TIDAK JADI PINDAH
__________
Cahaya terbangun ketika mendengar seseorang menyibak tirai, Cahaya membuka pejaman matanya dan melihat suaminya tengah menyibak tirai dan masih mengenakan baju handuk berwarna coklat, tampan sekali lelakinya itu. Meski Cahaya belum bisa memberikan anak, namun Erlando sangat menyayanginya melebihi apa pun. Bagi Erlando tak ada yang lebih penting selain bersama dan bahagia.
Erlando menoleh dan menatap istrinya.
"Sayang, kamu sudah bangun? Apa aku ganggu?"
Cahaya menggelengkan kepala. "Jam berapa sekarang?"
"Hampir jam 11," jawab Erlando duduk ditepian ranjang dan mengecup puncak kepala istrinya. "Pagi jelang siang, Sayang."
"Jam berapa penerbangan kita ke Indonesia?"
"Sore."
"Sayang, aku nggak jadi kembali ke Indonesia," jawab Cahaya.
Erlando menautkan alis dan berkata, "Lalu bagaimana dengan jadwal untuk program bayi tabung kita?"
"Kita bisa melakukannya di sini bukan? Aku tahu seberapa penting pekerjaanmu di sini, aku nggak mau membuatmu kehilangan kesempatan untuk memajukan perusahaanmu di sini. Sebagai istri ... harusnya aku mendukungmu, bukan malah merengek meminta pulang."
"Aku juga harus mendukungmu, bagiku ... kebahagiaanmu lah yang terpenting dari segalanya."
"Kita serahkan semuanya kepada Allah. Aku akan lebih senang jika kita melakukan program itu di sini. Kasihan Gaston jika harus mengerjakan semuanya tanpamu," kata Cahaya mendekatkan diri ke suaminya.
Erlando melebarkan tangannya menyambut istrinya masuk kepelukannya, sedangkan Damian sudah memesan tiket, namun Cahaya berubah pikiran, Cahaya tak mau egois apalagi hanya memikirkan tentang bagaimana ia bisa memiliki anak dan mengabaikan perasaan suaminya.
Manusiawi ketika bertemu klien selalu saja ada yang dibahas tentang anak dan keluarga, jadi Cahaya merasa belum beruntung.
"Sayang, aku sudah katakan kepadamu, bahwa apa pun yang kamu lakukan itu penting untukku, kamu ingin kemana dan mau apa aku akan menuruti semuanya. Jika dengan kembali ke Indonesia membuatmu tenang, aku akan membawamu kembali dan aku bisa melanjutkan pekerjaanku di sana," kata Erlando membelai rambut istrinya dan mengecup kepalanya beberapa kali.
Cahaya hanya mengenakan selimut, membuat Erlando melihat belahan d**a istrinya.
"Aish."
Cahaya mendongak dan menatap suaminya. "Kamu mengumpat, Mas?"
"Aku—"
"Aku jelas mendengar kamu mengatakan aishhh."
"Kamu menggodaku di siang hari," kekeh Erlando menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Maksudnya gimana?"
"Belahan dadamu mengganggu pandanganku," kekeh Erlando membuat Cahaya tertawa dan memeluk suaminya, mengalungkan kedua tangannya dileher Erlando membuat Erlando tertawa mengejek. "Aku jadi ingin melakukannya lagi."
"Apa kamu mau menyiksaku?" tanya Cahaya menutup wajahnya didada suaminya. Ia malu sekali.
"Baiklah. Sebelum naik ke kepalaku, kamu harus mandi dan berpakaian," kata Erlando membuat Cahaya melepas tangannya dileher suaminya.
"Tapi aku ingin tetap seperti ini," kata Cahaya kembali bermanja didada suaminya.
Erlando tertawa dan matanya menyipit ketika tertawa, sungguh tampan ciptaan Tuhan.
"Tapi ... aku nendengar suara perutmu," kata Erlando.
"Aku memang lapar sejak tadi," jawab Cahaya. "Ya udah. Aku mandi dulu."
"Mau mandi bersama?"
Cahaya tertawa dan menganggukkan kepala.
"Oke deh," jawab Erlando semangat dan menggendong Cahaya tanpa busana, lalu memasukkan istrinya itu kedalam bathup.
***
"Apa jadi Cahaya dan Erlando kembali ke Indonesia?" tanya Rahayu.
"Aku juga nggak tahu, Mbak," jawab Bella. "Cahaya nggak pernah cerita padaku, Cahaya emang tertutup beberapa hari ini.
"Manusiawi sih jika Cahaya seperti itu, kan dia juga kasihan, dia juga pengen punya anak tapi belum di kasih, aku sudah memberitahunya untuk tetap sabar."
"Tapi kenapa mereka belum bangun?" geleng Gaston.
"Kamu nggak kerja?" tanya Bella.
"Aku menunggu Erlando katanya sebelum ke bandara, dia akan menemaniku rapat," jawab Gaston.
"Lalu Damian mana?" tanya Bella pada Rahayu yang tengah menggendong anaknya.
"Udah berangkat dari pagi buta."
"Kalau Cahaya tetap di sini, kan akan makin seru."
"Dia juga dapat temen baru di sebelah," kekeh Rahayu.
"Siapa, Mbak?"
"Tetangga-tetangga di sini, Cahaya berteman dengan mereka."
"Cahaya memang pintar beradaptasi, Mbak," jawab Bella.
"Iya. Makanya aku jadi merasa sedih kalau Cahaya kembali ke Indonesia dan meninggalkan kita di sini," kata Rahayu membuat Bela mengangguk.
"Aku nggak jadi kembali ke Indonesia kok, Mbak," kata Cahaya seraya menuruni tangga, Erlando merangkul pinggang istrinya dan menuruni tangga bersama-sama.
"Beneran, Ya?"
"Iya. Kita akan melakukan program bayi tabung di Jerman, kita nggak akan kembali ke Indonesia," jawab Cahaya lalu duduk disamping Rahayu.
"Jadi ... kamu udah baik-baik saja?" tanya Bella.
"Iya, Bel, aku baik-baik saja. Aku minta maaf karena mengabaikan kalian beberapa hari ini, sikapku jadi membuat kalian nggak nyaman," lirih Cahaya.
Rahayu dan Bela menggelengkan kepala. "Nggak kok, kita nggak merasa terganggu apalagi nggak nyaman karena sikapmu, kita memahami apa yang kamu rasakan," kata Rahayu.
"Seneng dengarnya, Bro, kalau lo sama Cahaya nggak jadi kembali ke Indonesia," kata Gaston membuat Erlando mengangguk dan terus membelai rambut istrinya.
"Iya. Tapi ... jadi kan rapat?"
"Jadi lah, gua tungguin lo dari tadi," kata Gaston.
"Ya udah. Ayo kita berangkat. Tapi ... Damian mana?"
"Damian sudah ke kantor," jawab Gaston.
"Dia memang karyawan yang sangat rajin," kata Erlando.
"Nggak kayak bosnya, bangunnya jam 11," sindir Gaston membuat Erlando dan Cahaya tertawa dan menggelengkan kepala.
"Ya udah. Lo siapin mobil gih," kata Erlando.
"Hari ini ... kita bawa mobil apa?"
"Karena hari ini gua bahagia, bawa mobil yang warnanya mencolok," jawab Erlando membuat Cahaya dan Bella menggelengkan kepala.
"Oh iya, Erlan, aku harus mengatakan sesuatu ke kamu," kata Rahayu.
"Apa itu, Mbak?"
"Maaf sebelumnya, tapi aku dan Mas Damian sudah memutuskan akan pindah ke rumah sebelah," jawab Rahayu.
"Apa di sini nggak enak? Atau mungkin Mbak nggak nyaman?" tanya Erlando. "Jika nggak nyaman di sini, aku bisa melakukan sesuatu."
"Bukan gitu, Er, maaf jika aku membuatmu merasa seperti itu, tapi aku dan Mas Damian memang ingin mandiri saja, apalagi anak kami sudah dua, jadi kami ingin tinggal sendiri dan tidak bergantung pada kalian," jawab Rahayu menggelengkan kepala. "Lagian kan aku pindahnya ke rumah sebelah, hanya 1 rumah dari rumah ini."
"Kalau itu keputusan Mbak dan Damian, nggak apa-apa sih, asal jangan pindah jauh-jauh aja," sambung Cahaya.
"Nggak kok, kami hanya pindah ke rumah sebelah."
"Aku juga akan pindah ke depan," sambung Bella.
"Kamu juga?" tanya Erlando menoleh menatap adik sepupunya itu. Adik yang pernah menyimpan rasa padanya.
"Kalian kok pada pindah?" tanya Cahaya. "Apa aku membuat kalian tersinggung?"
"Nggak kok, Ya. Gini maksud kami ... kami kan juga udah berumah tangga, kami pengen juga tinggal sendiri dan menjalani rumah tangga seperti biasanya, lagian kami nggak tinggal jauh kok dari kamu, kita akan bertetanggaan loh."
"Sedih aja kalau kalian nggak tinggal di sini lagi."
"Lagian bangunan ini kan milik Kak Erlan, jadi kami pasti nggak akan jauh dari kamu," sambung Bella.
"Benar. Daripada rumahnya kosong, mending kita pake."
Cahaya mengangguk dan menoleh menatap suaminya, Erlando mengangguk seakan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja meski Bela dan Rahayu pindah. Suara klakson terdengar membuat Erlando bangkit dari duduknya.
"Baiklah. Kalian lanjutin ngobrol, aku akan ke kantor," kata Erlando lalu mengecup puncak kepala istrinya. Membuat Bela dan Rahayu sudah biasa melihatnya.