Hati yang Sepi

1206 Words
Rhea berdiskusi dengan beberapa rekan kerja. Sebentar-sebentar, ia mencatat. Kadang juga memotret untuk hasil dokumentasi. Dari jarak agak jauh, Nicko memperhatikannya. Nicko lalu memutuskan untuk mendekatinya. "Kamu, sepertinya lancar sekali? Apa kamu butuh bantuan?" tanya Nicko yang sudah di samping Rhea. Membuat Rhea terhenyak, dan menengok ke arah Nicko. "Untuk saat ini, tidak. Terima kasih," jawab Rhea datar. "Kamu juga tampak semangat sekali bekerja?" "Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Lagi pula, besok aku sudah kembali ke Indonesia," kata Rhea. Mendengar ungkapan Rhea itu, Nicko sedikit terkejut. Ia juga merasa aneh. Ia masih melihat Rhea yang kembali fokus mencatat sesuatu. "Kamu baru datang, sudah mau pergi lagi?" tanya Nicko. "Sebenarnya, aku di sini hanya diberi waktu tiga hari. Itupun aku sudah diberi kompensasi lebih untuk mendapatkan dokumentasi. Dan, aku juga sudah mengirimkan semua dokumentasi yang diperlukan perusahaanku. Jadi, aku bisa kembali ke Indonesia besok," jelas Rhea. "Miss Rhea?!" panggil Path, arsitek Thailand dari jarak agak jauh. Rhea menoleh ke asal suara itu. "Tolong ke sini sebentar," pinta Path pada Rhea. Rhea pun berjalan menjauhi Nicko. Setelah Rhea pergi, Nicko masih melihatnya. Mengingat, Rhea akan pergi besok, mendadak ada sesuatu yang salah pada dirinya. Ia tidak dapat menjelaskannya secara spesifik. *** Nicko baru saja membuka pintu hotel dari arah luar. Saat ia baru masuk, ia melihat Rhea yang sedang membereskan pakaiannya ke dalam koper. Membuat Nicko memperhatikannya. "Jam berapa jadwal penerbanganmu?" tanya Nicko sembari berjalan terus masuk ke dalam. "Jam satu siang, aku sudah harus ada di bandara," jawab Rhea yang terus membereskan barangnya. Nicko melihat jam tangannya sebentar. "Jadi, setelah ini kamu sudah harus berangkat ke bandara?" "Ya. Aku sudah hampir selesai." Nicko duduk di sofa kecil. Ia masih memperhatikan Rhea memasukkan semua barangnya. Rhea yang baru saja selesai, segera menutup kembali koper miliknya. Rhea lalu mendirikan kopernya yang tadinya dalam posisi tidur. Ia juga ikut berdiri setelah semua sudah siap. Nicko masih melihatnya. Apa yang harus Nicko katakan untuk memulai percakapan? "Terima kasih, sudah membantuku menginap di sini," ujar Rhea pada Nicko. "Tidak masalah," jawab Nicko. "Kamu yakin tidak ada lagi yang ketinggalan? Kamu ini dari dulu ceroboh. Pastikan tidak ada barang yang tertinggal agar tidak merepotkanku," ujar Nicko, berusaha membuat percakapan lelucon. Namun, Mendengar kalimat Nicko itu, membuat Rhea memutar kedua bola matanya ke atas dengan kesal. "Tenang saja. Aku pastikan tidak akan merepotkanmu lagi," jawab Rhea yang nampak menahan sesuatu saat berbicara. "Kalau begitu, aku pergi dulu," kata Rhea yang berjalan ke arah pintu hotel. Nicko bingung dengan dirinya sendiri. Sebenarnya, ia sama sekali tidak bermaksud mengatakan hal seperti tadi. Hanya saja, ia susah mencari bahan pembicaraan. Ia tidak tahu, jika Rhea akan menanggapinya dengan kesal seperti itu. Semakin Rhea mendekat keluar pintu, semakin tidak rela Nicko melihatnya. Nicko yang duduk pun, segera berdiri. Ia lalu berjalan mendekati Rhea dan mengambil koper dari tangan Rhea. Membuat Rhea terhenyak dibuatnya. "Ada apa denganmu?!" tanya Rhea bingung. "Aku akan mengantarmu ke bandara," kata Nicko cepat. "Aku bisa naik taksi sendiri!" "Aku akan mengantarmu menggunakan mobil Path," tambah Nicko lagi. Seolah tidak menghiraukan kalimat Rhea baru saja. "Tidak perlu! Aku sudah memesan taksi di bawah!" "Tidak masalah. Kamu bisa membatalkan taksinya." Rhea terkejut mendengarnya. Nicko kemudian berjalan mendahului Rhea dengan cepat. Rhea masih mengerjap memperhatikan mantan suaminya yang bersikeras mengantarnya itu. Akhirnya, untuk yang kesekian kali, Rhea tidak bisa menolak tawaran Nicko. *** Sekitar setengah jam, Nicko dan Rhea sudah sampai di bandara. Nicko memarkir mobil. Keduanya keluar dan turun dari mobil. Rhea berjalan ke bagasi belakang untuk mengambil kopernya. Nicko segera mengikuti, dan mengambil alih untuk membawa koper Rhea. Membuat Rhea tidak bisa menolak sikap gentelman Nicko. Mereka berdua pun masuk ke dalam. Setelah di dalam, Rhea mengantri untuk memberikan paspor. Nicko terus mengantarnya. Ia juga ikut menunggu Rhea di belakang Rhea. "Kita sudah akan berpisah lagi. Katakanlah sesuatu," ujar Nicko. "Soal apa?" "Apa saja." "Aku baru ke luar negeri pertama kali. Di Thailand ini, cukup menyenangkan bagiku. Apa lagi, aku juga ke sini karena prestasi." "Ya. Prestasimu cukup mengagumkan, juga kamu mandiri dan cukup berani dari sebelumnya." Nicko nampak setuju. Sementara itu, antrian mereka juga terus berjalan. Nicko masih merasa ia ingin membicarakan sesuatu pada Rhea. "Apa ada hal lain?" tanya Nicko lagi. "Tidak," jawab Rhea. Membuat Nicko mengkerutkan keningnya. "Apa, kamu tidak akan berbicara soal kita?" "Mungkin, aku juga ingin bilang kalau aku lumayan senang bertemu denganmu. Melihatmu sehat dan baik, itu juga hal baik." Nicko terdiam mendengar Rhea. Lagi-lagi, ada yang bekerja di dalam hatinya. Ia bingung akan menanggapi apa kalimat Rhea baru saja. Sampai akhirnya, Rhea sudah tiba pada antriannya. Setelah selesai menunjukkan paspor, Rhea berjalan lagi ke arah pintu masuk untuk menunggu keberangkatan penerbangannya. Sebelum masuk, ia berbalik. Menghadap ke arah Nicko yang dari tadi membantunya membawakan koper. "Apa, kamu juga ingin mengatakan sesuatu tentang kita?" Rhea gantian bertanya. "Tidak ada," jawab Nicko dengan datar. Rhea tercekat mendengar Nicko. "Masuklah. Aku juga masih ada pekerjaan," kata Nicko lagi. Nicko kemudian berbalik dari Rhea. Ia berjalan meninggalkan Rhea begitu saja. Membuat Rhea hanya mengerjap tidak habis pikir akan sikap mantan suaminya. Ia lalu hanya tersenyum getir menatap Nicko yang semakin berjalan menjauh. "Sudah sekian lama, ternyata kamu sama sekali tidak berubah," gumam Rhea pelan berbicara sendiri. Rhea menundukkan kepala sebentar. Kemudian, ia pun berbalik. Melangkah pergi meninggalkan Thailand dan akan kembali ke Indonesia. Sedangkan Nicko yang tadinya terus berjalan, terhenti. Ia kemudian membalikkan badan dan melihat ke arah Rhea. Rhea juga sudah berjalan jauh masuk ke dalam. Entah, apa yang mendadak membuat kaki Nicko sangat berat untuk meninggalkan tempat itu? Ia bahkan terus memandangi Rhea dari belakang. Hingga saat Rhea tidak terlihat lagi, Nicko hanya bisa menghela nafas beratnya. *** Sekitar empat jam kurang, Rhea sudah tiba di bandara Indonesia. Dari bandara Dun Meong, ke bandara Soekarno Hatta. Saat ini, Rhea berjalan keluar dari bandara Soekarno Hatta. Saat Rhea baru melangkah dari pintu keluar, ponselnya berbunyi. Rhea berhenti berjalan dan mengambil ponsel dari sakunya. Di layar ponsel, ada panggilan dari Nicko. Rhea menautkan kedua alisnya sebentar, lalu segera mengangkat panggilannya. "Halo?" sapa Rhea melalui ponsel. "Halo. Apa, mungkin kamu membawa kabel charger ponselku?" tanya Nicko. Rhea menghela nafas dan memutar kedua bola mata mendengar kalimat pertama dari Nicko tersebut. "Tidak. Aku tidak membawa kabel milikmu," jawab Rhea. "Tapi, aku cari tidak ada di manapun. Bisa saja kabel kita tertukar, kan?" ujar Nicko lagi. "Aku benar-benar sangat yakin sudah membawa milikku. Kalau memang tertukar, kamu bisa beli yang baru. Gampang kan?" balas Rhea. Tanpa menunggu balasan dari Nicko, Rhea menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia segera memutus panggilan dari Nicko begitu saja. Tidak ingin berbicara dengan Nicko. Rhea lalu mengusap layar ponselnya. Bermaksud untuk memblokir nomor Nicko. Dengan agak ragu-ragu, akhirnya Rhea memblokir nomor kontak Nicko. Sedangkan Nicko, terkejut saat Rhea mematikan panggilan darinya begitu saja. Rasanya, baru kali ini Rhea melakukannya. Nicko lalu menghela nafas beratnya. Nicko yang sedang duduk di meja kecil, melihat ke arah depannya. Kabel charger miliknya, masih menancap di stop kontak listrik. Jelas-jelas, ada di hadapannya. Nicko sengaja berbohong mencari kabel charger miliknya yang seolah-olah terbawa oleh Rhea. Sebenarnya, ia hanya ingin memastikan Rhea pulang dengan selamat. Tapi Nicko terlalu sulit untuk mengatakan yang sebenarnya. Nicko hanya bisa menghela nafas panjangnya. Mendadak, hatinya merasa sepi. Akankah ini menjadi pertemuan terakhir mereka? Benar-benar terakhir dari sebelumnya saat mereka bercerai?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD