PART 1 - Yang Kupikirkan Tentangmu Setiap Saat

1561 Words
"Selamat siang, Pak Randi." Randi tersenyum kecil pada karyawan yang menyapanya. Laki-laki itu berjalan ke ruangannya. Melewati puluhan karyawan yang menunduk memberikan hormat padanya. Sebelum Randi membuka pintu ruangannya, seorang perempuan mendahului tangan Randi dan mempersilakan Randi masuk. "Silakan masuk, Pak," kata perempuan itu dengan tersenyum manis. "Terima kasih, Karina." Sebelum masuk, Randi melihat sekilas senyum Karina. Perempuan itu mengikuti Randi masuk ruangannya. Lalu duduk di kursi yang dekat dengan pintu. Kursi yang dulu ditempati oleh Rasaya. Tapi kini sudah ada perempuan lain yang menempatinya. Sekretaris barunya - Karina Relian. "Ini jadwal Pak Randi untuk hari ini. Pukul sepuluh pagi akan ada meeting dengan pimpinan Lourens Distributor, lalu jam satu siang ada acara makan siang dengan Pak Landra, lalu pukul tiga sore nanti, Pak Randi ada rapat dengan tim manajemen untuk masalah penjualan yang menurun bulan lalu, Pak," kata Karina sambil memperlihatkan jadwal Randi yang padat. Randi mengangguk, "Makan siang dengan Pak Landra, apakah bisa diundur satu jam saja?" Karina melihat tab-nya. "Sepertinya bisa. Saya akan menghubungi sekretaris Pak Landra untuk mengaturnya lagi," kata perempuan itu. "Oke. Terima kasih, Karina." "Sama-sama, Pak Randi. Saya akan membuatkan kopi untuk Bapak," kata perempuan itu lalu meninggalkan Randi menuju pantry. Tak sampai sepuluh menit, Karina masuk ke ruangan lagi dan meletakkan segelas kopi di meja Randi. Laki-laki itu memperhatikan Karina dengan seksama. Tak menyangka gadis itu sudah tumbuh besar dan terlihat dewasa sekarang. "Jadi bagaimana? Apa kau nyaman bekerja di sini, Karina?" tanya Randi sambil menyesap kopinya. Karina tersenyum lagi. "Sangat nyaman. Meskipun saya masih banyak kesalahan, tapi saya suka bekerja di sini. Karyawan-karyawan lain sangat ramah dan Pak Randi -" Karina melihat Randi dengan malu-malu. "Pak Randi sangat baik pada saya," kata Karina. "Tentu saja aku akan baik padamu. Aku yang memintamu menjadi sekretarisku," kata Randi santai. "Terima kasih banyak, Pak Randi. Kalau Pak Randi tak menolong saya, mungkin saya masih kacau dan bingung harus mencari pekerjaan di mana," kata Karina. "Tentu saja aku akan membantumu. Kau juga sudah membantuku dulu, kan?" Karina mengangguk lalu kembali ke meja kerjanya. Randi seketika mengingat pertama kali ia bertemu dengan perempuan yang sepuluh tahun lebih muda darinya itu. Karina adalah anak salah satu pembantu di rumah Rosalind. Saat Randi datang ke rumah Rosalind, Karina masih bayi. Perempuan itu tinggal di rumah Rosalind selama bertahun-tahun dan ketika SMA, Karina pindah ke rumah Reno. Karina bekerja di rumah Reno untuk membantu ibunya membiayai adiknya yang koma di rumah sakit. Sejak saat itu, Randi mengenal Karina, lalu perempuan itu pergi selama bertahun-tahun untuk kuliah di kota. Dua minggu yang lalu - tepat saat Reno memindahkan Rasaya ke kantor cabang - Randi bertemu lagi dengan Karina. Perempuan itu bercerita bahwa ibunya sudah meninggal dan ia sangat membutuhkan uang untuk membayar pemakaman ibunya - juga biaya rumah sakit adiknya. Melihat Karina mengingatkan Randi pada dirinya waktu kecil. Randi memberikan uang pada Karina untuk membayar semuanya dan menawarinya pekerjaan di kantornya. Kebetulan Karina baru lulus kuliah jurusan manajemen dan memang sedang mencari kerja. Karina bilang akan mengganti uang Randi dengan bekerja untuk laki-laki itu. Dan karena itulah - sekarang perempuan itu duduk di meja sekretaris di ruangan Randi. Dan Karina sangat rajin dan pintar hingga Randi tak pernah mengeluh apapun. Randi melihat jam tangannya dan berdiri ketika jam sudah menunjukkan pukul sepuluh. Karina mengikuti Randi keluar. Sebagai sekretaris, memang perempuan itu harus mengikuti Randi kemanapun laki-laki itu pergi. Terutama untuk masalah pekerjaan. * * * * * "Maaf karena kau harus ikut denganku ke acara ini. Kalau kau lelah, kau bisa istirahat di mobil saja," kata Randi sambil berjalan cepat memasuki kantor cabang Rezardhi Group. "Tidak, Pak. Saya juga ingin menyapa Nona Rasaya," kata Karina. Seorang karyawan menghampiri Randi dan membantu Randi menemukan ruang aula untuk penyambutan pimpinan baru kantor cabang itu. Randi masuk ke aula yang sudah berisi banyak karyawan itu. Memilih duduk di belakang dan tersenyum bangga melihat Rasaya memberi sambutan di panggung. Perempuan itu melihat Randi dan tersenyum kecil. "Terima kasih untuk semuanya yang sudah hadir. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik nanti. Selamat siang," kata Rasaya mengakhiri sambutannya. Perempuan itu turun dari panggung. Diganti oleh sekretaris Rasaya yang mempersilakan karyawan di ruangan itu untuk bubar. Randi berdiri ketika Rasaya semakin dekat dengannya. Rasaya memeluk Randi dan mencium pipinya. "Kupikir kau tak datang," kata Rasaya tanpa melepaskan pelukannya dari Randi. Randi menarik tangan Rasaya menjauh dan menyentuh puncak kepala istrinya itu. "Sudah kubilang aku akan datang." Randi berbisik di telinga Rasaya. "Kau terlihat sangat seksi di atas panggung," katanya. "Apa yang kau katakan. Berhentilah menggodaku," ujar Rasaya malu, sambil memukul lengan Randi. Puluhan karyawan melewati mereka berdua dengan hormat. Ruangan itu akhirnya sepi dan Rasaya menarik Randi keluar ruangan. Perempuan itu melirik ke belakang dan baru menyadari ada perempuan yang mengikuti Randi sejak tadi. Rasaya berdiri dan menatap perempuan itu tak suka. "Siapa dia?" tanya Rasaya. "Oh iya, aku belum memperkenalkannya padamu. Ini Karina, sekretarisku yang baru." "Salam kenal, Nona Rasaya. Saya sangat senang bertemu Anda," kata Karina sambil mengulurkan tangannya, tapi Rasaya tak menyambutnya. Perempuan itu pun menurunkan tangannya dengan wajah kecewa. Randi melihat itu dan langsung berkata, "Kau pasti sudah mendengarnya dari ayahmu kan kalau aku memiliki sekretaris baru? Kau tak ingat Karina, Sayang?" tanya Randi. Rasaya mengernyit kecil. "Apa aku mengenalnya?" "Karina anak Bibi Olivia yang bekerja di rumah nenekmu. Karina juga pernah bekerja di rumahmu, kau tak ingat?" Rasaya menggeleng, "Tak ingat." Karina tersenyum kecil. "Tentu saja Nona Rasaya tak mengingatku. Waktu saya datang ke rumah Tuan Reno, Nona Rasaya sudah pergi ke Belanda. Saya tak sempat berkenalan dengan Nona Rasaya waktu itu," kata Karina. Rasaya menghembuskan napas panjang dan berbalik. Menarik tangan Randi dan berjalan lebih cepat meninggalkan Karina. Rasaya menarik Randi memasuki kantin kantor. Lalu duduk di meja paling ujung. Randi melihat Karina berdiri canggung di depan kantin. Seperti tak enak mengikuti Randi masuk ke dalam. Randi merasa tak enak pada perempuan itu. Randi tak menyangka Rasaya akan bersikap berlebihan seperti sekarang pada sekretarisnya. "Kau tak pernah bilang kalau sekretaris barumu sangat cantik," kata Rasaya dengan wajah cemberut. Randi tersenyum kecil. "Karena aku memilih sekretaris bukan dari wajahnya, tapi otaknya, Rasaya," kata laki-laki itu tenang. "Tapi aku tak menyukainya, Randi. Dia terlalu cantik," kata Rasaya lagi. Randi menggenggam tangan Rasaya. "Lupakan Karina. Aku ke sini untuk melihatmu. Aku tak ingin waktuku di sini sia-sia hanya karena membicarakannya," kata Randi, berharap Rasaya sedikit melunak. Rasaya melirik Karina yang masih berdiri di depan kantin dan Randi memegang kepala istrinya itu menghadapnya. "Sudah jangan pedulikan Karina. Aku mengajaknya ke sini karena setelah ini aku ada meeting penting, Rasaya. Apa yang kau khawatirkan?" "Aku tak menyukainya," kata Rasaya. "Kau hanya belum mengenalnya, Karina perempuan yang baik." "Kau memujinya, aku semakin tak menyukainya," ucap Rasaya. Randi tertawa mendengar perkataan perempuan itu. "Aku suka melihatmu cemburu, tapi kita harus makan sekarang, oke? Aku tak bisa berlama-lama di sini." Randi berdiri dan berbisik di telinga Rasaya. "Aku lapar. Aku akan mengambil makanan untuk kita," kata Randi. Laki-laki itu berjalan ke arah dapur dan memesan makanan ke koki kantor. Rasaya mengikutinya dari belakang. Mereka menunggu sebentar lalu membawa makanan itu ke meja. Randi mengangkat tangannya memanggil Karina, perempuan itu pun berjalan ke arahnya dengan wajah ragu. "Ambillah makananmu, kita harus segera pergi," kata Randi. Karina menunduk kecil, "Baik, Pak Randi," kata perempuan itu sambil berjalan ke dapur. Melihat Rasaya masih menatap Karina tajam, Randi memulai pembicaraan. "Jadi bagaimana harimu? Apa kau menyukai bekerja di sini, Rasaya?" tanya Randi. "Aku tak suka karena aku jauh darimu," balas Rasaya pendek. "Tapi kau menjadi bos di sini. Kau tak lagi menjadi sekretaris yang aku suruh-suruh," kata Randi. "Aku tetap tak suka." Rasaya mengiris steak di piring dengan kasar. "Apa aku perlu membujuk Ayah untuk mengembalikan aku ke kantor utama?" tanya perempuan itu. "Tak bisa, Rasaya. Semua karyawan sudah menyambutmu tadi. Kau tak bisa melarikan diri begitu saja," kata Randi. "Kalau begitu - datanglah ke sini setiap siang." Rasaya menggeleng. "Bukan. Aku yang akan datang ke kantormu setiap siang. Kita harus makan siang bersama setiap hari. Sial! Kenapa jarak kantor kita sangat berjauhan! Membutuhkan waktu tiga puluh menit hanya untuk menemuimu. Itu tak adil!" kata Rasaya kesal. Randi tersenyum kecil melihat Rasaya yang kesal. "Apa kau lupa kalau kita sudah tinggal satu rumah? Kita memiliki banyak waktu di rumah, jangan bersusah payah menemuiku hanya untuk makan siang. Aku tak ingin kau kelelahan," kata Randi. Rasaya menyipitkan matanya. "Kau seperti tak ingin bertemu denganku," ucap Rasaya. "Kau tak akan tahu apa yang aku pikirkan setiap saat tentangmu, Rasaya," kata Randi tanpa menatap Rasaya. "Memangnya apa yang kau pikirkan?" Randi mendongak kecil. "Aku tak akan memberitahumu." "Randi!" kesal Rasaya. Randi tertawa kecil dan menghabiskan makanannya. Sesekali melirik istrinya yang masih memasang wajah kesal. Merasa ada yang menatapnya, Rasaya mendongak dan mata mereka bertemu. Randi tersenyum, tapi Rasaya hanya memasang wajah datar. Perempuan itu menatap Randi dengan kesal hingga laki-laki itu pun mengalah. "Baiklah. Oke. Aku akan menemuimu saat makan siang kalau aku ada waktu. Berhentilah cemberut, oke?" "Kau belum menjawab pertanyaanku yang terakhir." "Apa lagi, Rasaya?" "Apa yang kau pikirkan tentangku setiap saat?" tanya Rasaya. Randi tak bisa menahan senyumnya. "Apa kau benar-benar ingin tahu?" Rasaya mengangguk cepat. Melihat itu, Randi meminum segelas air di meja lalu berdiri mendekati Rasaya. Laki-laki itu pun menunduk di depan Rasaya dan berbisik di telinga perempuan itu. "Aku selalu berpikir, bagaimana membawamu pergi dari sini dan mengurungmu di kamar - dan tak akan membiarkanmu keluar, Rasaya. Sekarang kau mengerti?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD