Bukan Antares yang melukai Tuan Callisto, melainkan Thea. Gadis itu tidak sadar sudah mengeluarkan kekuatan sihir tertinggi yang dimilikinya. Kekuatan sihir penghancur seperti yang dikatakan Carora siang tadi. Thea melakukannya tanpa sadar. Dia bahkan pingsan setelah melakukan itu. Jadi, Thea pingsan juga bukan karena Antares yang menyerangnya. Pria itu hanya menghentikan Thea yang bisa saja akan menghancurkan seluruh kastil. Freysia mengetahui semuanya dari Tuan Callisto yang menceritakannya setelah Anne dan Emilia memulihkan kondisinya dengan kekuatan sihir mereka. Sementara Thea masih belum sadarkan diri di kamarnya. Anne dan Emilia juga sudah mengobatinya.
"Itulah sebabnya aku melarang kalian untuk tidak bercanda berlebihan." Callisto mengembuskan napas pelan melalui mulutnya. "Kalian berlima memiliki kekuatan itu." Ia menatap Freysia dan ketiga gadis lainnya bergantian. "Kekuatan penghancur yang masih belum bisa kalian kendalikan. Beruntung tadi Antares tiba tepat waktu, kalau tidak kastil Amethis tidak akan memiliki aula lagi."
Freysia menundukkan kepala setelah mendengar semua itu. Ternyata dugaannya tentang Antares salah. Pria itu tidak bermaksud untuk menyakiti Thea,.Antares hanya berusaha melindungi kastil dan Tuan Callisto. Astaga! Dia merasa sangat bersalah sekarang, apalagi ingat dengan kata-kata Antares tadi siang. Benarkah pria itu tidak bisa melukainya? Tapi, kenapa? Lalu, apakah benar dia juga tidak akan bisa membunuhnya? Freysia menggigit bibir, tangannya terangkat meremas d*da kiri. Jantungnya berdegup keras setiap kali mengingat Antares. Entah karena apa, dia berharap tidak berarti apa-apa.
"Sudah kuduga kalau Antares tidak ingin menyakiti Thea!" Tita bertepuk tangan gembira. "Antares justru menyelamatkannya, 'kan?" Tita melirik Freysia saat berkata seperti itu. Dia sengaja, ingin mengetahui reaksi gadis itu yang selalu mencurigai Antares. Tadi pun Freysia menyerangnya, Freysia menuduh Antares mencelakai Thea, sepupunya.
"Iya!" Lucia juga berseru gembira. "Antares ternyata orang baik!"
Callisto memencet pangkal hidung. Berhadapan dengan gadis-gadis muda seperti mereka yang emosinya cepat sekali berubah memang bukan sesuatu yang mudah. Apalagi kelimanya memiliki sifat yang berbeda, salah paham sedikit saja mereka akan saling menyerang menggunakan kekuatan mereka. Sekarang saja mereka terlihat saling menyindir. Beruntung saja Freysia tidak seperti Thea yang mudah terpancing sehingga keadaan tidak semakin kacau.
"Tapi, kita tetap harus berhati-hati padanya," ucap Anne. "Apa kalian lupa kalau Antares dendam pada kita?"
Tita berdecak. Dia tidak setuju dengan apa yang dikatakan temannya itu. Baginya Antares tidak seperti itu, ia hanya tertekan dan masih belum bisa menerima kematian saudaranya. Bukankah itu sesuatu hal yang wajar? Apalagi Ades tewas saat Antares tidak berada di sini.
"Aku tidak setuju denganmu, Anne," sahut Tita. "Menurutku kata-kata Antares itu tidak serius."
Anne tidak menanggapi, dia menatap Freysia dan tuan Callisto bergantian. Sama seperti Freysia, Anne juga tidak mudah terpancing. Posisinya sebagai yang tertua diantara mereka berlima menuntutnya untuk lebih pandai membawa diri dan memahami keempat temannya yang lain.
"Semoga saja seperti itu, Tita." Tuan Callisto yang menyahut. "Tetapi bagaimanapun kalian tetap harus berhati-hati, terutama menggunakan kekuatan kalian. Jangan pernah menggunakannya untuk menyerang sesama kalian. Gunakan hanya untuk menyerang musuh. Kalian mengerti?" tanyanya.
"Kami mengerti, Tuan Callisto!" Freysia mengangguk. Dia tidak pernah melakukan itu, hanya Thea dan Tita yang melakukannya. Dia tahu, kekuatan mereka bukan hanya melindungi, tetapi kekuatan itu juga bisa merusak dan menimbulkan bahaya. Bukan hanya bagi orang lain, melainkan juga pada mereka.
Tuan Callisto juga mengangguk. "Baiklah, Nona-nona, kurasa sekarang kalian beristirahat saja, atau gunakan waktu kalian untuk sesuatu yang lebih berharga. Nikmati hari ini selagi Ameris aman."
"Baik!"
Lucia selalu bersemangat dalam segala hal, apalagi menikmati hari. Rencananya hari ini dia akan melatih permainan pedangnya bersama Zidane, tanpa menggunakan kekuatan sihir. Pedang yang mereka gunakan juga bukan sungguhan, melainkan pedang yang terbuat dari kayu.
"Terima kasih, Tuan Callisto!" ucap Lucia membungkukkan separuh badannya.
Freysia tidak bersuara apa-apa, dia langsung keluar begitu saja. Dia ingin kembali secepatnya ke kamar Thea, ingin tahu keadaan sepupunya. Itu seandainya dia tidak melihat Antares saat melewati taman. Langkah kakinya berhenti dengan sendirinya, menatap lekat ke.arah pria itu yang sedang duduk bersandar di sebuah cabang pohon besar. Antares tengah memainkan seruling. Freysia mengernyit, dia merasa terserang Dejavu. Seolah dia pernah melihat semua itu, juga mendengar musik yang keluar dari seruling.
Freysia mengurungkan niatnya untuk melihat Thea. Kakinya melangkah tanpa dia sadari, menuju taman di mana Antares berada. Begitu sadar dia sudah berdiri tepat di bawah pohon yang diduduki Antares.
Antares menghentikan permainan serulingnya melihat siapa yang kini berdiri di bawah. Kedua sudut bibirnya sedikit terangkat, sangat sedikit sampai-sampai tidak ada yang menyadari kalau ia tengah tersenyum. Lagipula di taman ini tidak ada orang lain selain mereka. Tidak ada yang tertarik untuk menghabiskan waktu di sini. Walaupun taman ini dibangun di dalam kastil tapi tetap saja tidak ada yang mendatanginya. Semasa Ameris masih indah pun taman ini sangat jarang dijamah. Penghuni kastil lebih tertarik pada taman yang berada di luar daripada di dalam seperti ini.
"Ada apa?" tanya Antares tanpa menatap Freysia. Tatapannya lurus ke depan, ke arah kosong. "Apa kau ingin meminta maaf laten sudah keliru padaku?"
Freysia menundukkan kepala, menggigit bibir dan mengepalkan kedua tangan. Kata-kata Antares terdengar sangat merendahkan. Seandainya saja bisa, dia pasti sudah akan menyerangnya. Hanya saja dia teringat pada apa yang dikatakan Tuan Callisto. Mereka tidak boleh menyerang sesama mereka di sini, atau akan kembali hilang kendali. Tidak ada satu pun dari mereka berlima yang dapat mengontrol kekuatan mereka. Selain itu, dia datang ke sini bukan seperti yang dikatakan Antares. Dia juga tidak tahu untuk apa, kakinya bergerak sendiri.
"Bukan!" jawab Freysia sambil mendongak. "Aku tidak tahu untuk apa aku menemuimu, yang pasti bukan untuk meminta maaf. Lagipula kurasa aku tidak perlu melakukannya. Kau mengatakan ingin balas dendam pada kami, wajar aku curiga."
Freysia menggigit pipi dalamnya. Bukan itu yang ingi dia katakan. Memang benar dia tidak ingin meminta maaf, tapi tak seharusnya dia berkata kasar pada pria ini. Bagaimanapun Antares sudah menyelamatkan Thea, sudah sepantasnya seandainya dia berterima kasih. Freysia mengepal semakin kuat.
Antares mengangkat sebelah alisnya, sekarang ia menatap Freysia yang juga menatapnya. Dalam sekali gerak, ia sudah berada di depan gadis itu, dalam jarak jarak kurang dari satu kaki.
"Aku memang ingin balas dendam atas kematian kakakku, tapi itu sebelum aku tahu kau juga terlibat." Antares menggeram tertahan.
Benar, ia ingin membalas kematian kakaknya. Namun, niat itu sekarang tidak sekuat dulu saat ia belum bertemu dengan kelima gadis yang ikut andil dalam kematian Ades. Bukan dendamnya yang melemah, hanya niatnya saja yang perlahan menguap. Ia bimbang, seolah berada di persimpangan. Di satu sisi ia ingin menghabisi gadis-gadis yang sudah membunuh kakaknya, di sisi lain ia tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya. Semua karena gadis di depannya ini, Freysia..
Sepasang alis pirang itu berkerut tajam. Freysia tidak mengerti apa yang dikatakan Antares. Sebelum tahu kalau dia juga terlibat? Apa maksudnya?
"Apa maksudmu?" tanya Freysia bingung. "Aku terlibat?"
"Lupakan saja!" pinta Antares dingin. "Nanti pasti kau juga akan tahu apa maksud ucapanku."
Freysia menggeleng pelan beberapa kali. Menarik napas kuat dan menyimpannya di paru-paru selama beberapa detik sebelum mengembuskannya kuat melalui mulut.
"Tidak!" Kepala bersurai pirang itu terus menggeleng. "Aku ... terima kasih karena sudah menyelamatkan Thea." Susah payah kata-kata itu keluar dari mulut Freysia. Dia mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk mengatakannya.
Antares menatap dingin gadis di depannya yang juga menatapnya dengan berbagai perasaan. Namun, dari semua perasaan itu, rasa bersalah yang paling dominan.
"Tidak seharusnya aku berkata kasar sepeti itu padamu. Maafkan aku." Kedua tangan Freysia yang tadi mengepal sekarang saling meremas. Dia gugup. Tatapan mata onyx itu kembali menyedot dan menguncinya. "Aku ... "Maafkan aku karena sudah membunuh kakakmu. Aku tidak sengaja, itu ... maksudku, aku tidak tahu."
Antares mengepal. Ini adalah kedua kakinya ia mendengar Freysia meminta maaf atas kematian Ades. Seandainya saja ia bisa melakukannya, sudah pasti diremukkan gadis di depannya ini. Sayangnya ia tidak bisa, hatinya terlalu lemah.
"Maksudmu perasaan mereka?"
Freysia mengangguk dengan kepala tertunduk. Sungguh, dia tidak berani menatap wajah tampan yang terlihat sangat dingin. Yang diam-diam selalu membuatnya menggigil.
"Seandainya kau tahu, apa yang akan kau lakukan?" tanya Antares dengan suara yang ia sendiri tidak dapat mengenalinya. Berada sedekat ini dengan Freysia sukses mengacaukannya.
Freysia kembali mengangkat kepala, menatap ke dalam mata onyx yang memenjarakannya.
"Aku tidak tahu." Freysia menggeleng. "Kurasa aku akan berusaha untuk menyadarkan kakakmu saja."
Antares tersenyum mengejek. "Kau pikir kau bisa melakukannya?" tanyanya. "Seandainya bisa mengubah keputusan Ades, semua ini tidak akan terjadi. Aku sudah berkali-kali mengingatkannya, tapi Ades tetap keras kepala. Katanya ia ingin membebaskan Putri Emery dari semua yang membelenggunya, juga berusaha menentang takdir. Namun, mereka tetap tidak bisa bersama. Kalian justru menghabisinya."
Freysia menggeleng. "Bukan kami, tapi aku!" bantahnya. "Aku yang melakukannya, Antares. Aku yang menghabisi Ades. Kalau ingin balas dendam, kau bisa membalasnya padaku!"
Suara Freysia serak, dia menahan tangis. Meski begitu matanya sudah berkaca-kaca. Dadanya terasa semakin sesak, membuat kesulitan bernapas dan tersengal.
"Pedangku yang menusuk dadanya. Teman-temanku tidak bersalah." Freysia sudah terisak.
"Tapi, mereka membantumu."
Freysia menggeleng. "Aku mohon jangan sakiti mereka!" pintanya. "Sudah cukup aku merasa bersalah dengan kematian Putri Emery dan Ades. Aku tidak mau semakin merasa bersalah karena tidak bisa melindungi teman-temanku."
Antares membuang muka, tak ingin melihat air mata yang membanjiri wajah cantik itu. Agar lebih mudah menahan diri untuk tidak menghapus air mata itu. Sungguh, semua hal yang berhubungan dengan Freysia selalu membuatnya merasa lemah.
"Itu urusanmu!" sahut Antares tanpa menatap. "Urusanku adalah menghabisi kalian berlima."
Freysia kembali menggeleng, kali ini lebih kuat dari tadi. Apa yang harus dilakukannya agar teman-temannya to dak dalam bahaya? Apa yang harus dilakukannya untuk melindungi mereka? Dia tidak ingin teman-temannya terluka. Mereka berempat tidak bersalah, dirinya yang sudah membuat Ameris jadi seperti sekarang ini.
"Sepertinya kau sangat menyayangi teman-temanmu. Padahal mereka tidak berguna." Antares tersenyum mengejek. "Kau jangan khawatir, aku tidak akan menyentuh teman-temanmu. Kalau kalian terus bertempur melawan Orion, aku tidak perlu mengotori kedua tanganku untuk menghabisi teman-temanmu itu. Orion pasti bisa mengalahkan mereka," ucap Antares tanpa perasaan.
"Jangan, aku mohon! Jangan lakukan itu." Kepala Freysia terus menggeleng. Air matanya juga tak bisa dihentikan. Air matanya keluar begitu saja dengan sendirinya. Percuma dia berusaha melawannya, semuanya sia-sia. "Antares, jangan lakukan itu. Teman-temanku tidak bersalah."
"Tapi bagiku mereka bersalah, Fre," ucap Antares datar. Ia membungkuk, mengusap pipi Freysia yang basah, berbisik tepat di telinganya. "Sampai nanti!"
Antares menghilang begitu saja, meninggalkan Freysia yang jatuh merosot ke tanah.
***
Thea sudah sadar. Dia tidak mengingat semua kejadian sebelum terbangun di kamarnya. Seingatnya dia berada di aula, sedang berbicara dengan Tuan Callisto. Bukan hanya mereka berdua yang berada di tempat itu, yang lainnya juga. Kemudian Tuan Callisto mengatakan sesuatu yang menyinggungnya, dia marah lalu tidak ingat apa-apa lagi. Begitu bangun dia sudah berada di dalam kamarnya, di atas tempat tidur,.dan dikelilingi oleh teman-temannya termasuk Astro dan Carora. Namun, dia tidak melihat Freysia. Ke mana sepupunya? Kenapa Freysia tidak ikut menjenguknya?
"Mana Fre?" tanya Thea dengan sepasang alis berkerut. "Aku tidak melihatnya."
Lucia menggeleng. "Kami juga tidak melihatnya, Thea. Kami malah mengira dia sudah lebih dulu di sini."
"Tapi, Fre tidak ada." Thea menggeleng pelan. "Ke mana dia?"
Tita mengangkat bahu. "Mungkin saja Fre berada di kamarnya. Dia tidak terlihat sehat."
Thea mengangguk, mencoba tersenyum dan maklum. Meskipun dia pemasaran dengan keadaan Freysia,. tetapi dia lebih penasaran lagi dengan apa yang telah terjadi padanya. Kenapa sampai dia berada di sini adalah yang ingin diketahuinya.
"Apa kalian Thu apa yang terjadi padaku?" tanya Thea lamat-lamat. Dia meringis.
"Kau hampir menghancurkan aula. Apa kau ingat, Thea?" tanya Lucia. Dia mengerjap beberapa kali.
Mata Thea membulat sempurna. Dia tidak percaya, tapi juga yakin dengan semua yang dikatakan Lucia. Temannya yang satu itu tidak pernah berbohong.
"Benarkah aku melakukannya?" tanya Thea. Pertanyaan itu seolah ditujukan pada dirinya sendiri. "Astaga!" Thea menepuk pipinya dengan gaya dramatis. Sungguh, dia tidak percaya kalau dia kembali di luar batas. "Maafkan aku karena sudah membuat kalian takut, Teman-teman!" pintanya dengan suara bergetar. "Apakah kalian terluka?" tanyanya khawatir.
"Tidak ada yang terluka diantara kami," sahut Carora. "Yang terluka adalah Tuan Callisto dan dirimu sendiri."
"Astaga!" Thea menepuk pipinya. "Tuan Callisto terluka?" tanyanya kaget. Sungguh, dia tidak menyangka kalau akan melukai Tuan Callisto. Dia tidak ingat apa-apa tadi. Seluruh tubuhnya bergerak sendiri.
"Antares yang menyelamatkanmu," ucap Tita bangga. "Kurasa kau harus mengucapkan terima kasih padanya," usulnya.
Thea mengernyit. "Antares? Menyelamatkanku?" tanyanya tidak percaya. Mata birunya membelalak.
Benarkah pria itu yang sudah menyelamatkannya? Astaga, bagaimana dia harus berterima kasih pada pria yang dibencinya. Thea menyumpah dalam hati.