STORY 06 - Jauh
***
Tahun 2040 – Pemakaman Khusus Anak-anak
Bagaimana kabarmu hari ini? Ravindra Abel Alterio, putra tampan yang kusayang dan kucintai? Apa kau hidup dengan tenang di atas saja? Apa kau bahagia, setelah pergi tanpa sempat berpamitan pada seluruh keluargamu?
Begitu banyak pertanyaan yang terlontar dalam pikiran Ratu. Tepat setelah wanita itu menghampiri makam, dan menempatkan semua barang kesukaan Ravin di dekat makam.
Ia segera mensejajarkan tubuh dengan makam Ravin, menutup kedua mata dan berdoa. Tak peduli seperti apa tatapan tajam Asta mengarah padanya.
Hening dan tenang, Ratu menghela napas panjang, berdoa bahkan bertanya setiap tahunnya. Bagaimana kabar Ravin?
‘Ibu, sangat merindukanmu.’ Batin Ratu.
Dia masih mengingat jelas seperti apa sifat Ravindra, sosok yang begitu tenang, dengan senyuman teduh. Meski berusia lebih kecil beberapa menit dari Asta, sikap Arsen sangat menurun pada pemuda itu.
Ramah, teduh, baik hati, dan sangat kuat. Tidak ada dalam kamus Ratu, sekalipun Ravin pernah benci atau sekedar marah padanya. Pemuda kecil itu sangat sabar, bahkan begitu menyayangi sang ibu.
Kenapa Tuhan harus mengambil putranya begitu cepat? Kenapa Tuhan tidak memberikan Ratu kesempatan untuk berubah dan memperbaiki kesalahannya dulu?
Ratusan, bahkan ribuan pertanyaan terlontar tanpa mendapat jawaban hingga saat ini. Detak jantung Ratu berdegup kencang,
Menggigit bibir bawah, saat membayangkan senyuman manis Ravin, tangisan pemuda kecil itu, dan yang terakhir-
“Aku hanya ingin Ibu yang menjemputku malam ini, janji ya!”
Ucapan terakhir Ravin. Penyesalan terbesar Ratu, jika saja dulu dia tak bodoh, dan mau sedikit saja mengorbankan waktu untuk Ravin. Semua hal ini tidak akan pernah terjadi.
Ratu tak bisa menahan tangisannya, meski sekuat apapun memasang ekspresi. Tetesan bening tetap menetes membasahi pipinya.
Kapan kau akan mengajak ibu pergi ke atas juga, Ravin? Kapan Tuhan menjemput Ratu? Dia sudah cukup lelah bertahan hidup di sini.
Kadang pikiran gila itu terlintas di pikiran Ratu. Wanita itu terlalu lelah. Begitu banyak tragedy yang datang, kematian silih berganti, dan semua itu karena kelalaiannya.
Kematian Ravin, bahkan kematian sahabatnya Hanum. Perceraiannya dengan Arsen, pernikahan laki-laki itu dengan Rheandra. Lalu apa lagi? Asta membencinya.
Semua semakin memburuk dari hari ke hari. Banyak doa Ratu panjatkan, semoga Ravin bahagia di sana. Meminta maaf berulang kali, meski sudah terlambat. Tapi Ratu akan menerima semua hukuman yang Tuhan berikan padanya. Dia janji.
Tepat saat kedua manik itu terbuka, Ratu melihat nama Ravin tercetak lengkap di batu marmer berwarna kecoklatan diselimuti bercak keemasan.
Salah satu tangannya berniat mengelus batu marmer tersebut, tapi sayang Asta menghalangi Ratu. Manik mereka bertemu lagi,
“Ibu, mau apa?” tanya laki-laki itu tajam.
Ratu mengerjap tipis, “Ibu, hanya ingin mengelus makam adikmu saja, Asta.” jawabnya pelan.
Asta mendengus sinis, “Jangan harap Ibu bisa melakukannya. Apalagi di depanku. Selama ini kau tidak pernah mengusap ataupun mencium puncak kepala kami ‘kan? Untuk apa Ibu sekarang repot-repot mengusap benda mati? Tidak ada gunanya.”
Tubuhnya menegang, perkataan Asta tepat menohok jantungnya. Napas Ratu terasa sesak, genggaman Asta begitu kuat.
“Maaf.” Hanya itu yang bisa Ia ucapkan, perlahan menarik tangannya sendiri.
“Asta, jaga sikapmu.” Sebelum suara baritone Arsen menginterupsi mereka berdua. Laki-laki sudah selesai dengan doa-nya. Menatap Asta dengan tegas, “Lepaskan tangan Ibumu.” jelas Arsen lagi.
“Tidak sebelum dia berjanji menjauhkan tangannya dari makam adikku.” Balas Asta berani. Manik Ratu melebar, melihat bagaimana Asta begitu mudahnya membantah ucapan Arsen.
“Kau berani membantah ucapan, Ayah?” Arsen berjengit, amarahnya mulai naik.
“Kenapa memangnya? Ayah, sejak dulu selalu membela wanita ini, tidak pernah sekali pun Ayah berani melawan atau setidaknya bertingkah seperti kepala keluarga yang tegas di depan Ibu!!” Ucapan Asta semakin keluar dari jalur.
“Jaga ucapanmu, Asta!!”
Napas Ratu terasa sesak, sejak kapan sikap Asta berubah drastis. Sosok yang begitu mengagumi sang ayah, dan begitu manja dengan Arsen, kini bersikap kasar.
Tidak, jangan di depan Ravin. Ratu tidak mau. Sudah cukup, jangan membuat situasi semakin buruk!
Bibir wanita itu berniat melerai kedua ayah dan anak di depannya.
“Arkha, ingatlah kita sedang berada dimana sekarang. Jaga emosimu. Asta, kau juga. Ravin bisa menangis jika melihatmu berteriak di depannya.”
Sayangnya, Rheandra yang bergerak lebih dulu. Menepuk punggung Arsen lembut dan pundak Asta, berujar lembut.
Satu kalimat mereka mampu menenangkan keduanya dengan cepat. Arsen mungkin bisa menahan amarahnya tapi tidak bagi Asta,
Dibandingkan diam, dia lebih dulu bangkit setelah berdoa, “Aku pulang lebih dulu, ayah dan ibu pulang saja berdua.” Tanpa menatap Ratu lagi, Asta bergegas pergi. Tentu saja panggilan ‘ayah dan ibu’ itu bukan ditujukan untuknya.
“Asta!” Mengabaikan panggilan Arsen, meninggalkan ketiga orang dewasa itu bersama.
***
Area parkiran mobil – Di luar Pemakaman Khusus Anak
Tania masih setia menunggu kedatangan sang Nyonya dari area pemakaman. Sembari sesekali mengecek handphone dan menghubungi sang putri via videocall.
“Maama!!” Suara kecil nan menggemaskan dari gadis kecil berusia lima tahun. Ditemani sang suami yang setia menemani putri mereka.
“Bagaimana kabar, putri Mama?”
“Kangen Mama! Risa, mau ketemu Mama!” Begitu lincah dan lucu. Semangat Tania semakin terpompa. Wanita yang awalnya terfokus pada layar handphone.
Saat melihat sekilas sosok seseorang yang cukup menarik perhatiannya. Tania langsung saja mengalihkan pandangan.
‘Lho, itu ‘kan,’ batinnya sedikit tak yakin, menyipitkan kedua mata, tubuh tegap seorang pemuda tampan keluar dari area pemakaman. Dengan langkah yang lebar dan wajah dingin,
Asta, putra nyonya Ratu. Tania tidak akan pernah lupa, apa dia datang ke makam juga? Lalu dimana sang nyonya? Kenapa hanya Asta saja yang keluar dari sana?
Perasaan Tania tak enak, wanita itu langsung mengalihkan pandangan sejenak. Memutuskan sambungkan setelah mengucap selamat tinggal pada sang putri.
Alisnya tertekuk, saat melihat Asta berdiri sembari sibuk menghubungi seseorang?
Kenapa Asta sendirian? Mana ayah atau ibu tirinya? Apa dia datang ke sini sendiri? Begitu banyak pertanyaan datang, tapi semua itu langsung terputus saat Tania melihat sebuah mobil berhenti tepat di dekat Asta sekitar lima belas menit kemudian.
Satu orang laki-laki keluar dari dalam mobil, dengan pakaian santai, manik Tania menyipit, ‘Anak itu memakai anting dan tindik?’ Salahkah kalau Tania melihat sendiri kalau penampilan beberapa teman Asta nampak sangat liar?
Dia pasti salah lihat.
Asta tertawa, sosok itu merangkul sang Mahapranu dan mengajaknya masuk ke dalam mobil. Jarak mobil mereka cukup dekat dengan mobil Tania. Sebelum mereka pergi, Tania sengaja menurunkan kaca mobil.
Mendengar samar percakapan kedua orang itu, “Kau ikut dengan kami ‘kan malam ini?”
“Tentu saja,”
“Kita pasti menang jika kau ikut andil. Menghancurkan orang-orang itu bukan masalah lagi, khahaha!”
Menghancurkan? Malam ini? Menang? Apa maksudnya?!
“Moodku sedang tidak bagus hari ini, jadi biarkan saja orang-orang itu jadi pelampiasanku,”
“Kau benar!”
Masuk ke dalam mobil, dan beberapa menit kemudian. Asta benar-benar pergi bersama orang-orang itu?!
Tania bergegas keluar dari dalam mobil guna memastikan sekali lagi, sebelum mobil itu pergi jauh. Ia bergerak mengambil handphone dan langsung saja memotret nomor plat kendaraan kendaraan yang membawa Asta pergi.
Meski tak begitu jelas, tapi setidaknya dia berhasil mendapat bukti. Wanitu sedikit bingung dan terkejut mendengar percakapan dua orang tadi,
‘Semoga Asta tidak melakukan hal-hal aneh,’
Jika memang benar, Tania harus memberitahu nyonya Ratu tentang masalah ini. Sebelum semua terlambat.
***
Flashback On – Tahun 2024
Pagi hari – pukul 05.00 am. Kediaman Ratu
Tubuh wanita itu terhuyung sekilas, menahan lapar dan pening di kepala. Berkutat sejak pukul sembilan malam, dia baru bisa pulang pagi.
Hanya untuk berganti pakaian dan menyiapkan dokumen lain, setelah ini Ratu harus kembali ke kantor untuk bertemu klien pukul 10 pagi nanti.
Berjalan dengan manik redup, tubuhnya sangat lelah. Tanpa sadar menoleh, melihat pintu kamar berwarna biru dengan tulisan menggantung di tengah-tengahnya.
[Kamar Ravin dan Asta]
Ratu terdiam, langkah kakinya berhenti sekilas. Sejak tadi dia tidak mendengar suara tangis atau rengekan salah satu putranya. Rheandra juga pasti sudah pulang,
Bagaimana kondisi mereka? Tiba-tiba terlintas di benaknya, mengingat janji yang pernah Ia buat tadi malam, dan Ratu ingkari begitu saja.
Apa dia terlalu keras dengan kedua putranya? Kadang Ratu berpikir seperti itu. Wanita yang tumbuh di bawah lingkungan penuh tekanan. Tidak pernah menerima kasih sayang dari kedua orangtua, dan cenderung mendapat banyak sekali tuntutan.
Tak seperti berita di televisi, bagaimana pintarnya ayah dan sang ibu merawat kedua anak mereka. Di balik layar, pekerjaan yang Ratu lakukan setiap hari hanya. Belajar, menjadi murid terbaik, belajar, belajar, tanpa henti.
Melihat seperti apa perbedaan prilaku yang Ia terima, dibanding pada sang kakak. Sosok penerus keluarga Ragnala.
Tumbuh menjadi wanita ambisius, dan sangat ingin mengalahkan kakak laki-lakinya. Itulah tujuan Ratu dari dulu.
Tanpa Ia sadari, wanita itu melangkah pelan. Membuka pintu ruangan Asta dan Ravin. Perlahan agar tak bersuara,
Ruangan nampak gelap, dan hanya ada cahaya dari luar ruangan. Kedua matanya langsung tertuju ke arah tempat tidur kembaran itu.
Berjalan masuk, sampai akhirnya Ratu berdiri tepat di samping tempat tidur. ‘Mereka sudah tidur,’ batinnya tipis.
Melihat bagaimana kedua kembaran itu nampak tidur dengan pulas. Gaya tidur mereka beragam, Ravin tidur memeluk bantal guling berbentuk doraemon kesayangannya, dan Asta-
Ratu tak bisa menahan senyum tipis, Asta tidur dengan posisi terbalik dari posisi Ravin. Kedua kakinya berada menyentuh headbed, menyingkap jatuh selimut yang menutupi tubuhnya. Benar-benar kacau,
Pemuda kecil itu nyaris jatuh karena terlalu tidur di pinggir. Ratu bergerak cepat, kedua tangannya dengan pelan, membenarkan tubuh mungil Asta kembali. Menidurkan sang putra di samping Ravin.
‘Arsen bilang mereka demam ‘kan.’ batinnya lagi, kali ini Ia reflek menyentuh kening Asta dan Ravin bergantian.
Menghela napas panjang saat merasakan panas badan keduanya sudah menurun karena sudah menggunakan babyfever.
Dia hanya sekedar memastikan, tidak lebih. Tubuh yang awalnya menunduk hendak kembali berdiri tegap. Pergi ke kamar dan-
“Ibu, hue—ibu,”
Tubuh Ratu menegang saat mendengar rengekan kecil dari Asta. Sepertinya pemuda kecil itu sedikit terganggu karena tindakannya tadi.
Bingung, dia tak tahu harus melakukan apa?! Tubuh tegap itu hanya berdiri, dengan wajah memastikan kondisi Asta.
“Bu—ibu jangan pergi, huee,”
Kali ini Ravin ikut merengek, rewel dalam mimpinya. Ratu semakin bingung, meneguk ludah tanpa sadar. Oke, sebelum mereka bangun.
Wajah tanpa ekspresi itu bergerak cepat dan langsung duduk di samping tempat tidur mereka. “Ssh, tidurlah lagi.” Mengelus puncak kepala Asta dan Ravin bergantian. Lembut dan pelan, diliputi rasa takut membangunkan keduanya.
Siapa menyangka, tindakan wanita itu ternyata sanggup menenangkan Ravin dan Asta. Beberapa menit saja keduanya kembali terlelap dalam mimpi.
‘Hh, apa yang mereka mimpikan,’ desah Ratu heran. Merasa aneh, kenapa Ravin dan Asta selalu memanggilnya dibanding Arsen. Dia yang sibuk dengan pekerjaan dan Arsenlah yang sering bersama mereka.
Tapi sekarang, saat sakit Ravin dan Asta justru menginginkan dia di sisi keduanya. Dia merasa aneh, tak biasanya Ratu bisa dialihkan dengan masalah seperti ini.
Dulu dia berjanji untuk tidak terlibat lebih dalam dengan hubungan pernikahannya dengan Arsen. Tak ada kasih sayang berlebih, tak ada cinta di rumah ini. Hubungan mereka hanya sekedar kontrak belaka.
Jadi, untuk apa dia melakukan ini?
Menarik napas panjang, wanita yang berniat untuk pergi itu terdiam sesaat. Menatap kedua putra mungilnya. Dua manusia kecil yang sempat tinggal di dalam rahimnya selama sembilan bulan.
Tangan itu bergerak menghapus air mata di beberapa sudut wajah mereka. Sapuan yang lembut, “Kalian benar-benar cengeng,” bisiknya tipis.
***
“Ratu?”
Tubuh Ratu menegang, saat keluar dari kamar kedua putranya yang tadi tertutup. Wanita itu mendapati sosok Arsen sudah berdiri dengan baskom dan handuk kecil di salah satu tangan.
Pandangannya teralih, reflek membenarkan anak rambut dan berniat pergi.
“Kau sudah melihat kondisi Asta dan Ravin?” Tapi Arsen sudah menanyakannya lebih dulu.
Pandangan mereka bertemu lagi, “Ya,” Satu jawaban singkat Ratu berikan.
Melihat jelas bagaimana Arsen tersenyum teduh, “Demam mereka sudah turun dibandingkan kemarin. Apa kau baru pulang? Bagaimana kondisimu?”
Arsen sama sekali tidak marah atau menuntutnya apapun. Laki-laki itu justru menanyakan keadaan Ratu. Sang Edrea tertegun sekilas,
Sebelum akhirnya bergerak melemaskan otot, “Kau tidak perlu khawatir dengan kondisiku. Jaga saja anak-anak itu,”
Dia tidak menyadari tangan besar Arsen bergerak menyentuh salah satu pipi Ratu lembut. “Wajahmu pucat dan matamu merah, kau pasti belum tidur sejak tadi malam.”
Perhatian besar yang selalu Arsen lakukan, kadang kali membuat Ratu kaget. Wanita itu tersentak, reflek menatap Arsen dengan manik melebar,
Raut wajah khawatir tercetak di wajah tampannya, “Tidurlah dulu, aku akan membuatkan sarapan untukmu.”
Perhatian besar dan jarang Ratu terima dari kedua orangtuanya. Tidak, dia tidak boleh lengah. Arsen melakukan ini karena kontrak saja. Ini kewajiban laki-laki itu!
Bergerak pelan dan menjauhkan tangan Arsen dari wajahnya. Wanita itu mendengus tipis, “Sudah kubilang tidak perlu,” Tanpa menunggu lebih lama, Ratu berjalan pergi meninggalkan Arsen di sana.
Menaiki tangga dengan degup jantung tak teratur. Kenapa laki-laki itu selalu melakukan hal-hal aneh?! Ratu kesal, dia bahkan hampir saja tidak bisa mengatur ekspresi wajah di depan laki-laki itu!!
Tubuhnya terasa panas, ‘Hh, aku pasti terlalu lelah,’
Flashback Off – Tahun 2024