Mami Merry tiba di restoran tempat di mana Koh Ayung ingin bertemu, dengan ditemani Tante Banci dan dua bodyguardnya. Sesampainya di tempat pertemuan, terlihat begitu banyak petugas pengamanan di situ, seperti security-securitynya pabrik milik Koh Ayung. Ada sekitar lima orang petugas pengaman.
Koh Ayung dengan ditemani Beng-liem datang menyambut, lalu mempersilakan Mami Merry dan Tante Banci untuk segera duduk dan langsung memesan makanan. Mami Merry dengan sudut matanya masih sibuk mencari-cari keberadaan primadona barunya, Amira, tetapi tidak diketemukannya. Mami Merry menahan diri untuk tidak dulu bertanya tentang keberadaan Amira, dan memilih untuk makan bersama dahulu, terlebih makanan sudah disiapkan di meja hidangan.
Selesai menyantap hidangan, dilanjutkan dengan banyak pembicaraan basa-basi dan lebih banyak mendengarkan Koh Ayung bercerita. Ada saat di mana keberadaan Amira belum juga terlihat, Mami Merry memberanikan diri untuk bertanya.
"Amira di mana, Koh?" Mami Merry mulai mengajukan pertanyaan.
"Koh Ayung puaskan, dengan servis yang diberikan, Amira?" tanyanya lagi, sambil tersenyum lebar, hingga wajahnya semakin terlihat seram. Koh Ayung dan Beng-liem terdiam sesaat, lalu mereka mulai bercerita tentang apa yang terjadi dengan Amira.
Merah padam wajah Mami Merry mendengarnya. Amarah benar-benar terlihat pada raut mukanya, ladang duit sudah terlepas dari tangannya.
"Koh Ayung harus tanggung jawab atas peristiwa ini!" ancam Mami Merry.
"Maksud lu, tanggung jawab sepelti apa?" tanya Koh Ayung, sembari meminum es tehnya.
"Saya minta ganti rugi atas lepasnya Amira dari tangan Koh Ayung," ujar Mami Merry. Matanya menatap tajam ke arah Koh Ayung. Sementara Tante Yusnia hanya diam saja mendengarkan.
"Ohh....ga bisa, owe juga lugi besal ini," sanggahnya, menolak untuk membayar ganti rugi.
"Uang owe sudah kelual banyak buat bayal itu anak buah lu, justlu owe yang lugi, duit owe hilang ployek ga dapat. Malah owe hampil masuk penjala," jelasnya. "Anak buah lu itu ga bawa hokky, malah bikin sial owe!" Ayung memperkuat argumennya untuk tetap tidak ingin membayar tuntutan Mami Merry.
"Tetapi Amira bisa terlepas saat sama Koh Ayung!" sedikit berteriak Mami Merry.
"Jika tidak kami lepas, aku dan Ayung bisa masuk penjara, kamu juga bisa ikut dipenjara!" Beng-liem kali ini yang ikut berbicara untuk ikut menjelaskan.
"Jadi, Koh Ayung tetap tidak mau ganti rugi!" tegas Mami Merry.
"Tidak ya! Kalena owe juga lugi!" tegasnya lagi, tetap kekeh tidak ingin membayar sepeser pun.
"Koh Ayung jangan macam-macam dengan saya." ancam Mami Merry.
"Hehehe, lu ngancem? Owe ngga takut, ya." Mata Ayung mulai melihat satu-per-satu security-nya. Kode untuk bersiap-siap, karena melihat Mami Merry datang dengan dua bodyguard-nya.
Bodyguard Mami Merry mulai mendekati meja pertemuan, begitu pun dengan lima orang pengaman Koh Ayung, keadaan mulai mencekam. Tante Banci mulai terlihat ketakutan, lalu berdiri menghindar menjauh. Mami Merry sadar, situasi tidaklah menguntungkannya, apalagi posisi pabrik Koh Ayung tidaklah terlalu jauh dari tempat pertemuan ini, akan mudah bagi mereka untuk meminta bantuan.
Mami Merry memutuskan untuk pergi dari tempat pertemuan sambil terus mengomel-ngomel sepanjang jalan. Rasa jengkel, kesal dan amarah, benar-benar menguasainya. Ladang penghasil duit sudah terlepas dari tangannya.
"Eh, Banci, coba telepon itu Koh Ayung. Tanyakan, siapa nama orang yang membawa si Amira pergi." Perintah Mami Merry kepada Tante Yusnia, saat mereka sudah di dalam kendaraan.
"Baik, Mi," jawab Tante Banci, lalu mulai menelpon Koh Ayung.
"Sudah, Mi. Sudah dapat namanya dan nama perusahaannya," jawab Tante Banci.
"Catat namanya, anak yang tidak tahu di untung itu pasti ikut bersamanya." Masih terdengar jengkel suara Mami Merry.
"Baik, Mi." Tante Yusnia mulai mencatat apa yang dibilang Koh Ayung melalui gawainya.
Sesampainya di tempat penampungan miliknya, Mami Merry masih saja uring-uringan. Siapapun yang ada di dekatnya akan jadi sasaran kemarahannya. Emosinya masih meluap-luap. Tante Yusnia dan anak-anak asuhnya yang paham dengan watak Mami Merry memilih untuk menghindar dan menjauhi karena tidak ingin menjadi sasaran kemarahannya.
Siapa saja yang lewat ataupun terlihat oleh matanya, akan jadi sasaran kemarahan dan caci makinya. Di rumah penampungan ini, Mami Merry adalah ratu tertinggi. Tidak ada yang berani melawan ataupun membangkangnya.
Mami Merry memilih untuk pulang ke rumah pribadinya yang tidak terlalu jauh dari tempat penampungan sekaligus tempat penyekapan anak-anak didiknya.
Rumah Mami Merry terhitung lumayan besar dan mewah untuk ukuran sebuah rumah di perkampungan padat penduduk. Dia hidup seorang diri di rumah ini, tanpa keluarga dan sanak saudara.
Suaminya pergi meninggalkannya tanpa kepastian, tiada kata-kata talak. Tanpa ada surat cerai, ditinggalkan begitu saja.
Suaminya tergoda perempuan yang berprofesi seperti anak buahnya mami, kabur dengan membawa harta simpanan Mami Merry.
Rumah dengan beberapa perabotan mewah di ruang tamu. Juga banyak terdapat ukiran antik terbuat dari kayu. Sofa lembut berwarna merah maroon terlihat kontras berpadu dengan lantai marmer berukuran besar-besar. Bufet besar terbuat dari kayu jati langsung terlihat dari pintu masuk rumah. Warna putih mendominasi hampir seluruh ruangan.
Rumah bertingkat seukuran 7 X 11 ini terlihat berkelas, walaupun terkesan angker dan menyeramkan, karena tidak pernah dipakai untuk kegiatan beribadah di dalamnya.
Dengan rasa kesal, Mami Merry langsung masuk menuju kamar pribadinya, membuka bufet kecil yang menyatu dengan cermin besar, dan langsung mengambil sebotol minuman beralkohol merk luar.
Mami Merry memang sudah kecanduan alkohol, kamar tidurnya penuh dengan botol-botol bekas minuman yang terjajar rapih. Minuman berkelas seharga ratusan ribu bahkan jutaan.
Kembali keruangan tengah, dan sofa merah maroon itu adalah tempat favoritnya tuk menikmati minuman keras tersebut.
Dinikmati sekali tegukan demi tegukan air haram tersebut, asap rokok sudah memenuhi seisi ruangan. Halusinasi mulai datang menyergap. Berjalan gontai dia mendekati bufet besar, hendak mengambil biscuit kaleng yang disimpannya di dalam bufet tersebut.
Matanya terpaku pada sebuah fhoto lama yang terjatuh saat dia hendak mengambil kaleng makanan tersebut. Diambilnya photo itu, dipandanginya terus sembari berjalan kembali ke arah sofa. Terus saja dipandangi photo masa kecilnya, meremang matanya berkaca-kaca, mulai menggenangi lalu tumpah perlahan.
"Dasar gendut jelek! Kau lebih pantas jadi Babi Ngepet!"
"Karung beras!"
"Sudah jelek, hidup lagi."
Terngiang-ngiang di telinganya, ejekan yang setiap hari diterimanya di masa kecilnya, baik di lingkungan rumah maupun di sekolah.
"Anak sialan! Hidup Lo hanya bikin gue susah saja!"
"Ini gara-gara bapak lu, hidup gue jadi sulit begini, pake ngurusin lu lagi!" Sembari tangannya menjambak rambut Merry.
"Kalau bukan anak orang! Sudah gue bikin mati lu!" dengan gagang sapu masih di tangannya, dan Merry kecil menangis di lantai semen sembari merasakan sakit.
Kata-kata, pukulan, dan caci-maki ibu tirinya seperti terdengar jelas kembali, bahkan dengan gambaran peristiwanya.
"Merry! Pijatin badan, Om!" Tangannya bergerilya dan menjamah kasar tubuh Merry kecil.
"Jangan, Om! Jangan!" Om berbadan bau busuk itu terus saja memaksa mendekapnya.
"Ini uang lima ribu buatmu." Lantas menarik kasar, dan mulai melakukan tindakan keji.
Perlakuan, Om Hans. Pasangan kumpul kebo mamah tirinya juga seperti terdengar dan tergambar jelas. Terus saja merekam gambar masa lalunya silih berganti, seperti menampilkan kilas balik kehidupan kelamnya.
"Tidakkk....!"
"Pergi kalian! Manusia-manusia jahat!"
Mami Merry berdiri, lantas berteriak kencang. Dibantingnya botol bekas minuman ke lantai rumahnya. Pecahan beling berhamburan di mana-mana. Belum puas juga dia, lantas gelas minuman pun dilemparkan ke tembok rumahnya hingga hancur berantakan.
Kejadian kelam masa kecilnya terekam dan tergambar sangat jelas di hadapannya. Peristiwa penghinaan, kekerasan, pelecehan se*sual, seperti cuplikan-cuplikan film yang terus berputar.
Kesadisan, kekejaman, dan kejahatannya terbentuk dari perlakuan tidak manusiawi yang menimpanya di masa lalu.
Dia hidup dalam penderitaan dan rasa sakit yang terus menderanya.
Hinaan dan cacian yang terlontar secara menyakitkan, membentuk dirinya untuk tidak lagi bersikap perduli dengan lingkungan sosial.
Depresi Mami Merry.
Jiwanya sakit, karena masa kecil yang suram dan menyedihkan.