[ 08 - Praduga ]

2308 Words
STORY 08 - Praduga *** Tahun 2040 – Ruang Meeting – Restaurant Khusus Pukul 20.00 pm Jujur saja, Ratu tidak bisa berkonsentrasi setelah mendengar informasi dari Tania tadi. Pikirannya terus menerus memikirkan Asta, apa yang pemuda remaja itu lakukan? Dia mau berbuat apa? Kenapa laki-laki itu bertingkah nekat dan justru berteman dengan orang-orang tak benar? Kedua manik Ratu tak henti menatap layar handphone setiap lima menit sekali. Memastikan apa Tania sudah mendapat info mengenai plat nomor dan keberadaan putranya. Sekarang sudah pukul delapan malam. Tinggal berapa jam lagi sebelum Asta benar-benar akan melakukan hal berbahaya? Ratu tidak bisa tenang. ‘Kenapa Tania belum menghubungiku juga?!’ batin Ratu panik, melihat jam dinding di dekat ruang. Meski ruang meeting khusus di area restaurant ini sekarang dihadiri oleh para investor penting perusahaan mereka. Ratu harus bisa mengendalikan diri dan tetap tenang. Ditambah lagi sekarang Davaron ikut serta dalam rapat. Jangan sampai dia membuat kesalahan. “Ibu Ratu, bagaimana pendapat anda tentang pengembangan cabang perusahaan di area kelapa gading? Menurut saya project ini cukup meyakinkan.” Terlalu banyak berpikir, membuat wanita itu tidak bisa mendengar jelas semua ucapan yang ditujukan padanya. Davaron melihat jelas sikap sang adik. Lelaki dengan potongan rambut pendek, tubuh tegap dan bulu tipis di sekitar dagu itu mengerut bingung. “Veena.” Memanggil dengan pelan. Ratu masih sibuk dengan pikirannya, pandangan wanita itu teralih, tepat saat sebuah pensil sengaja Davaron ketukan ke atas meja. Barulah Ratu sadar, Ia mengerjap kaget. Dengan sedikit gugup membenarkan anak rambut sekilas. Mencoba tetap tenang, tanpa memperlihatkan ekspresi tak penting. “Maaf, jika mengenai project kita kali ini. Saya sudah sangat setuju. Mengingat keuntungan di tempat ini cukup strategis dan bisa dijangkau oleh semua orang. Gaya hidup penduduk di daerah kelapa gading juga sudah cukup meyakinkan.” Walaupun dia melamun dan nampak tidak fokus. Berkat pengalaman berhubungan dengan para investor dan mengikuti banyak rapat penting. Kemampuan Ratu dalam mendengar dan menyerap semua informasi penting bisa dengan mudah Ia tanggapi. Semua investor yang awalnya mengernyit aneh langsung nampak setuju begitu mendengar ucapan wanita itu. Tapi tidak bagi sang kakak. Laki-laki paruh baya itu masih tetap menatap tajam Ratu. Segala tindak-tanduk wanita itu selalu diawasi. Bahkan hingga sekarang, Saat pandangan mereka bertemu. Ratu bisa melihat jelas pandangan menekan sang kakak. Seolah memberi peringatan dan telepati singkat. ‘Kita harus bicara sebentar.’ Ratu tidak pernah bisa menghindari laki-laki itu. *** Tiga puluh menit setelah rapat selesai “Apa yang kau pikirkan tadi?” Sosok tegap itu berdiri di luar ruang meeting, dengan kedua tangan bersidekap di depan d**a. Wajahnya tertekuk, menahan amarah hanya karena dia melakukan satu kesalahan kecil saja. Sementara itu, Ratu yang sudah terbiasa hanya menghela napas panjang. Kedua mata menatap Davaron datar, “Aku hanya sedikit melamun saja, Kak. Kau tidak perlu berlebihan seperti itu,” tukas Ratu cepat. Masih tidak terima, Davaron mendecih sekilas, “Kau pikir rapat tadi itu tidak penting? Sempat-sempatnya kau melamun, bagaimana kalau para investor tersinggung dengan sikapmu.” Davaron selalu melebihkan semua kesalahannya. Dulu mungkin Ratu dengan mudah bisa tersinggung, tertekan atau merasa takut pada sang kakak. Bahkan tak jarang mudah tersulut emosi, semua sikap kekanakan yang dimanfaatkan dengan oleh Davaron. Tentu saja untuk menunjukkan bahwa laki-laki itu lebih pantas dibandingkan seorang wanita dengan perasaannya yang tidak stabil. Tapi sekarang berbeda. Ratu sudah terlampau lelah. Dia hanya sekedar mencari kesibukan saja di perusahaan ini. Tak ada sedikit pun keinginan Ratu mengambil alih perusahaan Ragnala lagi. Seperti dulu, ambisinya hancur bersamaan dengan kepergian Ravindra dulu. Walau kini status dan pengetahuan mereka berdua sejajar, bahkan bisa dikatakan pengalaman Ratu lebih banyak dibandingkan Davaron. Sang Edrea sudah tidak mau menggunakan waktunya untuk mengejar laki-laki itu lagi. “Kau menganggapku berlebihan?! Sedikit saja kesalahan itu terjadi, mereka bisa saja-” Ucapan Davaron terhenti saat Ratu memotong jelas perkataan sang kakak. “Rapat berjalan lancar, para investor setuju menandatangani kontrak, dan project kita akan berjalan beberapa bulan ke depan. Apa lagi yang kurang?” Satu pertanyaan telak Ratu keluarkan. Bisa Ia lihat bagaimana tubuh Dava menegang, dengan urat nampak di sekitar wajah. Menahan kesal dan amarah karena tidak bisa menjawab langsung ucapan adiknya. “Kau-” Dering handphone Ratu berbunyi, menginterupsi percakapan mereka. Sang Edrea tersentak cepat, menatap Davaron sekilas, “Rapat sudah selesai ‘kan? Kalau begitu aku ijin pulang lebih awal.” Menunduk dan berpamitan, “Sampai bertemu besok,” Tanpa menunggu respon sang kakak, Ratu berjalan meninggalkan area lobby restaurant. “Veena!! Aku belum selesai bicara!! Sialan!!” *** Area luar Restaurant Memastikan semua keadaan aman, Ratu bergegas menuju area parkir. Untuk hari ini saja dia memang sendirian, tanpa ditemani Tania. Karena Ratu sudah meminta wanita itu untuk melakukan pekerjaan lain. Bergegas mengangkat panggilan Tania. “Bagaimana, Tania? Kau sudah dapat informasinya?” Tanpa berbasa-basi, Ratu langsung menanyakan informasi mengenai Asta. Deru napas panjang terdengar di seberang sana, “Saya sudah mendapatkan keberadaan mobil itu, Nyonya. Platnya persis seperti di pemakaman tadi, mobil yang membawa Asta pergi,” “Dimana Asta sekarang? Cepat katakan, Tania. Aku akan segera menyusulnya! ” Tidak ingin menunggu lebih lama. Ratu bahkan bergegas masuk ke dalam mobilnya. Selang beberapa menit, Tania justru tidak langsung menjawab pertanyaannya. “Tania!! Kenapa kau malah diam!!” bentak Ratu reflek. Dia tak bisa menunggu lebih lama lagi!! Deru napas Tania terdengar memburu di seberang sana, “Apa Nyonya yakin ingin pergi ke sana? Para bodyguard sudah memberi saya informasi, da-dan mereka meminta kita untuk tidak datang ke sana,” jawabnya pelan. Alis Ratu tertekuk bingung, “Kau bilang mereka tidak mengijinkanku pergi ke sana?! Jangan bercanda!! Nyawa putraku dalam bahaya dan mereka memintaku diam saja?!! Katakan sekarang dimana Asta!!” “Sa-saya berada tidak jauh dari posisi mereka sekarang, Nyonya. Ta-tapi saya takut,” Suara Tania terdengar gemetar. Amarah Ratu menurun, bagaimana bisa dia lupa kalau Tania juga pasti ketakutan. Wanita itu punya satu orang putri kecil, jadi pasti dia ragu. “Beritahu posisi Asta sekarang, setelah itu kau boleh pulang. Jangan berada di sana lebih lama, serahkan masalah ini padaku.” jelas Ratu setegas mungkin. “Nyonya, Asta sekarang berada di sebuah jalanan tak terpakai di area yang cukup jauh dari pusat Jakarta. Area itu tidak diawasi oleh kepolisian, dan sangat berbahaya.” Detak jantung Ratu terasa berhenti, seolah tidak pernah. Bagaimana bisa? Putranya berada di tempat berbahaya seperti itu? Jalanan sepi yang tak terpakai. Jauh dari jangkauan polisi. Kepalanya terasa pening, “Beritahu aku alamat lengkapnya,” ujar Ratu pelan. Berusaha untuk tetap tenang. “A-apa Nyonya yakin tidak ingin menghubungi tuan Arsenio lebih dulu?” tanya Tania sekali lagi. Menghubungi Arsen mungkin memang pilihan yang tepat. Ratu menarik napas panjang. Situasi sudah semakin gawat, dan dia harus mengambil keputusan cepat. Ratu harus memastikan Asta tidak terlibat lebih dulu dengan orang-orang itu. Jika dia sembarang memanggil kepolisian, bisa-bisa Asta ikut ditangkap. “Aku akan menghubunginya nanti, beritahu saja alamat mobil itu sekarang,” “Baik, saya akan mengirim map sekarang, Nyonya.” Panggilan terputus cepat, Ratu bergegas mengecek chat miliknya. Tania mengirim alamat lengkap dengan map onlinenya. ‘Aku harus mengirim dua bodyguard lagi ke sana,’ batinnya sekilas. Kali ini Ratu benar-benar harus menghubungi Arsen. Laki-laki itu harus tahu!. *** Flashback On - Tahun 2025 – Taman Bermain Kanak-kanak Matahari Suara tangisan beberapa anak laki-laki terdengar kencang. Di dalam ruang guru yang dipenuhi interior bertema anak-anak. Ratu berlari tergopoh di dalam lorong, dengan langkah cepat dan diikuti Rheandra, serta Arsen. Setelah wanita itu memberinya informasi mengenai tindakan Asta lagi. Ratu terpaksa mengcancel semua rapatnya untuk beberapa jam ke depan. Karena masalah ini. “Huaa, mama!! Sakit!!!” Suara tangis menggelegar saat Ratu membuka pintu ruangan, tiga orang anak laki-laku dengan tubuh lebih besar dari Asta menangis kompak dalam pelukan ibu mereka. Sementara Asta, sebuah band-aid menempel di pipi dan hidungnya. Diikuti Ravindra yang bersembunyi di belakang sang kakak, pemuda kecil itu hanya terluka di bagian lengan saja. Alis Ratu tertekuk bingung, melangkah masuk ke dalam ruangan. Arsen ikut berjalan di sampingnya, laki-laki itu langsung berjalan mendekati Asta dan Ravin. “Asta, Ravin,” Memanggil sang buah hati kompak. Kedua anak kecil itu menoleh reflek, Asta yang sejak awal menahan tangis hanya merengut dan berjalan mendekati sang ayah. Sementara Ravin, pemuda kecil itu berlari ke arah ibunya. “Ibu!!” Memeluk perut Ratu erat, Asta hanya menunduk, sembari berdiri dengan salah satu kaki menendang lantai sengaja. Salah seorang guru menghampiri mereka. “Selamat sore, Ibu Edrea dan Bapak Arsenio?” Ratu mengangguk kecil, Ia mendesah panjang. “Apa Asta bertengkar lagi sekarang, Bu?” Tanpa basa-basi langsung menjurus ke topic, Asta mendongak tak percaya, wajahnya makin merengut. Arsen mengusap lembut puncak kepala Asta. Wanita paruh baya di depannya tersenyum tipis, menatap tiga orang kakak kelas yang masih menangis di pelukan ibu mereka. Ketiga ibu itu pun menatap Ratu dan Arsen tajam. Salah seorang ibu mengambil alih pembicaraan, “Anak ibu sudah melukai putra saya, lihat? Wajahnya sampai luka seperti ini! Kasihan putraku,” “Pipiku sakit, Mama!” Arsen menarik napas panjang, menatap bu guru di depannya, “Bisa tolong dijelaskan kronologinya, Bu guru?” “Mari duduk dulu,” *** Penjelasan mengarah dan memojokkan Asta di satu sisi. Karena pemuda kecil itu mengamuk tiba-tiba dan nekat melukai kakak kelasnya. Hanya karena ejekan-ejekan kecil, Asta lebih dulu mengamuk dan memukul mereka. Itulah yang Ratu dengar, Asta sudah menggeleng berulang kali. “Itu tidak benar! Aku hanya memukulnya sekali! Dia menjahili adikku! Ayah, percayalah! Ibu, percayalah!” Kedua manik Asta berkaca, menatap Arsen tipis. Berharap ayah dan ibunya mau memihak padanya. Sama seperti orang tua lain membela putra mereka. Ravin mengangguk kecil. “Iya, Ayah. Ta-tadi kakak kelas itu mendorongku jatuh dengan sengaja, Kak Asta langsung datang, tapi mereka malah semakin mengamuk!!” Meski terbata, Ravin ikut menjelaskan. Arsenio tersenyum teduh, “Ayah, percaya pada kalian.” “Bohong!! Mereka bohong!! Kami hanya sedang bermain tadi dan tidak sengaja bertabrakan dengan Ravin. Saat Ravin jatuh, Asta tiba-tiba datang dan memukul wajahku!” Salah seorang ibu mendengus sinis, “Lihat wajah putraku!! Dia terluka seperti ini!! Pokoknya anda harus bertanggung jawab!!” Rheandra mengernyit kesal, “Jangan main hakim sendiri, Bu! Bisa jadi anak Ibu ini bohong ‘kan?” “Eh, kau siapa berani ikut bicara?!!” “Saya pengasuhnya, ada masalah?! Anak-anak ini tidak nakal! Mereka anak yang baik!!” Pertengkaran terjadi, beberapa guru mencoba untuk menenangkan para ibu agar tidak berdebat. Arsenio menatap istrinya sekilas. “Ratu, walaupun Asta salah. Tidak seharusnya dia mendapat perlakuan seperti ini, kedua putra kita tidak senakal itu,” Asta dan Ravin mengangguk semangat, berharap Ratu setuju dan mendukung mereka. Wanita yang sejak tadi diam, dengan wajah tertekuk. Memperhatikan jam tangan yang terus berjalan. Karena pertengkaran kecil ini dia harus menunda rapat penting? Ditambah lagi, Asta melakukan kesalahan berulang-ulang. Melukai kakak kelas, astaga. Ratu tak habis pikir. Terdiam sesaat, Ratu tak sengaja mendengar salah seorang ibu mendengus sinis, dan seolah mengenalinya. “Oh, anda ‘kan salah satu pemilik perusahaan fashion Ragnala?” Menebak dengan tepat. Manik Ratu teralih, menatap sosok wanita yang duduk dengan wajah sinis. Pakaiannya terlihat mahal dan modis. Terlihat sekali kalau wanita paruh baya itu tak pernah ketinggalan jaman dalam urusan fashion. “Ada apa memangnya?” Tatapan meremehkan dan seolah mengancam, wanita itu memeluk putranya erat. “Bagaimana jika kusebar saja masalah ini? Putra seorang pemilik perusahaan besar Ragnala ternyata adalah seorang berandal tengik, berani-beraninya memukul wajah putraku.” Menyinggung permasalahan perusahaan di sini, dan mengancam. Kedua manik Ratu menyipit, “Anda mengancam saya?” tanya wanita itu dengan nada menusuk. Tubuh sosok di depannya langsung menegang, “I-ini karena salah putramu sendiri! Dia harus meminta maaf lebih dulu, baru aku akan diam!” Memaksa Ratu secara tak sadar, kali ini tidak hanya satu pandangan tajam, melainkan dua wanita di samping sosok tadi ikut mengancam Ratu. “Bagaimana, Ibu Edrea? Lakukan atau popularitas perusahaanmu menurun? Kau tahu kalau aku sering sekali meriview pakaian-pakaian di seluruh butik fashion terkenal Jakarta.” “Kalau aku menulis artikel yang buruk tentang perusahaan fashion Ragnala,” Kalimat wanita itu terhenti, dibareng senyuman sinis. “Kau tahu sendiri akibatnya, Ibu Edrea.” Hh, sial. Dalam hati Ratu mengumpat. Kepalanya hampir pecah karena berurusan dengan masalah kecil seperti ini. Arsen menatap wajah istrinya yang kini nampak menahan amarah, menepuk pundak wanita itu pelan. “Jangan gegabah mengambil keputusan, Ratu.” ucapnya pelan. “Kita harus mendengar lebih jelas alasan Asta melakukan hal itu,” Namun kalimatnya langsung terpotong saat melihat Ratu menatap Arsen balik. “Putramu sudah memukul dan berkelahi hampir berulang kali. Apa lagi alasannya sekarang?” tukas Ratu cepat. Menatap Asta yang kini reflek berlindung di balik tubuh ayahnya, “Faresta, berkali-kali Ibu tanya padamu. Apa Ibu pernah mengajarimu berkelahi? Apa kau tahu seberapa banyak waktu Ibu terbuang hanya karena perbuatanmu?” Begitu dingin dan menekan. Asta menggigit bibir bawahnya, menahan tangis. Ia menggeleng kecil. “A-aku hanya tidak suka mereka mengejek kami terus, Ibu,” Ratu tidak menerima alasan lagi. “Ratu, hentikan sekarang juga. Kau boleh marah padanya, tapi lihat juga putra kita. Dia terluka,” “Itu karena perbuatannya sendiri! Pasti kau yang mengajarinya seperti ini ‘kan?!” Ravin reflek memeluk Asta di sampingnya, “Kakak, tidak salah, Ibu! Jangan salahkan, Kakak,” Pandangan wanita itu kembali menatap ke depan. Dengan raut tegas, tanpa ragu mengambil keputusan cepat. “Minta maaf sekarang juga.” Manik Asta melebar, “A-aku tidak mau,” Bibirnya gemetar. “Minta maaf sekarang juga, Faresta Aksa Mahapranu!!” Kali pertama Ratu membentak putra sulungnya tepat di depan semua orang. Tanpa memikirkan perasaan pemuda kecil itu. Batin Asta, kepercayaan sang Mahapranu pada ibunya hancur hari itu juga. “Ratu, kau sudah keterlaluan!” Berharap sedikit saja Ratu mau memberi waktu, dan membelanya. Berada di sisi Asta dan Ravin sebentar saja. “Aku minta maaf.” Kalimat dingin terucap dengan pelan. Kedua manik Asta perlahan redup, tak peduli seberapa Ravin memeluknya. Dia tidak percaya pada sang ibu lagi. Flashback Off – Tahun 2025
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD