Hari Kebebasan

1043 Words
AMIRA Haidku jalan kematianku Part 8 Darmawan berdiri dari kursinya, mendekati Amira yang terisak dan terduduk lemas. Masih tidak percaya ia dengan apa yang terjadi. Mungkin baru dirinya yang bisa terbebas dari penguasaan Mami Merry. sebuah keajaiban yang tak termungkinkan sebelumnya, tetapi ternyata bisa terbukti, dan dia meyakini ada campur tangan dari apa yang dipanggil, Tuhan. Entah bagaimana caranya berterima kasih, Amira tidaklah mengerti. Berjongkok Darmawan, dengan sebelah kaki menempel di lantai. Diusapnya lembut rambut gadis belia itu, merunduk Amira, kedua telapak tangannya menutupi wajah.Tubuh mungilnya masih sedikit terguncang, dan suara isakannya terdengar lirih, terharu Darmawan dan Dimas melihatnya. Amira perlahan mengangkat wajahnya yang basah dengan air mata. Menatap dalam paras Darmawan si dewa penyelamatnya. sesekali jemari tangan mengusap linangan bening tersebut, terlihat sembab dan memerah netranya. "Terima kasih ya, Om ... terima kasih." Amira mencium tangan Darmawan, layaknya penghormatan kepada seseorang yang di tuakan dan dihargai. Darmawan tersenyum dan menatap Amira dalam, diusapnya pelan air mata yang membasahi pipi ranum itu. "Sama-sama, Amira. Kamu pantas mendapatkan kehidupan yang lebih baik, karena masa depanmu masih sangat panjang," ucap Darmawan, sambil membantu Amira untuk berdiri. Dimas pun ikut mendekati gadis polos itu, Amira mencium tangannya sembari mengucapkan terima kasih. "Setelah ini, Kamu mau kemana, Amira?" pertanyaan Darmawan, sontak menyadarkannya. Dia tidak punya siapa pun di dunia ini, tidak punya saudara maupun kerabat, hanya Tante Banci dan Mami Merry yang dikenalnya, serta kawan-kawan senasib di penampungan. Orang tua? Entah dimana mereka, masih ada atau sudah tiada, semuanya masih misteri. "Saya tidak tahu, Om," jawab Amira, mulai di landa kebingungan. Darmawan pun tidak melanjutkan pertanyaan, karena gadis itu pernah bercerita jika sudah dirawat Mami Merry sejak dari balita. "Kamu tidak ingin tahu keberadaan orang tua mu, Ra?" Dimas sekarang yang bertanya. "Bagaimana caranya, Mas," jawabnya, rasa kekhawatiran mulai menyesap ke dalam dirinya. Dimas terdiam, sedikit banyak dia cukup tahu tentang Amira dari cerita Darmawan. "Om." Panggil Amira, kepada Darmawan. "Saya harus bagaimana, Om?" tanyanya, dia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi. "Kamu sudah bebas, Amira. Sekarang kamu bisa kemana saja yang kamu mau," jelas Darmawan, matanya dalam menatap Amira. "Tapi kemana, Om?" Amira benar-benar dilanda kebingungan. Darmawan dan Dimas saling menoleh, seperti mempersilahkan untuk memberi solusi kepada permasalahan gadis itu. Tetapi akhirnya mereka hanya diam saja. "Jika saya ikut dengan, Om, boleh, 'kan?" tanya Amira, penuh pengharapan. "Ikut Saya," jawab Darmawan, seperti berpura-pura terkejut. Sesungguhnya Darmawan sudah tahu dan sudah memperkirakan hal ini akan terjadi, dari sejak pertama memutuskan untuk membantu Amira. Akan kemana nanti gadis ini bertempat tinggal, karena tidak mungkin baginya membiarkan Amira terlantar di jalan. Semua sudah dibicarakan dengan Dimas semalam. Sepertinya memang mereka sengaja ingin menggoda. "Saya akan lakukan apapun jika diperbolehkan ikut dengan,Om," tegas Amira, tatapan matanya memohon. "Apapun?" tanya, Darmawan. "Benar kamu mau melakukan apapun untuk saya?" Amira mengangguk, memastikan kesediaannya. Wajahnya memperlihatkan kesungguhan. "Termasuk jika berlaku seperti kawan-kawanmu, dalam memperlakukan tamunya?" tanyanya lagi, sembari tersenyum menggoda. Matanya melirik ke arah Dimas, yang juga sedang tersenyum geli ke arahnya. Ya ... mereka berniat hanya ingin menggoda, tetapi jawaban Amira nantinya, jujur saja membuat mereka penasaran ingin mendengarnya. Memerah wajah Amira, terlihat rikuh dia, tidak pernah berpikir jika Darmawan memintanya seperti itu, dia benar-benar tidak tahu jika sedang "di kerjai" Darmawan dan Dimas. "Dosa itu apa, Om?" tanya Amira. Sontak membuat Darmawan dan Dimas terkejut mendengarnya. "Apa benar, Om. Jika perbuatan yang dilakukan teman-teman saya, adalah perbuatan dosa?" tanyanya lagi, dengan kepolosan dan ketidak-tahuannya. Darmawan tahu, tidak ada kepura-puraan di dalam pertanyaan gadis itu, semua terlontar karena ketidak-pahamaannya. "Menurutmu dosa itu apa, Amira?" Darmawan balik bertanya. "Saya tidak tahu, Om." jawabnya. "Hanya saya tidak ingin melakukan seperti apa yang Asmah dan teman-teman lakukan. Hati saya menolaknya, Apa itu yang di namakan dosa, Om? Melakukan sesuatu perbuatan yang hati kecil kita tidak mengijinkan." Lugas Amira menjelaskan tentang perasaannya, dan benar-benar mampu membuat Darmawan dan Dimas tertegun mendengarnya. "Anak ini cerdas dan polos sekali," puji Darmawan dalam hatinya. "Dia memang pantas mendapatkan hidup yang lebih baik lagi," ucap bathinnya lagi. "Tetapi bagaimana dengan nasib teman-teman yang melakukan karena faktor keadaan, takut disiksa dan dibunuh Mami Merry, apakah tetap dianggap dosa, Om?" Cecarnya kepada Darmawan. Pria itu tersenyum, diam sejenak, seperti sedang berpikir untuk menjawab pertanyaan Amira. "Amira ... tidak semua pertanyaan ada jawabannya, ada batas ketidak-mampuan manusia untuk itu. Jangan dipaksakan memberikan jawaban jika tidak yakin memang benar itu adalah jawabannya," jelas Darmawan, dan Amira mengangguk mengerti. Darmawan mengajak Amira dan Dimas untuk duduk kembali di bangku teras rumah, sekaligus menikmati makanan yang sudah Bapak penjaga villa sediakan. Sekalian meminta dibuatkan kopi saja buat Dimas, yang mengaku sudah sarapan dari rumahnya sebelum berangkat ke sini. "Amira, jika aku menolak mengajakmu karena kamu menolak keinginanku, bagaimana?" tanya Darmawan, masih penasaran ia ingin mendengar jawaban gadis itu. Terdiam Amira, kembali bingung mencari jawaban. "Om...."Jika takdir mampu membuat saya terlepas dari Mami Merry lewat orang sebaik, Om. Maka saya masih percaya, akan menemukan kembali orang-orang baik di luaran sana. Sekali lagi, saya benar-benar tidak mampu melakukannya, Om. Saya tidak bisa," ucapnya, sambil menunduk'kan wajah. Darmawan dan Dimas kembali berpandang-pandangan, ada senyum kecil di bibir mereka berdua. Dimas si Pengacara muda yang masih melajang bahkan mengakui di dalam hatinya jika gadis cantik belia yang akan beranjak dewasa ini memang berbeda, benar-benar berbeda, gadis cerdas yang kukuh pada pendiriannya. "Siap-siaplah, Amira. Kita akan pulang sebentar lagi, dan kamu akan segera bertemu dengan penghuni rumah saya, semoga kamu betah nanti di sana," ucap Darmawan sambil berdiri lalu berjalan ke dalam rumah, diikuti oleh Dimas. "Aku akan memulai kehidupan baru di lingkungan yang baru, dan aku sudah siap untuk itu. Mudahkan jalanku Tuhan. Aku ingin sekali mengenal-Mu," ujar Amira penuh dengan pengharapan. *** Sebuah pesan masuk ke gawai Mami Merry. Dibuka dan dibacanya pesan dari koh Ayung, pemenang tender atas keperawanan Amira. Koh Ayung mengajak bertemu di sebuah rumah makan yang tidak jauh dari pabrik miliknya, siang ini juga. Karena ada hal penting yang ingin dibicarakan, dan Mami Merry bersedia menemui pelanggan setianya. "Mungkin Koh Ayung akan memperpanjang masa sewa, Amira. Karena puas dengan pelayanan yang Amira berikan." Mami Merry tersenyum dan tertawa bahagia. "Si banci memang paling bisa diandalkan dalam mendidik anak-anak." Tersenyum sendiri Mami Merry. "Kau memang calon primadona baru, Amira. Ladang duit dan tambang emas baru buatku," ucapnya terkekeh lalu bergegas pergi untuk menemui Koh Ayung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD