PROLOG
Rasaya tersenyum. Laki-laki itu terlihat sangat indah. Kulitnya yang kecoklatan dan lengannya yang berotot membuatnya terlihat semakin panas. Apalagi dengan d**a bidangnya yang kini tak tertutupi apapun. Dan Rasaya merasa sangat beruntung - karena semua itu adalah miliknya. Randi adalah miliknya.
Suaminya. Cintanya. Miliknya.
"Bisakah kau tak bekerja hari ini?" tanya Rasaya sambil keluar dari selimutnya.
Perempuan itu sadar dirinya telanjang dan langsung membungkus tubuhnya dengan selimut lagi. Bangun dan membiarkan selimut itu menutupi tubuhnya yang telanjang.
Randi mengambil satu kemeja putih di lemari dan memakainya. "Tak bisa. Aku ada rapat penting hari ini, Rasaya," kata Randi.
Rasaya melirik wajahnya di cermin. Mengerucutkan bibirnya ketika menyadari penampilannya sekarang sangat berlawanan dengan Randi. Rasaya baru bangun tidur sedangkan Randi sudah rapi memakai kemeja kerja. Terlihat sialan tampan dengan rambut basahnya yang masih acak-acakan.
"Aku bisa memberitahu Ayah, kalau kau tak bisa bekerja hari ini," kata Rasaya.
Randi tersenyum kecil. "Lalu apa yang aku lakukan kalau tak bekerja? Aku seorang suami sekarang, aku harus menghidupimu, kan? Kau suka memiliki suami miskin?" tanya Randi.
Rasaya mengedikkan bahu. "Aku tak keberatan, asalkan aku terus bersamamu. Lagian aku sudah kaya. Aku tak butuh suami yang kaya lagi, Randi," kata Rasaya.
Randi menatap Rasaya dengan mata jernihnya yang dalam. Membuat Rasaya berpikir apa ia mengatakan hal yang salah. Perempuan itu tersenyum lega ketika melihat senyum Randi. Laki-laki itu menyentuh puncak kepala Rasaya dengan tangan besarnya. Lalu berjalan ke lemari untuk mengambil dasi. Tak membalas lagi perkataan Rasaya.
Rasaya mengikuti Randi dari belakang. "Apa aku salah bicara, Sayang?" tanya Rasaya.
Randi masih fokus ke cermin, memasang dasinya sendiri. "Tidak. Memangnya apa yang salah?" tanya Randi.
Rasaya memeluk laki-laki itu dari belakang. "Padahal aku ingin memasangkan dasimu. Tapi kenapa kau tak pernah mengajariku cara memasang dasi? Dasi yang aku buat selalu jelek dan akhirnya kau memasangnya lagi sendiri," kata Rasaya.
Dasi Randi sudah terpasang sempurna dan laki-laki itu berbalik menghadap Rasaya. "Aku menikah denganmu bukan untuk memintamu memasangkan dasiku. Kau tak perlu melakukannya," kata Randi.
Rasaya tersenyum dan menjauh ketika Randi ingin menciumnya. "Aku belum sikat gigi dan aku bahkan belum mencuci wajah. Aku tak mau kau pingsan karena menciumku," kata Rasaya.
Randi tertawa kecil. "Jangan berlebihan Rasaya. Aku tak akan pingsan hanya karena mencium istriku sendiri," katanya.
Tangan Rasaya menyilang di depan dadanya. "Tidak. Tidak." Rasaya mendorong Randi keluar dari kamar. "Kau turunlah dulu ke bawah dan aku akan mencuci wajah. Bibi Maria pasti sudah membuatkan sarapan untukmu. Aku akan menyusul," kata Rasaya lalu berlari ke kamar mandi.
Rasaya segera mengambil piyamanya yang tergeletak di lantai. Tersenyum kecil ketika mengingat bagaimana piyama itu terlepas dari tubuhnya tadi malam. Tentu saja karena tangan Randi yang melepasnya.
Perempuan itu menyikat giginya lalu mencuci wajahnya dengan cepat. Rasaya keluar dari kamar mandi dan merapikan rambutnya dengan jemarinya. Tak ingin lama-lama di kamar karena takut Randi pergi. Rasaya pun segera turun dan melihat Randi duduk di kursi makan. Ketika laki-laki itu akan menyendok nasi, Rasaya menahannya dan melakukannya untuk Randi.
"Aku tak bisa memasang dasimu, tapi setidaknya aku bisa mengambilkanmu makanan. Aku sedikit berguna sebagai istri, kan?" kata Rasaya dengan nada bercanda.
Randi hanya tersenyum kecil. "Kenapa kau tak sekalian bersiap-siap? Bukankah kau harus ke kantor barumu hari ini?"
"Hanya acara penyambutan, jadi aku tak perlu datang dari pagi," kata Rasaya sambil meminum s**u putihnya.
"Apa aku perlu datang nanti?" tanya Randi.
Rasaya tersenyum lebar. "Benarkah? Kau akan datang? Kalau kau datang, aku pasti akan senang sekali. Setidaknya aku tak begitu sedih karena Ayah tiba-tiba memindahkanku ke kantor cabang. Padahal aku ingin bekerja di sampingmu terus," kata Rasaya.
"Karena itulah ayahmu memindahmu, Rasaya. Karena kau berada di sampingku terus, kita tak bisa bekerja dengan baik. Kau lupa saat kita ketahuan berciuman di kantor saat rapat pemegang saham sebulan yang lalu? Keputusan tepat ayahmu memindahkanmu. Karena aku tak bisa fokus kalau ada kau di ruanganku," kata Randi.
"Itu karena kau berpikir kotor. Padahal aku bisa bekerja dengan profesional," kata Rasaya.
Randi meletakkan sendoknya. "Kau serius? Siapa wanita yang menggodaku di kantor? Melepas celana dalamnya dengan sengaja dan membuatku tak bisa fokus bekerja seharian?" Randi tersenyum miring pada Rasaya. "Sepertinya kau terlalu banyak menonton film dewasa, Sayang," kata Randi.
Rasaya menghabiskan susunya. "Kau benar. Aku memang menggodamu, Randi. Aku menggodamu agar kau tak sempat memikirkan hal lain selain aku, apalagi wanita lain. Aku berusaha agar kau tetap menginginkanku, kau tak paham?"
"Wanita lain darimana, Rasaya? Kau pernah melihatku bersama wanita lain?" tanya Randi.
Rasaya menggeleng. Jujur, Randi memang tak pernah dekat-dekat dengan wanita lain selama ini. "Sekarang memang tak ada. Tapi bisa saja ada wanita tak tahu malu yang mendekatimu di saat semua orang tahu kau sudah menikah. Pasti ada wanita seperti itu. Selalu ada wanita tak tahu diri seperti itu" Rasaya berkata sangat serius. "Dan saat itu terjadi, aku tak akan menahan diri lagi. Kau tahu aku bisa melakukan apapun untuk melindungi apa yang kumiliki kan, Randi?"
"Tentu saja. Kau sudah memperlihatkan padaku selama dua puluh tahun ini."
"Karena itu - jangan pernah berpikir untuk dekat-dekat dengan perempuan lain. Walaupun hanya meliriknya - apalagi memikirkannya. Kau tak boleh melakukannya."
Randi mendekati Rasaya dan memegang bahu perempuan itu. "Apa kau tak percaya padaku, Rasaya? Bagaimana bisa aku memikirkan perempuan lain di saat kepalaku sudah dipenuhi olehmu? Kau pikir aku akan memikirkan perempuan lain di saat aku sudah mencintaimu selama dua puluh tahun ini? Jangan berpikir yang macam-macam, Cantik," kata Randi sambil menyentuh kepala Rasaya.
"Aku mencintaimu, Randi. Benar-benar mencintaimu," kata Rasaya.
"Aku juga mencintaimu, Rasaya. Dan kita adalah suami istri, tak ada yang perlu kita takutkan lagi. Hanya kematian yang bisa memisahkan kita. Kau percaya padaku?"
Rasaya mengangguk pelan dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih. Terima kasih karena sudah mencintai perempuan sepertiku. Terima kasih karena kau tak pergi saat aku menyakitimu selama ini. Terima kasih karena sudah bertahan di rumah ini, Randi. Terima kasih," kata Rasaya sambil memeluk laki-laki itu.
Randi tertawa kecil, "Kenapa kau sangat cengeng hari ini? Aku hanya pergi untuk bekerja, oke? Kau berkata seperti aku akan meninggalkanmu selamanya," kata Randi.
Rasaya melepaskan pelukannya dan menghapus air matanya. Randi mengambil tasnya lalu berjalan keluar. Mobilnya sudah terparkir di luar rumah. Melihat Rasaya berdiri di pintu dengan wajah memerah karena habis menangis, Randi memeluk perempuan itu dan mencium keningnya.
"Aku akan datang ke kantormu nanti siang. Kita bisa makan siang bersama," kata Randi sambil melepas pelukannya pada Rasaya.
Rasaya mengangguk dan laki-laki itu pergi dari rumahnya. Rasaya masih berdiri di depan pintu - melihat mobil Randi keluar dari gerbang rumahnya. Sudah dua bulan pernikahannya dengan Randi. Dan Rasaya sangat bahagia. Mereka hidup dengan bahagia, tak ada masalah dalam pernikahan mereka, kecuali tentu saja masalah Rosalind yang belum menerima Randi.
Rosalind bukanlah masalah, Rasaya bisa setiap waktu menangani Rosalind. Meskipun neneknya itu tak berhenti menghina Randi dan meremehkannya, Rasaya bisa setiap waktu melindungi suaminya itu. Rasaya tak pernah menganggap neneknya sebagai masalah.
Rasaya yakin neneknya tak sanggup menghancurkan pernikahannya dengan Randi. Rasaya yakin pernikahannya dengan Randi akan terus seperti sekarang - damai, saling mencintai, dan bahagia.
Rasaya yakin semuanya akan berjalan seperti yang ia pikirkan. Tapi, seperti biasa, keyakinan manusia seperti seperti seutas tali yang rapuh. Kita tak akan tahu, kapan tali itu akan benar-benar putus dan membuat kita jatuh. Begitulah pernikahan Rasaya dan Randi.
Dan di hari inilah - semuanya bermulai. Saat dimana tali yang dulu kuat menyatukan mereka, perlahan-lahan rapuh - dan menjatuhkan mereka.