“Ini seragam lo ...” Miftah meletakan satu seragam baru di meja Abdan. Abdan nampak tidak tertarik untuk melirik seragam barunya, apalagi Miftah yang berdiri di samping mejanya. Cowok bermata biru hazel itu, pura-pura tidak menyadari kehadiran Miftah di sana dan tetap melanjutkan percakapannya dengan Vidi dan Abdan.
“Seragam gue mana? “ tanya Miftah, berusaha tidak terpancing emosi. Dua menit, tiga menit menunggu, Abdan masih dengan sikap menyebalkannya.
“Abdan! “ tidak tanggung-tanggung suara Miftah naik lima oktaf, sekarang bukan hanya Abdan saja yang menoleh karena telinganya berdenging, tapi hampir satu kelas. Miftah menghela nafas panjang, memasang wajah tanpa bersalah, toh, satu kelas juga sudah membencinya.
Abdan berdecak tidak suka. “Gue buang,” katanya sembari menyendokan bahunya ringan.
“Ha? Lo buang? “ Miftah mendelik. Sudah bersiap mengeluarkan suara dengan oktaf paling tinggi, tapi gagal saat Vidi mengeluarkan sesuatu dari laci meja.
“Tuh seragam lo, buruan ambil,” kata Vidi datar, malas dengan pertengkaran yang mungkin saja terjadi akibat Abdan yang enggan memberi seragam Miftah.
Miftah tersenyum lambat-lambat, perlahan bisa bernafas lega, perkataan Abdan tentang membuang seragamnya sangat Miftah percayai.
“Kenapa lo masih di sini? “ satu alis Abdan terangkat. Wajah risih menyertai tatapan tidak sukanya. “Pergi lo sana! “
“Ini jam istirahat,” sahut Miftah cepat.
Abdan tidak menanggapi, cowok itu nampak makin kesal.
“Gue mau ke kantin,” sambung Miftah.
Dahi David dan Vidi seketika berlipat. Keduanya tidak paham arah pembicaraan Miftah. Tapi Abdan mengerti maksud dari Miftah. Gadis berpipi tembam itu tidak perlu menjelaskan dengan rinci.
“Buruan!”
Abdan mendelik. “Gue gak menerima perintah! “
“Oh, gitu ...” Miftah tersenyum samar. “Perintah bu Ingit juga? “
Seketika wajah marah Abdan membeku, jika manusia bisa mengeluarkan asap, mungkin sekarang sudah ada asap keluar dari hidung mancungnya.
“Dan, lo mau ke mana? “ tanya Vidi begitu Abdan tanpa aba-aba bangkit dari bangkunya.
“Kantin,” sahut Abdan singkat. Kedua tangannya ia masukkan ke saku celana.
“Lo.. buriik? “ Vidi menatap keduanya berganti, di kepalanya terdengar suara-suara yang berasal dari gosip-gosip kaleng. Apa mungkin mereka benar-benar...
“Buruan kita ke kantin. “ Abdan mengintrupsi lamunan Vidi. “Gue gak sudi ke kantin bareng buriik doang! “
Sejurus berikutnya, mereka sudah sampai di kantin. Miftah tidak peduli akan kalimat cemoohan dari beberapa siswi yang merasa terusik lantaran Miftah bagi lumut yang mengganggu penglihatan mereka, mengekor di belakang tiga pemuda yang setiap kali mereka bergerak seolah pusat dunia berada di tengah-tengah mereka.
“Eh, kalian Abdan sama Miftah, kan? “ tanya petugas kantin saat Abdan memberikan name tag miliknya untuk bisa masuk.
“Iya, Pak,” jawab Abdan malas.
“Oh, kata bu Ingit, kalian masuk bareng, kan? “ tanyanya lagi. Yang lagi di jawab anggukan pelan Abdan. Abdan memutar bola mata malas, saat melihat tatapan tanya dari Vidi dan David.
“Iya itu hukuman dari bu Ingit karena gue buang name tag buriik.”
“Oh ...” kompak keduanya.
“Pas makan, Lo harus cari di tempat terjatuh dari gue! Gue gak mau lo dekat-dekat gue! “ Abdan mengintrupsi sebelum Miftah melangkah lebar dengan senyum mengembang membayangkan banyak makanan yang siap ia makan. Miftah memutar bola mata malas, dia tidak peduli apa yang cowok itu katakan dan langsung pergi tanpa memberi komentar.
“Jauh-jauh dari gue! “ suara Abdan masih terdengar di telinga Miftah. Miftah mendengus keras. Siapa juga yang mau dekat-dekat dengan cowok macam Abdan ! Jika ujung dunia berani Miftah tempuhi, dia akan makan di sana.
Miftah hendak melangkah, tapi terhenti saat Sinty tiba-tiba muncul di depannya. Sinty muncul di depan Miftah. Sangking semangatnya Miftah sampai tidak menyadari Sinty berjalan ke arahnya.
“Miftah ... kamu kok? “ Sinty tertegun sesaat teralihkan fokusnya lantaran menangkap sosok Abdan dari balik punggung Miftah.
“Name tag kamu udah ketemu?” tanyanya setelah beralih menatap Miftah kembali.
“Belum. Aku bisa masuk pake name tag Abdan.” Miftah menoleh kecil ke arah Abdan.
“Ha? Pakai name tag Abdan?” Sinty mengerjap, kaget. “Serius? Kok bisa? “
Miftah mengangguk malas. “Yap. Itu hukuman bu Ingit buat Abdan. Ya udah yuk, nanti aja aku ceritanya. Sekarang kita makan dulu. Lapar nih ...” Miftah langsung menarik tangan Sinty yang masih nampak bingung mencerna informasi yang Miftah sampaikan.
Miftah mengedarkan pandangannya, mencari tempat yang paling sepi pembelinya. Miftah malas berlama-lama mengerti, toh, semua makanan menurut Miftah enak. Berbeda dengan Miftah, Sinty lebih memilih untuk ke outlet yang terbilang ramai karena menyukai rasa makanan di sana. Soal makanan Sinty memang terbilang lebih pilih-pilih. Makanya badannya gak sesulit badan Miftah, yang apa aja di lahap. Yang penting jenis makanan dan halal.
“Nanti aku susul kamu ke sana ...” kata Miftah setengah berteriak pada Sinty yang sudah berpamitan ke outlet seberang.
Miftah membeli satu mangkuk lontong sayur plus satu mangkuk gorengan berisi tahu, tempe dan bakwan dan satu botol air mineral. Miftah melihat ke arah Sinty, gadis itu masih nampak sibuk berjubel dengan orang-orang yang saling dorong untuk mendapatkan pesananya, beruntung badan kecil Sinty memudahkan gadis itu untuk menyelinap dan membeli dua bungkus roti dan air mineral. Miftah berjalan menghampiri Sinty.
“Iya, kemarin ada orang diam-diam masuk ke sini, dia nyelip pas ada rombongan yang masuk.”
“Terus gimana? Dia bisa keluar? “
Langkah Miftah melambat, telinganya tidak sengaja menangkap percakapan dua siswi yang asing di matanya. “Kelas sepuluh,” gumam Miftah saat tanpa sengaja melihat lambang X di sisi lengan kanan salah satu siswa itu.
Gadis itu menggeleng dramatis. “Dia gak bisa keluar. Kasihan banget tahu.”
“Sepenting itu ya ternyata name tag ini.”
Miftah terus melangkah, tapi perkataan dua siswi itu masih mengendap di pikirannya. Nasibnya mungkin saja akan menimpa dirinya jika ia terlalu percaya pada Abdan.
“Mif, kita mau makan di mana? “ tanya Sinty membuyarkan lamunan panjang Miftah.
“Di sana.” Miftah langsung menunjuk ke arah meja Abdan tanpa pikir panjang lagi.
“Ha?! Di sana?!” Sinty terbelalak, mulutnya komat-kamit seperti tengah merapal doa sebelum kembali bersuara. “Itu, kan meja Abdan ...”
“Iya, di sana. Meja itu milik bersama. Siapa aja berhak duduk di sana. Lagian meja yang lain udah pada penuh.” Miftah menahan tangan Sinty yang hendak berbalik. “Lagian gak ada kursi kosong juga.”
“Aku gak ikut deh, mending aku makan di kelas aja. Biarin bolak balik, ketimbang duduk di sana. Aku gak mau duduk di sana.” Sinty menggeleng keras.
“Kita harus mematahkan sikap otoriter Abdan yang sok merasa berkuasa di sekolah ini. Selama ini kita selalu bersikap seperti sapi di cucuk hidungnya. Diam aja.” Miftah berdecak pelan. “Itu bangku bersama,” ujar Miftah penuh penekanan. Ada semangat membara di mata gadis itu, seolah pejuang yang hendak melawan penjajah.
“Ayo...”
“Mift, tapi... “
“Gak usah takut sama mereka. Takut tuh cukup sama Allah aja,” ujar Miftah menenangkan Sinty yang makin tegang lantaran jarak mereka yang tinggal lima langkah lagi.
“Lo ngapain di sini?! “ Abdan menatap sinis Miftah. Orang yang di tatap nampak acuh menaruh makannya lalu di susul dengan dirinya yang duduk di bangku.
“Gue mau duduk di sini.” Miftah melempar senyum masam ke arah ketiganya. Vidi mendengus dan David nampak seperti biasa, menatap datar. Sinty duduk dengan malu-malu, sebelum duduk Sinty menatap sekilas ketiga cowok yang nampak tidak suka dengan kedatangan mereka. Merasa takut dan malu, Sinty mendekatkan tubuhnya dengan Miftah hingga hanya ada jarak sedikit di antar duduknya.
Abdan yang terlihat seperti kebakaran jenggot. “Lo gila ya ?!”
“Kalo gue gila, gak mungkin gue ada di sekolah,” sahut Miftah santai. Perundungkan kemarin semakin memperkuat jiwa pemberontak pada diri Miftah. Berhadapan dengan Abdan Cs tidak bisa dengan kepala dingin.
“Lo gak boleh duduk di sini !” pekik Abdan geram. Tangan kanannya sudah terkepal di atas meja.
“Gue mau duduk di sini.” Miftah dengan santai menyuap lontong ke dalam mulutnya. Miftah tersenyum kecil, saat kuah lontong menyapa lidahnya. Ahh... Enaknya, sudah lama rasanya. Berbeda dengan Miftah yang santai, Sinty nampak takut. Gadis bermata almond itu sendari tadi menunduk tidak berani mengangkat kepalanya menyembunyikan tangannya yang sedikit tremot. Sinty berhati lembut, dia tidak bisa dibentak seperti ini.
“Lo b***k ya?! Gue bilang gak boleh!” pekik Abdan lagi. Miftah melirik Sinty, terlihat dari sudut mata Sinty ada air mata yang hampir menitik turun. Miftah diam-diam meraih tangan Sinty yang gemetar, meremas pelan tangannya, menenangkan sahabatnya itu. Sinty mengerti isyarat Miftah untuk tidak menangis dan terlihat lemah. Sinty mengangguk pelan, tangannya dengan cepat mengusap sudut ujung matanya.
“Lo nakutin tuh cewek,” bisik David setelah berhasil menyikut pelan lengan Abdan.
“Lo b***k ya? Gue bilang mau duduk di sini. Lagian, gue gak pernah percaya sama lo. Mungkin aja diam-diam tinggalin gue.” Miftah mendelik. “Jadi sekarang, bisa gue makan dengan tenang tuan Abdan? “
“Udah Mif, kita duduk di pinggir situ aja. Kita bisa duduk lesehan.” Sinty bersuara pelan.
“Gak perlu, Sin. Di sini masih ada dua kursi lagi, pas buat kita. Kamu gak perlu taku, kalo orang ini macam-macam biar aku lapor ke bu Ingit. Gak perlu tegang, anggap aja mereka gak ada.”
“Mif, kayaknya aku pindah aja deh.” Sinty berbisik pelan, duduk di sini seperti duduk di meja persidangan, gadis bermata almond itu tidak bisa duduk dan makan dengan tenang. Dia sangat takut dan bingung.
Baru hendak beranjak tangannya sudah terlebih dahulu dihentikan Miftah yang tangan kanannya masih setia memegang makanan yang siap masuk ke dalam mulutnya.
“Duduk tenang aja di sini. Mereka gak bakal makan orang.” Miftah melirik ketiga cowok itu yang nampak terpanggil lantaran kalimat sindiran Miftah barusan.
“Iya, Lo duduk aja di sini. Kita ini tampan, gak buriik kayak teman lo itu,” sahut Vidi, tidak terima dengan sindiran Miftah barusan. “Makan aja santai.”
Sinty tanpa sengaja melirik ke arah Abdan yang duduk di tepat di sebelah kanan Vidi. Cowok bermata biru hazel itu tersenyum saat mata mereka tanpa sengaja berpapasan sekilas.
Kalo gini mana bisa aku santai ...gerutu Sinty. Senyum sekilas yang Sinty liat sukses membuat jantung gadis itu berdebar dengan sangat cepat. Sinty refleks memegangi jantungnya. Berdebar sangat hebat.. Ya Allah gak sengaja kok liat senyumnya yang indah.
“Lo sakit jantung?” suara dari sebelah kiri Vidi—David membuyarkan lamunan Sinty. Menyadarkan gadis itu kalo tangannya sendari tadi bertengger di d**a.