"Apa arti dari perkataanmu itu? Siapa yang kau maksudkan?"
Tuan Callisto bertanya melalui pikirannya kepada Antares. Ia bukan seorang pria yang bisa membaca pikiran, ia hanya menebak saja. Merupakan sebuah keberuntungan kalau tebakannya tepat.
"Siapa lagi kalau bukan gadis-gadis kebanggaanmu itu." Antares menjawab pertanyaan Tuan Callisto, juga mind link.
Tuan Callisto berdecak. Tatapannya terarah pada Antares yang terus menyantap sarapannya tanpa peduli dengan yang lain. Sejak dulu ia memang seperti ini, selalu melakukan apa pun yang ia inginkan. Tidak ada seorang pun yang dapat melarangnya, termasuk almarhum Ades yang merupakan kakak kandungnya sendiri. Antares mencengkeram garpu lebih kuat, ingatan tentang kematian Ades membuatnya kembali merasa terbakar. Ditatapnya kelima gadis yang duduk di depannya satu persatu secara bergantian dengan cepat sebelum berdiri dan meninggalkan meja makan. Ia sudah tidak berselera makan lagi.
"Mau ke mana kau? Kau belum mengabiskan sarapanmu, Antares."
Suara Tuan Callisto kembali bergema di kepalanya, tapi Antares tidak menghiraukan. Lebih baik ia meninggalkan meja makan atau akan menghancurkan seluruh kastil Amethis. Berada satu ruangan dengan kelima gadis itu memberikan efek yang sangat tidak baik bagi dirinya, terutama Freysia. Sialan Freysia! Kenapa harus gadis itu yang membunuh kakaknya? Kenapa harus pedang perak Freysia yang ditemukan di tubuh Ades? Kenapa bukan pedang milik gadis yang lainnya saja. Tentu ia tidak akan merasa bingung dan tertekan seperti sekarang. Akan lebih mudah baginya membalas dendam atas kematian Ades dan menghabisi pembunuhnya.
Aarrggghhhh!
Antares meninju sebuah pilar yang dilewatinya. Terdengar bunyi sesuatu yang retak. Pilar di depan Antares mengalami keretakan di tempat yang tadi ditinjunya. Antares tak peduli, satu pilar retak tidak akan merobohkan kastil ini. Apalagi kastil Amethis dulu adalah tempat tinggal Putri Emery, tidak akan mudah roboh dan hancur. Ia yakin Putri Emery sudah melindungi kastil ini.
Antares lanjut melangkah. Sepertinya lebih baik ia pergi ke tempat itu saja. Ia merasa selalu merasa nyaman berada di sana. Mereka semua yang berada di sana selalu menerimanya.
***
"Maafkan aku, Tuan Callisto," ucap Thea tanpa menatap pria itu, kepalanya tertunduk. "Yang dimaksud Antares itu adalah aku." Kedua tangan gadis itu mengepal. "Tapi aku tidak sengaja melihatnya. Aku bersembunyi karena tak ingin dikira membuntuti!"
Tuan Callisto berdehem sekali sebelum menyahut. "Jangan khawatir, Thea. Aku percaya padamu." Ia tersenyum teduh dan meyakinkan. "Tidak ada yang akan menyalahkanmu. Kami semua percaya padamu."
Thea mengangkat kepala, menatap semuanya yang ada di aula bergantian, dan berhenti tepat pada sosok tuan Callisto yang juga menatapnya dengan sinar matanya yang hangat.
"Kau tak perlu khawatir dengan semua itu." Tuan Callisto mengusap pucuk kepala Thea. "Antares memang selalu seenaknya. Ia juga tidak suka dengan keramaian. Antares selalu menyukai kesendirian yang menurutnya lebih nyaman."
Freysia mendengarkan baik-baik perkataan Tuan Callisto. Ciri-ciri seperti itu, rasanya ia pernah mengenal seseorang dengan ciri seperti yang disebutkan oleh Tuan Callisto. Lebih menyukai sepi daripada di tempat ramai. Namun, dia tidak ingat siapa, yang pasti mereka dekat. Mungkin.
"Antares tidak suka diatur. Itu sebabnya memilih tinggal di planet Ganmate daripada menjadi panglima tertinggi Ameris. Ia tidak ingin terikat."
"Panglima tertinggi?" ulang Anne. Kata-kata itu sedikit mengganggu di telinganya. Otak pintarnya merespons dengan cepat. Kalau di dunianya, seorang Panglima tertinggi hanya diberikan kepada orang yang memang benar-benar pantas. Lalu, bagaimana dengan di sini? Kalau memang benar jabatan itu diberikan kepada Antares, apakah itu artinya pria itu sehebat itu?
Tuan Callisto mengangguk. "Hanya saja Antares menolak. Bahkan sampai sekarang ia masih tetap pada pendiriannya, menolak jabatan itu."
"Antares tidak mau bertempur melawan temannya kurasa," celetuk Carora. "Bukankah Orion Umbriel itu teman Antares ketika ia masih di Ganmate?"
Astro mengangguk, mengiakan perkataan Carora.
"Aku pun tidak mau bertempur dengan temanku." Carora menggeleng. "Sudah cukup dulu saat aku dikuasai kekuatan sihir jahat berada di pihak yang salah, aku tidak ingin melakukannya lagi. Percayalah!"
"Tentu saja aku percaya padamu, Carora!" Lucia berseru gembira. Berlari menghampiri Carora dan memeluknya. Yang menyadarkan Carora dari pengaruh sihir jahat yang digunakan Ades adalah dirinya. Mereka menjadi sahabat setelah itu, sampai sekarang. "Kau yang terbaik!"
Thea dan Tita memutar bola mata mereka bersamaan. Lucia selalu saja seperti itu. Selain terlalu polos dan selalu jujur, menurut mereka Lucia juga terlalu mudah percaya pada seseorang. Beruntung saja Carora sudah tidak seperti dulu lagi, yang menipu Lucia hanya untuk menyakitinya.
Tuan Callisto tersenyum simpul melihat semua itu. Bukan hal yang mudah membuat kelima gadis ini percaya padanya. Apalagi dunia mereka yang berbeda. Thea dan Tita adalah yang selalu meminta untuk pulang. Namun, seiring berjalannya waktu, kekuatan mereka semakin berkembang. Kelimanya berubah menjadi gadis-gadis yang kuat dan mampu mengalahkan Ades, si pengawal pribadi Sang Penyangga. Sampai sekarang, saat ia mengembalikan kekuatan sihir mereka, kekuatan itu langsung beradaptasi dan menciptakan perisai yang berbeda. Milik Freysia terlihat lebih kokoh dan elegan dibanding yang lainnya. Kecil saja dan terlihat tipis, tapi kekuatannya tidak perlu diragukan.
"Kita semua yang berada di sini adalah yang terbaik, Lucia," ucap Emilia menanggapi. Dia sudah mengenal dan hafal kelakuan Lucia. Diantara mereka berlima, Lucia yang terlihat paling bersemangat. "Tidak ada yang buruk atau jahat."
"Menurutku juga seperti itu!" Lucia kembali berseru. Senyum lebar menghiasi wajah cantiknya. "Kita sua yang terbaik dan sangat hebat."
"Termasuk juga Antares!" Tita menambahkan. Dia tidak puas kalau harus berpisah dari pria yang disukainya.
"Untuk Antares tidak perlu diragukan lagi, Tita!" sahut Dione memutar bola mata jengah. "Asal kau saja, Antares bisa mengalahkan kalian berlima dengan sangat mudah. Kutebak tidak sampai lima menit kalian akan roboh."
"Kami berlima?" tanya Thea tidak percaya. Sepasang alisnya terangkat.
Dione mengangguk. "Kalian berlima, jawabnya. "Kalian sudah tahu, 'kan, kalau kekuatan sihir Antares setara dengan Tuan Callisto?"
Tidak ada yang menjawab, kelima gadis itu lebih milih untuk diam. Lebih tepatnya merek takjub dan sangat terkejut. Entah sudah ada yang memberitahu mereka apa yang dikatakan Dione atau belum, yang pasti kalau kekuatan sihir Antares sama seperti Tuan Callisto itu artinya Antares juga bisa memberikan mereka kekuatan sihir. Sangat mengagumkan.
"Wow...."
"Hanya kau yang kagum pada pria yang ingin membunuh kita, Tita!" sentak Thea kesal memotong perkataan Tita. Gadis itu pasti ingin mengungkapkan kekagumannya pada Antares. Sangat menyebalkan. Pria itu adalah pria yang sudah membuatnya malu. "Kita semua bersikap biasa saja!"
"Itu karena kau tidak...."
"Ekhem!"
Thea dan Tita langsung menutup mulut mereka. Tak ingin membuat Tuan Callisto marah. Bagaimanapun pria tua tampan itu yang sudah membuat mereka berada di sini, ia juga memberikan mereka kekuatan sihir. seandainya Tuan Callisto tidak ada, entah apa yang akan terjadi pada mereka.
"Maafkan aku, Nona-nona, tapi tidak bisakah kalian tidak bertengkar sesama kalian?" pinta Tuan Callisto dengan penuh penekanan. "Kalian bukan musuh, tetapi teman. Kalian seharusnya saling menjaga, jangan bertengkar hanya karena memperebutkan seorang pria ...."
"Apa katamu, Tuan Callisto?" tanya Thea dengan berani. Suaranya naik beberapa oktaf. Dia tidak terima dengan kata memperebutkan yang diucapkan pria di depannya ini. Iya, dia menghormati Tuan Callisto, tapi akan marah kalau pria itu menyinggungnya. "Ulangi perkataanmu sekali lagi, Pak Tua!"
Astro dan Carora meringis. Mereka berdua juga pernah kena amukan Thea. Gadis itu marah besar dan menuduh Carora tidak becus menjaga adiknya. Thea dulu mengira Astro adalah adik Carora karena kedua orang itu yang selalu bersama.
"Aku tidak ikut campur." Carora memutar tubuh, bersiap meninggalkan aula. "Ayo, Astro!" Dia menarik tangan Astro, mengajaknya keluar bersama.
"Aku juga ada urusan sebentar, Tuan Callisto. Permisi!" Emelia juga ikut melarikan diri. Yang membuat kediamannya nyaris rata dengan tanah dulu juga adalah Thea, dengan alasan yang sama. Berselisih paham, tapi bukan dengan Tita, melainkan dengan Lucia. Thea kesal dengan sikap polos gadis itu yang menurutnya sana saja dengan bodoh. Emelia keluar menyusul Carora dan Astro.
"Kurasa aku juga harus pergi." Freysia tersenyum canggung. "Ada yang harus aku lakukan. Sampai nanti!"
Freysia berlari kecil keluar aula. Di luar, tepatnya di balkon,dia bertemu dengan Emelia dan yang lainnya. Zidane ternyata juga sudah keluar diam-diam tanpa izin. Mereka semua tidak ingin menjadi sasaran kemarahan Thea.
"Kalian kenapa tidak menunggu kami?" tanya Lucia. Dia datang bersama Anne dan Tita. Mereka juga melarikan diri bersama Dione.
"Tidak ada yang ingin diterjang tornado kemarahan Thea." Carora meringis. "Kecuali kau memang ingin merasakannya, Lucy. Cobalah!" Dia tersenyum kaku.
"Memangnya kenapa dengan gelombang tornado Thea?" Lucia mengerjap. Dia tidak ingat kalau dulu pernah merasakan sapuannya yang dahsyat.
"Thea benar, kau memang bodoh, Lucy!" geram Tita. "Kau juga pelupa!"
Lucia cemberut. "Kenapa kau marah padaku, Tita?" tanyanya.
"Kurasa Tita tidak marah, Luce, dia hanya kesal. Benar, 'kan, Tita?" Freysia mencoba meluruskan. "Karena sungguh, aku juga merasakannya. Seandainya saja bisa aku ingin berteriak agar rasa kesalku padamu hilang!"
"Eh?" Lucia berjengit. "Kau juga kesal padaku, Fre?" tanyanya takut-takut.
Freysia memutar bola mata. "Sudahlah!" sentaknya memalingkan muka agar tidak melihat wajah polos Lucia. Wajah yang membuat kesal sekaligus bisa mengembalikan semangat. Begitu juga dengan tingkah Lucia. Percayalah, kepolosannya selain membuat orang kesal juga bisa mengembalikan semangat.
Tita tertawa. Namun, tawa itu berhenti seketika mendengar suara berdebum keras, datangnya dari aula. Mereka yang berada di balkon itu menatap bersamaan ke arah aula dengan mata yang sama-sama membelalak. Sepertinya Thea menyerang Tuan Callisto.
"Adakah yang mau melihat ke dalam aula?" tawar Dione.
"Kenapa tidak kau sendiri saja yang memeriksanya kalau kau memang sepenasaran itu," cibir Carora. Dia tahu kalau Dione sangat ingin tahu apa yang terjadi. Jujur saja, yang lain juga dia yakin akan hal itu. Hanya saja mereka tidak ingin membuat Thea semakin marah. Kelima gadis dari dunia lain ini sama-sama memiliki kekuatan penghancur yang tidak mereka ketahui.
"Kau bercanda?" belalak Dione. "Kalau kau juga takut jangan mencibir seperti itu."
Carora mengabaikan, dia lebih tertarik dengan apa yang terjadi di aula. Setelah suara berdebum keras tadi tidak terdengar suara apa-apa lagi. Itu yang membuat mereka penasaran. Apakah Thea sudah dilumpuhkan?
"Sudah cukup Ades dan Putri Emery saja yang kalian bunuh. Jangan sampai Callisto juga!"
Suara menggelegar itu membuat mereka semua terdiam, kemudian saling berpandangan. Itu adalah suara Antares. Astaga! Bagaimana bisa pria itu ada di aula? Kapan ia tiba tidak ada yang tahu.
"Antares," lirih Anne.
Meskipun lirih, tetapi yang lain dapat mendengarnya. Mereka berdekatan.
"Kukira ia tidak akan peduli lagi dengan keselamatan gurunya. Ternyata ia masih mengingatnya." Zidane tersenyum sinis. Antara dirinya dan pria berambut hitam itu memang tidak pernah ada perselisihan apalagi persaingan. Tidak ada yang dapat menandingi Antares, ia yang terbaik di segala hal. Hanya saja mereka juga tidak dekat. Antares lebih suka seorang diri daripada berteman.
Freysia berlari menuju aula, mengabaikan seruan tertahan Emilia dan yang lainnya. Dia sangat mengkhawatirkan keadaan sepupunya. Dia takut kalau-kalau Antares melakukan sesuatu pada Thea. Sepupunya tidak boleh kenapa-kenapa, dia tidak bersalah. Yang bersalah adalah dirinya. Seandainya Antares ingin membalas dendam, pria itu bisa membalas padanya.
"Buta!" Freysia berseru bertepatan dengan Antares yang mengarahkan tangannya pada Thea. Tatapannya tajam terarah pada pria itu. "Menjauh dari sepupuku!" pintanya berseru.
Freysia melirik Thea yang tergeletak tak sadarkan diri di dekat Tuan Callisto yang terduduk. Pria itu memegangi dadanya. Ada jejak berwarna merah di sudut bibirnya. Freysia tahu itu adalah darah, tapi siapa yang melakukannya? Thea atau Antares?
Mata Freysia melebar melihat senyuman miring Antares. Dadanya berdebar kencang. Bukan karena senyuman itu, tetapi dia merasa kalau serangannya tidak berarti apa-apa pada pria yang berjarak beberapa kaki darinya itu. Antares sedang menatapnya, dan dari tatapan itu Freysia tahu kalau serangannya tidak berpengaruh apa-apa padanya. Freysia tersengal, kakinya menjadi selemas jelly. Takut, kesal, marah, dan sedih menjadi satu. Dia ingin menyerang Antares lagi, tetapi ragu. Bagaimana kalau serangannya kembali tidak mempan?
"Antares, berhenti!"
Freysia melirik Tuan Callisto. Pria itu mengulurkan tangan ingin menjangkau Antares yang melangkah ke arahnya. Namun, tentu saja tidak bisa. Antares sekarang sudah berdiri tepat di depannya.
"Kau pikir seranganmu bisa melumpuhkanku?" Antares tersenyum mengejek. "Lebih baik kau tidur dan bermimpi saja."
Freysia menggigil tanpa sadar mendengar suara dingin itu. Perlahan dia mendongak, memberanikan diri menatap mata sekelam malam itu, dan Freysia terperosok. Dia nyaris tidak bisa kembali lagi seandainya saja tidak terdengar suara Lucia menyerukan namanya.
"Fre! Kau tidak apa-apa?" Lucia berseru di ambang pintu. Dia bersiap untuk menyerang Antares kalau-kalau pria itu juga menyerang Freysia.
Sementara Tita dan Anne menghampiri Thea bersama Zidane, membiarkan pria itu menggendong Thea menuju kamarnya. Tuan Callisto dibantu berdiri oleh Emilia dan Carora. Astro dan Dione berjaga bersama Lucia.
"A-aku tidak apa-apa, Lucy. Jangan khawatir!" Freysia balas berseru. Ingin dia menjauh dari Antares yang semakin mendekat padanya, sehingga sekarang mereka nyaris tak berjarak. Bergerak sedikit saja mereka bisa bersentuhan. Namun, tubuhnya tidak dapat bergerak. Kedua kakinya seolah terpaku di lantai aula.
"Kau tidak akan bisa membunuhku, Fre. Sama seperti aku yang juga tidak akan pernah bisa melukaimu."