke arah wanita tersebut. "Aku sudah mengatas namakannya dengan nama istriku, dan semua pemasukan bulanan ku ada di sini," tuturnya santai. Maura membolakan kedua matanya, apa dia tidak salah dengar? Benarkah semua uang milik Vernon adalah miliknya? Maura ingin pingsan saat ini juga rasanya. Nyonya Jungnara tersenyum puas, ia senang jika putranya bertanggung jawab. "Bagus....kau begitu mirip dengan Papamu," pujinya. "Kau tau kan bibit ku memang unggul," puji Tuan Jordan untuk dirinya sendiri. "Aku menyesal telah mengatakan kata-kata itu," sesal Nyonya Jungnara, bercanda. Maura hanya tersenyum, merasakan kehangatan keluarga barunya. Ia senang berada di sini. Suasana pagi, di penuhi canda tawa. Tak monoton seperti saat dia berada di keluarga Paman dan Bibinya. Yang ia tau di sana hanya bekerja, bekerja dan bekerja. Sesi sarapan pagi pun sudah selesai. Tuan Jordan dan Nyonya Jungnara sudah berangkat terlebih dahulu. Sedang Vernon berangkat sedikit siang, terkesan tak tega meninggalkan sang istri berada di rumah sendirian. "Sayang... Aku tak ingin pergi ke kantor jika kau berada di rumah sendirian," ucapnya seraya memeluk erat tubuh sang istri. "Ver.... sudahlah, cepat pergi ke kantor. Kau tidak kasihan pada Daniel? Dia bisa gila jika harus mengurus kantor mu sendirian," bujuk Maura. "Baiklah, aku akan pergi. Cium aku terlebih dahulu," pintanya, sambil menunjuk bibirnya dengan jari telunjuknya. Dengan cepat Maura mengecup bibir sang suami, dan mendorong tubuh pemuda tersebut untuk segera pergi. "Sudah-sudah cepat pergi sana," "Astaga, kau mengusirku sayang," rengek Vernon, namun tetap berjalan menuju mobilnya di halaman Mansion, yang sudah di siapkan bawahannya sedari tadi. Berakhirnya mereka berpisah pagi ini, di selingi lambaian tangan dari keduanya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD