4

1792 Words
Dara pikir cukup baginya mengagumi sosok Dion dari kejauhan seperti ini. Memperhatikan setiap gerak-gerik dan perubahan sekecil apapun. Hari ini rambut Dion agak berbeda. Lebih rapi dari biasanya. Dara menebak pasti cowok itu abis potong rambut. Makin ganteng. Pikirnya dalam hati. Sore ini pun selesai mata kuliah dan nemenin Alfen latihan futsal sebentar, Dara langsung menuju tempat pengintaiannya. " Kok gak ada ?" Ucap Dara pada dirinya sendiri, tempat yang biasa Dion tempati masih kosong sekarang. Biasanya kan cowok itu duduk disana, sekedar dengerin lagu dari ponselnya ataupun melanjutkan skripsinya. " Siapa yang gak ada?" Tanya seseorang dibelakang Dara. " Dion. Biasanya jam 3 tuh dia udah disitu maen hape kalo gak maen laptop." Jawab Dara tanpa sadar. " Lo kecepetan 5 menit kayaknya deh. Sekarang masih jam 3 kurang 5 menit." Tunggu !!!! Bukan suara Alfen. Suara ini kan sama kayak suara yang Dara temui di supermarket kemarin. Suara Dion yang lagi berbicara dengan mamahnya lewat telepon. Dara menelan ludah dan menoleh ke belakang, orang yang sedaritadi ia cari. Dion !!!! Cowok itu tepat dibelakang Dara dengan tatapan dingin seperti biasa, tapi bibirnya mengulum senyum. Seperti mau tertawa tapi ditahan. " Mati gue !" Ucap Dara lagi-lagi tanpa sadar. " Belom gue apa-apain masa udah mati duluan." Ucap Dion asal. Kali ini senyumnya gak dia tahan lagi. Manis. Ini namanya rejeki nomplok. Bisa liat senyum Dion secara langsung dan dengan jarak sedekat ini. " Anu... Emm ... Duh gimana ya ?" Dara menggaruk kepalanya yang sama sekali gak gatal. Alfen tolongin gue please. Batinnya walaupun ia yakin Alfen gak bakal denger. Sedeket apapun mereka tapi belom nyampe ada iketan batin. " Sejak kapan?" Dion menaikkan sebelah alisnya. Bikin Dara hampir jantungan saking manisnya. " A... Apanya ?" Dara tergagap, gak mengerti. " Stalkerin gue." Ucap Dion tanpa malu-malu sementara tersangkanya udah malu setengah mati. Dara yakin wajahnya udah semerah tomat sekarang." Dua minggu mungkin." Jawabnya tak yakin. Dion mengangguk-angguk. Selama itu pula ia merasa ada yang memperhatikannya. Tepatnya setelah ia kembali ke kampus ini lagi." Kenapa stalkerin gue ?" " Karena suka. Ehh !!!" Dara menutup mulutnya yang lancang sekali menjawab pertanyaan Dion tanpa suruhannya. Dion tersenyum lebih lebar melihat kebodohan cewek aneh di depannya ini. Sebenernya dari awal ia sudah merasa diperhatikan tapi belom ada kesempatan buat mergokin cewek aneh ini. Baru sekarang kesampean. Tapi katanya tadi apa ? Karena suka ? Bukannya dia pacaran sama Alfen ? Si cowok populer anak futsal itu ? " Bukannya lo pacaran sama Alfen ? "Dion mengutarakan pertanyaan dalam hatinya ke Dara yang saat ini sibuk memainkan ujung bajunya. Polos banget. Padahal kalo diliat-liat keseharian cewek ini dikampus agak blak-blakan dan pecicilan. Okelah soal blak-blakan ia anggap benar karena cewek ini menjawab pertanyaannya secara spontan. " Bukan." Dara menggeleng cepat. Dion menaikkan sebelah alisnya lagi, meminta penjelasan." Dia sahabat gue dari kecil. Emang banyak yang ngira kita pacaran sih. Tapi sahabatan doang sebenernya mah." Dion mengangguk mengerti. Ia percaya karena cewek didepannya ini sepertinya beneran polos. " Kenapa suka sama gue ?" " Emang suka mesti pake alesan ? Duh !" Lagi-lagi Dara merutuki mulutnya yang lancang ini. Kenapa juga dari dulu ia gak bisa mengontrol omongannya sendiri sih ? " Ya gak juga sih. Tapi kan lo gak kenal gue." " Kenal kok. Lo kan Dion anak semester akhir yang lagi nyusun skripsi. Baru balik dari satu semester cuti dan magang jadinya setahun gak kekampus. Tapi gue baru liat lo beberapa minggu yang lalu. Lo suka banget tuh suduk di sono." Dara menunjuk tempat biasa Dion duduk. " Maen hape kalo gak maen laptop untung gak maen hati. Hehehe " Dara malah tertawa. Udah terlanjur ketauan juga jadi ia merasa gak terlalu canggung untuk mengutarakan apa yang ingin ia bicarakan. Dara mengingat apa saja yang sudah ia perhatikan soal Dion selama dua minggu ini, tentu dengan gosip-gosipan dari Lisa, temen sekelasnya yang suka banget ngomongin Dion. " Itu aja ? Jadi hasil stalker lo selama dua minggu cuma itu ?" Dara mengangguk polos." Lagian cukup kok menurut gue. Tadinya cukup liatin lo aja dari jauh kayak biasa. Duduk disini ngeliatin lo disana ehtapi malah ketauan. Apes ya gue." " Gue pura-pura gak tau aja kali ya ?" Dion mengerutkan keningnya. Pura-pura berpikir. " Eh ?" " Tapi gak bisa." Ucap Dion lagi, kali ini sambil menatap lurus ke cewek didepannya." Karena mulai sekarang gue gak bisa pura-pura gak sadar lagi soal kehadiran lo." Lanjutnya yang membuat banyak pertanyaan dibenak Dara. Cowok itu menarik kedua sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman yang kelihatan tulus. Kayaknya gue mesti meriksa jantung gue ke dokter. Dara membatin. Dion langsung berdiri dan berjalan kearah tempat biasa ia duduk. Lalu melambaikan tangan ke Dara yg posisinya masih sama seperti waktu ia tinggal kesini beberapa detik yang lalu. " Jangan mati dulu kek." Dara memegangi dadanya. " Barusan dia ngelambai ke elo? " Tanya Alfen yang langsung duduk disamping Dara sambil menyeka keringatnya. Dara menoleh ke Alfen, tidak kaget seperti biasanya. Ia tersenyum." Gue lagi seneng. Nanti gue traktir frapechino favorit lo deh !" " kok perasaan gue malah gak enak ya ?" Kadang ada hal yang lebih baik disembunyikan meskipun sangat ingin diungkapkan. Demi menjaga sebuah hubungan persahabatan yang lebih dulu terjalin dibanding sebuah rasa yang datang tiba-tiba seiring kebersamaan. Katanya dicintai lebih enak daripada mencintai. Tapi menurut Alfen semua itu salah. Ia lebih baik mencintai dan berharap dicintai suatu saat nanti. Mencintai walaupun sakit. Mencintai walaupun dalam diam. Menjaga orang yang dicintai agar tidak terluka meskipun dirinya sendiri sekarat. Kadang ada hal yang lebih baik tidak kita ketahui, karena kalo tau cuma bikin sakit hati. Tapi kadang kita harus tau agar sadar bahwa kenyataannya sebuah cinta gak mesti terbalaskan. Tapi kenapa banyak yang cintanya terbalas? Apa salah gue ? Alfen membatin. Ia mengaduk-aduk frapechino favoritnya yang entah kenapa hari ini gak terlihat semenggiurkan biasanya. Sambil mendengar ocehan Dara soal kejadian tadi sore. Kejadian waktu Dion nangkep basah Dara mau ngintilin dia lagi. Lucu sih kalo dipikir-pikir. Tapi bukannya itu bikin jarak antara Dara yang tadinya sangat jauh mendadak jadi sedekat itu ? Alfen menyembunyikan kegelisahannya sementara cewek didepannya masih senyam-senyum membayangkan keuntungan yang ia alami hari ini. " Mungkin gak ya Dion bisa suka sama gue?" Tanya Dara ke Alfen dengan mata berbinar. Jelas sekali ada harapan besar disana. Harapan yang jelas tak ditujukan untuknya. Kalo ditatap dengan penuh harapan seperti itu, mana tega Alfen menjatuhkan harapan sahabatnya sendiri." Mungkin. Takdir kan gak ada yang tau." Ia menggedikkan bahunya. Iya. Takdir gak ada yang tau. Bisa jadi Dion jadian sama Dara. Atau sebaliknya ? Dara menghela napas." Lagian gue b**o banget blak-blakan gitu ke Dion. Dia ilfil gak ya sama gue ?" Cewek itu kini mengetuk-ngetukkan telunjuknya ke meja, menbuat suara khas dan beberapa pengunjung edelweis cafe sedikit terganggu. Tapi cewek itu gak peduli karena hari ini menurutnya adalah harinya. Hari paling bahagianya. Mendadak pipinya memanas." Gila ya !" Ia memegangi pipinya." Cuma diajak ngobrol aja efeknya sampe begini." Alfen mencibir." Lebay lo kayak ABG baru jatuh cinta." " Lo sih belom ngerasain !!! Makanya jatuh cinta dong kayak gue." Gue bahkan udah ngerasain jatuh cinta sejak lama Dar, tanpa sepengetahuan lo. Alfen membatin." Melankolis banget lo ah. Geli gue lama-lama." " Yeee ngambek dah." Dara menggamit lengan Alfen yang sejujurnya bikin jantung Alfen berdetak jauh lebih cepat. Sayangnya Dara gak pernah nyadar. Setiap sentuhannya ke cowok itu, membuatnya makin jatuh. Makin jatuh ke jurang cinta yang gak akan pernah Dara tangkap. Ia hanya akan jatuh semakin dalam ke jurang yang tanpa dasar. Karena Dara sibuk menunggu Dion jatuh cinta padanya sehingga tidak sadar ada orang yang lebih dulu jatuh untuknya. " Lusa gue tanding. Lo nonton ya." Dara berdecak." Tanpa lo suruh gue juga pasti nonton. Lagian kenapa sih ? Kan udah nanyain itu dari kapan tau. Jawabannya masih sama Alfen." Ia menyedot sampai habis milkshake vanilanya sampe tinggal es batunya aja. Alfen nyengir." Takutnya lo lupa. Lo kan rada pikun." Ia mengetuk-ngetuk jidat Dara dengan telunjuknya. Dara memberonta ." Rese lo ah !" ..... Dion memperhatikan jam ditangannya. Sudah jam 5 sore. Ia melihat sekilas ke tempat Dara tadi mengobrol bersamanya, cewek itu udah gak disana. Iyalah jelas. Tadi ia kan lihat sendiri kalo Dara diajak pergi sama cowok bernama Alfen itu, sahabatnya. Entah kenapa perasaannya sedikit lega menyadari hubungan mereka hanya persahabatan. Ia langsung beranjak dan memasukkan laptopnya ke tas. Rutinitas seperti biasa di sore hari sebelum pulang ke rumah. Jemput Safa, tunangan yang gak dicintainya. Tapi Safa ? Dion gak pernah tau dan gak pernah mau tau soal perasaan cewek itu yang sebenernya. Ia cukup memikirkan perasaannya sendiri yang selalu terbataskan karena ada ikatan sialan ini. Dion melajukan mobil pajeronya ke sebuah kampus yang gak jauh dari kampusnya. Fakultas kedokteran. Terpampang jelas tulisan itu di depan kampus tempat Safa kuliah. Cewek itu emang pinter. Anak kedokteran pula. Gimana orangtuanya gak makin menjodohkannya dengan Safa coba ? Karena bagi mereka perempuan yang kuliah jurusan kesehatan itu menantu idaman banget. Safa keluar bersama teman-temannya sambil menenteng jas lab di tangannya. Ia sedikit terkejut melihat kehadiran Dion. Tapi buru-buru menghampiri cowok bertampang dingin itu." Tumben." " Ada janji makan malem kan dirumah. Lo lupa ?" " Inget kok." Jawab Safa sambil tersenyum semanis mungkin. Walaupun ia tau senyumnya gak akan pernah bisa mencairkan kebekuan di wajah Dion. Dengan sopan Dion membukakan pintu mobilnya untuk Safa sampai cewek itu masuk, baru ia masuk ke mobilnya. Sebenernya ia lebih suka naik motor ninja hitamnya yang udah lama gak ia pake itu, tapi karena hampir tiap hari harus menjemput Safa , ia memilih untuk membawa mobil aja. Tentu saja agar ada jarak diantara mereka. Kalo motor kan .... You know what i mean lah. Bisa dibayangin lah sedeket apa. " Kapan ?" Safa memecah keheningan sambil menghadap ke Dion. " Apanya ?" Dion bertanya balik tanpa menatap ke Safa. " Lo bisa mencintai gue ?" Dion tersentak dengan pertanyaan yang dilontarkan Safa. Tumben cewek kalem ini mempertanyakan soal perasaannya. Bukankah sudah jelas Dion terpaksa menerima perjodohan ini karena permintaan orangtuanya. Karena Dion dikenal sebagai anak yang sangat penurut. "Gak tau. Perasaan gak bisa dipaksa kan." Ucapnya lebih ke pernyataan, bukan pertanyaan. Safa mengulum senyum. Sadar kalo pertanyaannya terlalu bodoh. Jelas-jelas sikap Dion padanya selama ini gak ada perasaan apa-apa padanya. Sikap Dion yang selalu dingin dan gak pernah bicara panjang lebar padanya. Bukannya sudah sangat jelas memperlihatkan bagaimana perasaannya ? Walaupun Safa tau cintanya gak akan pernah terbalaskan, meskipun kedua orangtua Dion berpihak padanya. Meskipun secara status ia bisa mendapatkan Dion, tapi soal hati Dion. Safa bener-bener gak bisa mendapatkannya. Atau belum? Memendam cinta dari SMA sampe sekarang, sama sekali gak pernah ada balasan. Meskipun Dion keliatannya pura-pura gak tau soal perasaan Safa, harusnya Dion sadar dari sifatnya selama ini. Bahwa pertunangan ini gak ada apa-apanya dibanding perasaannya yag sebenarnya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD