Part 4
Amira kembali memandangi cermin, gambar diri sebenarnya, tanpa warna-warni kepalsuan yang menempel pada kulit wajah.
Tidak merubah bentuk, hanya merubah tampilan wajah. Cantik memang, bukan bermaksud memuji dirinya sendiri, tapi bagi Amira belumlah saatnya. Kehidupan Amira sudah dikelilingi manusia-manusia yang memakai topeng berpura-pura bahagia. Tersenyum manja, bercanda, dan tertawa, lalu menggoda setiap pria yang bahkan belum pernah dilihat dan dikenal sama sekali.
Yah...." Amira benar-benar tahu, jika mereka bertopeng kecantikan luar hanya untuk menutupi derita dan kesedihan terdalam.
Tidak terlihat memang, tetapi luka hati rasa sakitnya sulit untuk bisa tersembuhkan.
Amira sering melihat kawan-kawan senasibnya menangis.
Bersedih karena terlahir tanpa pernah mengenal sosok orang tua.
Merindukan mereka yang tidak pernah dilihat, terkadang berkhayal.
Seperti apa kelembutan dan kehangatan belaian seorang Ibu.
Pelukan perlindungan dan kasih sayang seorang Ayah.
Mereka hanya ingin merasakan sekali saja di dalam kehidupan, rasa pernah dicintai, oleh mereka yang membuat mereka ada di dunia ini. Tetapi sepertinya tidaklah mungkin.
Mengapa hidup begitu jahat terhadap mereka semua? Sebuah pertanyaan yang paling sering terlontarkan oleh Asmah dan kawan-kawan senasib yang lain. Terpaksa mengorbankan kehormatan dan harga diri terkoyak, hanya agar terus bisa bernafas. Takdir tidak memberikan pilihan lain terhadap anak-anak di dalam tempat penyekapan tersebut.
"Semoga saja, takdir membuka peluang kehidupanku di jalan yang lain, apa saja, asal bukan sebagai pelaku prostitusi," harap Amira, sesaat tersadar dari lamunannya. Mengerjap sesaat, dan kembali membasuh wajahnya.
"Aku suka wajahku seperti ini," ungkap batinnya. Sembari mematut-matut diri di depan cermin.
"Apa benar aku cerdas?" terngiang pujian Om Darmawan terhadapnya barusan. Sejauh ini, pria paruh baya itu masih bersikap baik, dan memperlakukan Amira dengan sopan. Berharap perkiraan nalurinya tidaklah salah terhadap Darmawan.
Tok--tok--tok ... "Miraa! Amira! Buka pintunya sebentar." Suara ketukan pintu dan panggilan dari Darmawan, mengagetkan Amira, membuat gadis belia tersebut sedikit ketakutan.
" I--iya, Om! Sebentar!" jawab Amira, perlahan mulai mendekati. Rasa takut semakin menyergap. Berhenti tertegun di balik pintu.
"Ada perlu apa, Om?" tanya Amira, dari sisi pintu sebaliknya, memastikan.
"Buka saja, sebentar." Kembali Darmawan mulai mengetuk- ngetuk pintu. walau terdengar pelan.
"Kamu tidak apa-apa, Mir?" tanyanya kembali. suara Darmawan terdengar seperti khawatir, ingin memastikan kedaan Amira.
"Saya baik-baik saja, Om." Jemari tangannya menggenggam pegangan pintu, gemetaran tubuh Amira.
"Buka, sebentar!" seru Darmawan kembali.
Dengan penuh keraguan Amira membuka pintu perlahan. Tidak berani menatap wajah Darmawan, tertunduk dalam. Badannya masih terasa gemetar. Pasrah saja dengan apapun yang terjadi, hanya bisa lakukan itu, menyerah pada keadaan.
Darmawan menyodorkan padanya, sebuah pakaian tebal yang terlipat rapih.
"Ganti pakaianmu, bisa sakit jika masih memakai pakaian seperti itu," ucapnya. "Ambillah!" sedikit menekan.
Amira mengangkat wajah perlahan, menatap Darmawan, sembari menerima pakaian yang disodorkan kepadanya. Darmawan sedikit terperangah, saat melihat Amira.
"Tanpa make-up begini, wajahmu terlihat lebih cantik dan segar," ujarnya.
"Terima kasih, Om," jawab Amira, terasa panas paras wajahnya, mendengar pujian dari Darmawan. Mengangguk pelan, pertanda meminta ijin untuk menutup pintu kembali.
"Kutunggu di ruang tamu." Berbalik badan Darmawan, meninggalkan Amira.
"Baik, Om." Terus saja berjalan tanpa menoleh. Amira kembali menutup pintu, dan mulai berganti baju.
Darmawan masih duduk di kursi semula, saat Amira kembali ke ruang tamu dengan pakaian serupa sweater yang tadi diberikan olehnya.
Tubuhnya bersender santai pada punggung kursi dan tangan menempel pada gagangnya. Disilangkan kakinya di atas kaki yang lain sembari mengisap rokoknya perlahan. Terlihat gagah sekali, pembawaannya tenang. Pria paruh baya dengan paras wajah masih terlihat tampan rupawan. Menoleh sesaat setelah Amira melewatinya, dan duduk kembali di bangku tepat di hadapannya.
Terlihat dalam tatapan Darmawan, membuat Amira menjadi grogi dan gelisah. Gadis belia itu memainkan jari jemarinya, itu adalah jalan keluar mencoba menetralisir kegugupan. Darmawan terdiam, masih menikmati rokoknya, sembari terus saja memperhatikan. Seperti sedang menaksir-naksir harga sebuah barang yang terpajang. Sesaat tersadar, lelaki dewasa yang tahu tentang keberadaan Amira di sini pasti menganggap seperti itu.
Amira hanyalah seperti barang pajangan di sebuah etalase toko.
Darmawan kembali mengambil map di atas meja, dan mulai terlihat serius memperhatikan lembar demi lembar halaman. Sesekali terlihat mengangguk, terkedang menggeleng. Entah apa maksudnya, lalu kembali meletakkan map tersebut.
"Itu map apa, Om?" memberanikan diri amira bertanya kepadanya. Menoleh sesaat, senyum tipis menghiasi wajahnya.
"Proposal pengajuan kerja sama," jawabnya, lalu mengambil cangkir teh dan meminumnya perlahan.
"Proposal itu apa, Om?" tanya Amira lagi. Tertawa Darmawan, dengan lesung pipi terlihat di sebelah kanannya.
"Kapan-kapan saja nanti jawabannya." Semakin tergelak ia.
"Mereka bilang apa, saat menyuruhmu menemui aku?" terdiam Amira, berpikir sesaat, untuk mengingat-ingat.
"Memberikan servis yang baik, dan jangan mengecewakan, Om," jawab Amira, apa adanya.
Kembali Darmawan tertawa, jauh lebih keras, bahkan sampai terbatuk.
"Polos sekali kamu, Amira." Sambil berdiri, dan kembali masuk ruangan dalam. Lalu kembali dengan membawa beberapa map di tangan, dan diletakkan di atas map proposal yang Amira bawa.
"Semua proposal ini, sama seperti yang kau bawa, Amira. Menawarkan kerjasama dengan perusahaan tempatku bekerja," ujarnya, lalu mengambil salah satu map, seperti ingin menjelaskan sesuatu kepadaku.
"Map yang ini, baru sampai sore tadi. Perempuan juga sepertimu, lebih profesional sepertinya, karena jelas-jelasan lebih berani menggoda, bahkan sampai membuka bajunya, gilaa!" Sambil membanting map tersebut di meja. "Kuusir dia mentah-mentah tanpa banyak bicara!" Sedikit keras nada bicaranya.
"Tapi entah kenapa, hal yang sama tidak bisa kulakukan terhadapmu," ucapnya pelan, sangat pelan, bahkan hampir saja tidak terdengar.
Terdiam mendengar ucapannya, tetapi Amira merasa yakin, walaupun diucapkannya pelan, Darmawan juga menginginkan Amira ikut mendengarkan ucapannya.
"Apa yang harus aku lakukan terhadapmu, Amira?" tanya Darmawan. Amira bingung harus menjawab seperti apa, sesungguhnya tidak pernah Amira berbicara dengan lawan jenis selama dan sebanyak ini, dengan Tante Banci pun dulu hanya sering mendengarkannya bercerita tanpa banyak bertanya. Takut-takut, Amira mengucapkan kembali sebuah permohonan terhadapnya.
"Tolong saya, Om. Saya tidak ingin melakukan pekerjaan seperti ini," lirihnya, meminta pengharapan terhadap pria paruh baya tersebut. Terdiam Darmawan sejenak, matanya tetap menatap tajam, lalu mengambil bungkus rokok dan pemantik yang tergeletak di atas meja. Mengambil sebatang, mengisapnya, dan mengembuskan asapnya perlahan. Pria paruh baya itu masih tetap terdiam, seperti sedang berpikir, menimbang-nimbang segala hal yang bisa terjadi jika dia ingin menolong atau mungkin sedang mencari jalan keluar tentang permasalahan Amira. Ahh ... mungkin hanya perkiraan Amira saja. bisa saja Darmawan memikirkan hal lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan Amira. Terlintas itu dalam benak Amira.
"Apa yang kudapatkan, jika aku menolongmu, Amira?" tanya Darmawan pelan, tetapi membuat Amira kaget dan tergagap, entah dia harus menjawab apa atas pertanyaan Darmawan tersebut, karena tidak ada apa pun yang bisa Amira berikan untuknya. Apa uang dua ratus ribu rupiah yang Asmah berikan untuk Amira cukup untuk membayar Darmawan.
"Saya hanya punya uang dua ratus ribu, Om," jawab Amira, atas pertanyaan Darmawan. Terkaget sebentar dia mendengar jawaban Amira, sesaat kemudian tertawa terbahak-bahak, keras sekali suaranya, hingga membuat wajahnya terlihat memerah. Lampu ruangan tamu yang terang, cukup bisa menampilkan tampakan parasnya.
"Kamu terlalu lugu dan polos, Amira," ujar Darmawan, entah itu pujian atau ingin menjelaskan tentang kebodohan Amira.
"Tolong saya, Om Darmawan. Saat ini, hanya Om yang bisa membantu saya." Genangan air mulai membasahi kedua mata Amira. Gadis lugu itu benar-benar berharap, semoga hati Darmawan terbuka.
Darmawan kembali menatap Amira dalam, mematikan rokoknya pada asbak di atas meja. air mata Amira mulai menetes perlahan membasahi kedua pipi. Darmawan lantas memalingkan wajahnya dari Amira, sembari menarik napas dalam.
"Jangan menangis, Amira. Aku tidak tega, melihat anak kecil menangis," sindir Darmawan, atau memang itu tulus dari hatinya, entahlah.
"Tuhan, jika kata Tante Banci, Engkau memang benar-benar ada, bantu aku untuk melembutkan hati Om Darmawan," ucap lirih Amira di dalam hatinya.