PBSC S2 - 1
SALJU
__________
Cuaca di Jerman sedang bergejolak, salju tebal menyelimuti sebagian besar wilayah hingga memutih, semua warganya yang hendak keluar harus menggunakan pakaian setebal mungkin, apalagi jalanan mulai licin.
Sebuah mobil mewah melaju di jalan bersalju Pegunungan Ore di Einsiedel, Jerman. Tampak dua sisi tertutupi salju yang tebal, namun tak membuat lelaki yang tengah melajukan mobilnya menghentikan mobilnya.
Erlando tengah melajukan mobilnya dan ditemani Cahaya yang menemaninya. Mereka baru saja makan malam bersama klien, karena Damian tak bisa menemaninya, jadi Cahaya turun tangan sendiri.
Damian tengah menemani istrinya yang baru saja mendapatkan adopsi. Kasih sayang Erlando pada Imam dan anak yang baru Rahayu adopsi, makin bertambah ketika Bela juga memiliki anak.
Cahaya selalu merasa kecil dan risih jika suaminya itu menyayangi anak Rahayu dan Damian. Begitupun dengan anak Bela dan Gaston.
Sudah sering sekali Cahaya memeriksakan kesehatannya di rumah sakit terbaik di Jerman, namun karena memang belum rezkinya, ia pun hanya bisa pasrah pada keadaan.
Dokter menyatakan bahwa ia akan kesulitan hamil, bukan permanen tak bisa hamil, dokter hanya menyarankan terus usaha dan berdoa.
Cahaya memalingkan wajah dan melihat jalanan yang dipenuhi salju, karena jalanan sangat licin, Erlando memilih melajukan mobilnya dengan pelan. Dan tetap fokus jalanan didepan sana.
Sesaat Erlando menoleh menatap istrinya yang sejak tadi merenung. Erlando mengangkat tangan kirinya dan membelai rambut hitam Cahaya. Membuat Cahaya sesaat menoleh menatap suaminya.
"Ada apa, Sayang?" tanya Erlando membuat Cahaya menggelengkan kepala.
Sudah hampir empat tahun mereka menikah, namun belum juga di percayakan seorang anak.
"Aku nggak apa-apa," jawab Cahaya.
"Lalu mengapa sejak tadi kamu murung?"
"Aku—"
"Katakan saja, Sayang."
"Mas, apa kita akan terus tinggal di Jerman?"
Erlando sesaat menoleh dan menatap istrinya. "Apa kamu ingin pulang?"
"Aku merindukan Indonesia, Mas," jawab Cahaya. Baru kali ini ia mengeluh. "Aku tahu pekerjaanmu di sini nggak bisa di tinggal, tapi aku pengen puasa di Jakarta. Sebentar lagi ramadhan, Mas."
"Astgfirullah. Aku lupa. Sebentar lagi bulan suci."
"Karena itu aku ingin pulang. Kita sudah hampir 3 tahun di Jerman dan aku pengen pulang ke tempat kita."
Erlando menganggukkan kepala. Dan, berkata, "Sayang, tapi pekerjaanku."
"Jika kamu nggak bisa meninggalkan pekerjaanmu, biar aku yang pulang," kata Cahaya. Ia benar-benar tak tega mengatakan hal itu pada suaminya, namun ia tak memiliki pilihan lain. Ia kesepian di sini. Bela di sini, namun ia juga sibuk dengan anak yang baru enam bulan, begitu pun Rahayu yang sibuk dengan putranya yang baru lahir.
Cahaya merasa sendiri dan tak memiliki siapa pun. Bela dan Rahayu sudah memiliki anak, namun Cahaya belum juga diberikan kepercayaan.
Erlando mencoba memahami istrinya, ia tak bisa memaksa Cahaya untuk tetap di sini. Erlando merasa keterlaluan ketika tak pernah memahami istrinya.
Cahaya merasa bersalah telah mengatakan hal yang pasti menyakiti suaminya.
"Aku bukan nggak suka di sini, Mas, aku hanya—"
"Nggak apa-apa. Nanti kita bicarakan lagi sampainya di rumah."
Cahaya menganggukkan kepala.
***
Bela tengah menyusui Hana—putrinya yang baru berusia enam bulan, dan Rahayu tengah menggendong bayinya ditemani Damian.
Suami Bela sangat sibuk jadi Bela selalu sendirian, namun Bela tak pusing, karena masih ada putrinya yang menemaninya, lain cerita jika tak ada Hana.
Rahayu baru saja mendapatkan hak adopsi dari rumah sakit di Jerman, ia mendapatkan anak berusia 3 bulan yang diberi nama Raden.
"Oh iya. Besok aku mau bawa Hana vaksin, Mbak mau ikut?" tanya Bela pada Rahayu.
"Nggak deh. Raden kan baru tiga bulan, jadi takut bawa keluar di saat salju lebat gini."
"Iya juga sih. Ya udah. Besok aku sama Hana saja yang pergi."
"Aku mau tanya, apa Cahaya ada masalah?" tanya Rahayu.
"Masalah? Aku juga nggak tahu."
"Soalnya beberapa hari ini, dia seperti dalam suasana hati yang nggak baik."
"Mungkin lagi berantem sama Kak Erlando."
"Nggak mungkin juga. Mereka masih mesra kok," sambung Rahayu.
Sesaat kemudian, Erlando berdeham, ia menggenggam tangan istrinya yang kini menatap dua bayi yang lucu, Cahaya hampir saja menangis, namun ia telah berusaha menahannya.
"Kalian udah balik? Ayo duduk," ajak Bela.
"Bagaimana meetingnya, Tuan?"
"Udah selesai," jawab Erlando. "Oh iya. Mana suamimu, Bel?"
"Belum balik."
Karena Cahaya tak tahan melihat dua bayi yang lucu dan ia merasa risih, Cahaya melepas genggaman tangan suaminya dan berjalan menuju tangga tanpa pamit pada keluarganya, ia tak tahan melihatnya. Ia juga ingin punya anak, namun Allah belum memberi kepercayaan.
"Cahaya kenapa, Kak?" tanya Bela.
"Biar saya susul," kata Rahayu hendak beranjak.
"Kalian duduk saja. Biar aku yang mengurusnya," kata Erlando lalu melangkah menyusul istrinya yang kini masuk ke kamar dengan air mata yang menggenang.
Tentu saja sebagai wanita, ia pasti merasa risih ketika yang lainnya memiliki anak, sedangkan dirinya tidak diberikan kepercayaan itu.
"Cahaya kenapa ya, aku jadi merasa bersalah," kata Bela.
"Kok kamu merasa seperti itu?"
"Nggak tahu kenapa dan penyebabnya apa. Aku benar-benar sedih melihatnya."
"Ya udah. Kita tunggu Tuan Erlando menyusul Cahaya."
Erlando membuka pintu kamar dan melihat istrinya tengah duduk di dekat nakas dengan wajahnya ia tumpuh di atas lututnya. Saat ini Cahaya duduk dilantai dan menangis sejadi-jadinya.
Ia manusia biasa, ia pantas sedih dan wajar merasa sedih, mengapa yang lain bahagia, sedangkan dirinya tidak? Adakah kesalahannya dimasa lalu?
Erlando paham apa yang dirasakan istrinya, ia tahu betul hanya dengan melihat wajah gundah Cahaya beberapa hari ini. Cahaya sedih karena berada ditengah seorang wanita yang telah berhasil melahirkan dan merasa bahagia.
Air mata Cahaya luruh begitu saja.
Erlando menghela napas dan duduk didekat nakas, tepat disamping istrinya. Ia merangkul Cahaya dan membawanya kepelukannya. Erlando menepuk lembut pundak istrinya dan tidak melepaskannya
Cahaya menangis sejadi-jadinya di pelukan suaminya, dan kali ini tak bisa lagi ia tahan.
"Jika ini berat untuk kamu, aku izinkan kamu kembali ke Indonesia," lirih Erlando.
Cahaya mendongak dan menatap suaminya, mengapa rasanya ada rasa bersalah?
"Mas," lirih Cahaya.
"Aku tahu apa yang kamu rasakan, dan aku nggak akan mencegahmu."
"Kamu nggak ikut denganku?"
Erlando menggelengkan kepala.
"Mengapa?"
"Kamu kan tahu Grandpa mempercayakan perusahaan di sini padaku, Grandpa sebelum meninggal terus mengingatkanku."
Cahaya menghapus air matanya dan melepas pelukan suaminya.
"Aku mohon, aku ingin sendiri," lirih Cahaya.
"Sayang."
"Aku membutuhkan ruang sendiri."
"Baiklah. Aku akan menunggumu diluar, aku berharap kita bisa menemukan jalan setelah kamu membaik," kata Erlando beranjak dari duduknya dan melihat punggung istrinya. Luka Cahaya adalah lukanya juga.
.
.
Bersambung.