Trauma Yang Dialami Amira

1012 Words
AMIRA HAIDKU JALAN KEMATIANKU Part 5 Amira benar-benar berharap, Darmawan bisa menolongnya keluar dari jeratan perangkap Mami Merry. Dia tidak bisa membayangkan harus hidup seperti yang dijalani Asmah dan kawan-kawannya yang lain, benar-benar tidak ingin seperti mereka. Dibalik kesenangan berupa kemudahan dalam mendapatkan atau membeli sesuatu berupa materi, ada ketidakbahagian, kesedihan, dan penderitaan yang terpendam di dalam hati Asmah dan yang lainnya. Asmah memang kadang bercerita, sekaligus menunjukkan barang-barang dan perhiasan mewah yang diberikan oleh pemakai jasanya, tetapi terkadang dia pun pulang dalam keadaan tubuh penuh luka lebam. Penyiksaan dan perlakuan kasar yang didapatkan setelah melayani pelanggannya yang menderita gangguan seksual. Bukan hanya Asmah saja yang pernah mengalami kejadian buruk seperti itu, hampir semua pernah mengalaminya. Ketakutan, trauma, rasa sakit, harus mereka alami akibat dari kekerasan dan perlakuan yang tidak manusiawi yang mereka dapatkan. Mungkin hidup mereka bergerak lebih cepat. Kesenangan, kesedihan, berputar dan berganti dalam sekejap mata bahkan mungkin dalam waktu yang bersamaan. Apakah hal itu mengganggu buat Mami Merry? Tidak sama sekali. Semua anak asuhnya dianggap barang dagangan baginya, bebas diperlakukan apa saja oleh pembelinya, asalkan ada keuntungan di dalam transaksi tersebut. Monster Raksasa itu sudah tidak lagi punya hati nurani. Bisnis kotor yang dijalaninya, uang hasil transaksi haram yang dimakannya, membuat hatinya menghitam legam, tidak mampu lagi tertembus cahaya, baik berupa rasa iba, kasihan ataupun khawatir atas nasib anak buahnya, semua sudah tidak mempan baginya. "Amira." Sebuah teguran dari Darmawan menyadarkan dia dari keterlamunan. "Saya, Om," jawabnya, sembari jemari tangan merapikan helaian rambut yang berjuntai di kening, berlanjut dengan mengusap air yang mengalir dari mata, sehingga membuat pipi ranumnya menjadi basah. "Mari ikut aku," ajaknya, sambil berdiri melangkah ke luar rumah, diikuti Amira di belakangnya, berjalan ke arah samping villa tersebut. Melewati kolam renang lalu berjalan ke arah taman yang berbentuk seperti bukit kecil agak sedikit naik menanjak, dengan jalan setapak selebar setengah meter, berkerikil-krikil kecil dan lampu-lampu taman berbentuk bulat di kiri dan kanan jalan tersebut. Terdapat enam buah lampu dengan cahaya redup yang terlihat berjejer rapih saling berhadap-hadapan. Sesampainya di atas bukit kecil, terdapat sebuah bangku setinggi lutut dengan panjang sekitar dua langkah, terbuat dari kayu berpelitur, membuat gundukan tanah seluas hampir separuh lapangan bulu tangkis, yang di selimuti rumput-rumput hijau terlihat indah menawan, sebuah pohon berukuran sedang namun berdaun rindang persis berada di samping bangku kayu tersebut. "Duduk Amira." lebih terdengar seperti perintah daripada sebuah ajakan. Amira pun duduk di samping Darmawan dan mulai memperhatikan pandangan ke arah depan. Terpana dan terlihat takjub dirinya melihat pemandangan mempesonakan seperti sekarang ini. Dari tempat duduknya sekarang ini, terlihat jelas lampu-lampu jalan dan rumah-rumah penduduk di bawah lembah sana, dengan embusan angin khas pegunungan. Dalam hati, Amira bersyukur bisa menyaksikan pemandangan seindah ini. "Ceritakan padaku Amira, apa yang ingin kau lakukan jika bisa terbebas dari pengasuhmu itu?" tanya Darmawan memulai percakapan, tanpa menoleh ke arah Amira, tatapannya lurus menatap pegunungan gelap di depannya. Amira terdiam, kedua tangan mendekap tubuhnya erat, menoleh dan memandang sesaat ke arah Darmawan, yang masih menatap lurus, asik dengan imajinasinya sendiri atau mungkin sedang berpikir, langkah-langkah apa yang ingin dia ambil. "Saya ingin bersekolah, Om," ucap Amira, menjawab pertanyaan Darmawan. Sambil kedua telapak tangannya ditepuk-tepukkan di kedua pipinya, bermaksud menghilangkan rasa dingin di wajahnya, membuat Darmawan yang melihatnya tersenyum-senyum sendiri. "Lugu dan polos sekali gadis kecil ini," bathinnya. "Saya tidak ingin menjadi orang bodoh, tidak ingin menjadi wanita penghibur. Saya takut menjadi korban penyiksaan Om, seperti yang dialami kawan-kawan saya di penampungan." Air mata mulai menggenang di sudut netranya. Lantas kembali mengalihkan pandangan ke bawah lembah. "Penyiksaan? Maksudnya?" Darmawan berdiri, berjalan dua langkah mendekati ujung bukit, sembari menyalakan rokoknya, mengisapnya perlahan, wajahnya lurus ke arah pegunungan, lalu berbalik badan, menghadap ke arah Amira. "Banyak kawan saya menjadi korban kekerasan tamu-tamunya, Om. Terkadang juga dilakukan Mami Merry dan tukang-tukang pukulnya," jelas Amira, sembari menggesek-gesekkan kedua telapak tangannya, hawa dingin mulai kembali menyergap. "Saya ingat betul, saat saya baru berusia sembilan tahun." Amira terdiam sesaat, mencoba mengingat-ingat peristiwanya, menarik napas panjang, lalu melanjutkan bercerita. "Saat itu, ada yang mencoba kabur dari penampungan setelah mendapatkan haidnya yang pertama, Nurul namanya. Tertangkap oleh tukang pukulnya Mami Merri di ujung jalan keluar lokasi prostitusi, lantas diseret menghadap Mami, dan...." Amira mulai menangis terisak, kedua telapak tangannya menutupi wajah, mengenang sebuah peristiwa yang membuatnya trauma. "Dan ... dan, dia disiksa di hadapan kami semua! Di hadapan anak-anak kecil seusia kami, sampai meregang nyawa. Sampai mati,Om! Sampai mati!" Amira bercerita sampai berteriak, ketakutan yang terpendam ingin segera dia hempaskan, menangis kencang ia mencoba untuk melepaskan segala penderitaan. Sampai terguncang tubuhnya, terasa berat sekali trauma ketakutan yang dia rasakan. Darmawan berjalan mendekat, kembali duduk di sebelah Amira. Kegugupan dan seperti serba salah menghinggapinya. Apa yang harus dia lakukan melihat kondisi Amira yang seperti ini. Dirangkulnya tubuh kecil itu, lantas didekapkan ke arah dadanya, sebuah rasa ingin melindungi mulai menyelimuti hati Darmawan. Amira menangis terisak di tubuh tegap itu, tanpa sadar sebelah tangannya memeluk tubuh lelaki tersebut. Amira, wanita usia belia, bertubuh mungil, yang belum pernah merasakan perlindungan dan kasih sayang seorang pria dewasa. Tidak pernah mengenal sosok ayah, tidak tahu rasanya punya kakak laki-laki, di dalam pelukan Darmawan, Amira merasakan itu semua. Dia merasakan kedamaian yang tidak pernah didapatkan. Tumpah semua air matanya membasahi tubuh pria dewasa yang diam-diam mencium rambut gadis muda belia, dialihkan tatapannya ke langit malam, terlihat rembulan separuh tersembunyi malu, gemerlap bintang selaksa kunang-kunang memendar cahaya berkilau redup terang, bergumam perlahan Darmawan dalam sedu sedan gadis belia dan dinginnya udara pegunungan. "Aku akan melindungimu, Amira. Aku akan melindungimu. Kamu pantas mendapatkan kehidupan yang lebih baik," janji Darmawan, tidak ingin terdengar oleh gadis kecil itu. perlahan, Darmawan tidak mendengar lagi suara tangisan Amira, ditengadahkannya perlahan wajah cantik itu dekat ke wajahnya, dan gadis muda lugu itu ternyata tertidur di dalam pelukannya. Terlihat lelah sekali paras wajahnya. Didekapkan kembali kepala Amira ketubuhnya, dipeluknya dengan lebih erat, sangat erat. Pandangan matanya kembali menghadap langit, mencari-cari satu bintang yang paling terang di atas sana, berniat ingin menitipkan pesan kepada bidadari pujaan. "Apa yang harus aku lakukan terhadap gadis kecil ini, Khalila?" berharap langit membuka jalan lalu menyampaikan pesan kepada bintang yang paling terang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD