“Kok, name tag gue gak ada ya? “ mata Miftah yang semula tinggal lima watt, mendadak jadi terang benderang kembali. Gadis itu buru-buru mengeluarkan semua benda dari dalam tasnya demi mencari benda mungil berbentuk persegi panjang itu. “Perasaan gue masukin ke sini. Tapi kok gak ada sih! “
“Duh, ke mana sih tuh benda kecil! Nyusahin gue aja.” gumam Miftah, yang tak kunjung menemukan benda itu.
“Perasaan gue gak ada bawa ke mana-mana, kecuali ke ...” Miftah refleks menepuk pelan jidatnya. “Astagfirullah, apa mungkin jatuh di bangunan itu ya ... pas gue lari? Ya Allah, kenapa gue mesti lari pake name tag segala sih! “
Miftah mendengus kesal, name tag seperti nyawa bagi setiap murid madrasah terkhusus bagi Miftah. Benda kecil yang memiliki banyak manfaat selain hanya sekedar mencantumkan nama si pemilik dan sebagai atribut resmi sekolah, name tag di sekolahnya juga berfungsi untuk absen mendapat akses maksud perpustakaan dan yang paling terpenting akses untuk bisa masuk ke kantin dan mendapat makanan gratis setiap hari jumat.
“Arggghh ... bahaya nih! “Miftah histeris sendiri membayangkan semua itu yang tidak lagi bisa ia dapatkan dalam waktu dekat. Pasalnya butuh proses panjang untuk membuat uang benda pipi yang sekilas terlihat seperti name tag pada umumnya. Namun kenyataannya benda itu, memiliki kode yang berbeda-beda setiap siswa yang tentunya tidak mudah untuk dibuat ulang dan membutuhkan proses yang lama dan ribet.
“Ck! Bisa-bisa tubuh gue beneran kurus deh kalo kayak gini,” gumam Miftah, nelangsa. “Bye-bye lemak tubuh, dalam waktu dekat ini gue bakal banyak ngurangi jatah makan Lo.”
.
.
Abdan sangat bersemangat hari ini. Netra berwarna biru hazelnya sendari tadi terus menyipit karena smile eye yang terus Abdan lakukan. Bukan hanya itu, sangking semangatnya Abdan bahkan datang lebih pagi ke sekolah dari jadwal rutin biasanya. Vidi dan David mau-tidak mau juga datang lebih pagi mengikuti Abdan yang sekarang tengah menulis sesuatu di papan tulis. Belum ada siapa pun di kelas, bahkan satpam sekolah saja baru datang dengan motor bebeknya keheranan melihat tiga pemuda yang biasanya malas-malasan mendadak jadi sangat rajin.
“Lo mau buat apa? “ tanya Vidi yang baru saja meletakan tasnya di bangku.
Abdan menoleh sekilas ke arah mereka sebelum kembali fokus dengan spidol dan papan tulis. “Seharunya gue buat power poin atau video buat ditampilin di proyektor.”
“Lo harus jelasin sekarang, Dan.” David bangkit dari bangkunya mendekati Abdan yang sekarang tersenyum puas menatap papan.
“Welcome? “ alis David terangkat. Ternyata sejak tadi Abdan sibuk membuat grafiti dengan tulisan yang membuat David harus berpikir tajam.
“Yap! Hari ini akan ada murid baru di kelas kita. Eh, tapi secara teknis dia bukan murid baru, tapi baru di kelas kita.” Abdan tersenyum samar.
“Jangan bilang kalo Lo ...” David menoleh.
Abdan mengangguk membenarkan analisis cepat David. Sedangkan Vidi, cowok berkulit sawo matang itu harus menyusun semuanya sebelum mengerti apa yang ada di kepala kedua sahabatnya.
“Gadis itu harus kita keluarkan dulu dari kolomnya dengan begitu kita akan mudah memanennya.” Senyum Abdan berubah menjadi serengaian mengerikan.
.
.
“Miftah Santika, kamu di mutasi ke kelas sebelas IPA satu.”
Rangkaian kalimat yang keluar dari bibir bu Indah—wali kelasnya, bagai petir di siang bolong di telinga Miftah. Tanpa angin, tanpa hujan, tiba-tiba ia di mutasi ke kelas yang terkenal hampir diisi oleh golongan siswa- siswi berwajah rupawan, dan tentunya termasuk g**g pemuda tampan. Entahlah kenapa bisa begitu, Miftah juga tidak tahu apa memang pihak sekolah sengaja mengumpulkan semua murid berparas elok ke kelas itu, seperti kabar burung yang beredar. Yang Miftah tahu, sekolah ini memang sangat unik dalam membagikan kelas untuk siswinya, misalnya di kelas sebelas IPA dua—yang sekarang menjadi mantan kelas Miftah, hampir diisi golongan murid berotak cemerlang, rangkinh satu sampai tiga umum setiap tahun selalu disabet oleh murid-murid dari kelasnya. Mereka mati-mati untuk saling beradu kecerdasan di sana, hingga Miftah yang sebenarnya tidak bodoh-bodoh amat, terasa kecil di hadapan mereka. Lalu di kelas sebelas IPA tiga—kelas Flo dan Flores, merupakan kelas yang diisi murid dengan status beragam, mulai dari anak pejabat sampai anak donatur ada di sana.
“Mif, Lo beneran di mutasi ke kelas itu? “tanya Sinty dengan raut sedih—jelas Sinty harus bersedih dong karena kehilangan sahabat seimut dan secantik Miftah.
Miftah mengangguk mantap, begitulah yang dikatakan wali kelasnya tadi saat jam istirahat.
“Tapi kenapa?”
“Karena gue cantik,” sahut Miftah enteng. “Mereka mungkin sadar, kalo gue emang secantik itu dan harus pindah ke sana,” tambahnya lagi seraya tersenyum lebar.
Meski tidak puas dengan jawaban Miftah, tapi harus Sinty akui memang Miftah memiliki ‘kecantikan' versinya sendiri. Aura cantik yang tidak di miliki oleh semua orang yang berparas rupawan.
Miftah memang tidak ‘cantik' secara fisik dengan pipi besar dan hidung yang tenggelam karena lemak pipinya, tapi Miftah memiliki rasa percaya diri yang tidak dimiliki semua orang termasuk Sinty. Seberapa banyak orang mengatakan bahwa dirinya cantik, Sinty tetap memvonis dirinya si buruk rupa. Berbeda dengan Miftah yang selalu bersyukur dengan apa yang dia miliki. Miftah memang cantik bagi yang paham apa itu kecantikan sesungguhnya.
“Miftah, beneran Lo di mutasi ke kelas sebelah?” Sambil mengatur nafas karena baru saja berlarian, Rania—ketua kelasnya menatap lekat Miftah, seolah tengah mencari sesuatu yang membuat gadis berkaca mata itu mengernyit bingung. Kabar mengenai Miftah yang akan dimutasi ke kelas sebelah IPA satu tersebar dengan sangat cepat. Semua murid IPA bertanya-tanya kenapa Miftah yang bisa dibilang jauh dari standar ‘cantik' semua orang, dipindahkan ke sana.
“Iya, gue mau pindah sekarang,” kata Miftah yang telah rampung merapikan buku dan peralatan tulisnya. “Gue pamit ya.”
“Mif, tunggu dulu....” Rania menahan pergerakan tangan Miftah yang hendak meraih ranselnya untuk disematkan ke punggung lebarnya. “Gue mau minta tolong Lo.”
Dahi Miftah mengernyit. Untuk pertama kalinya seorang Rania—si ketua kelas yang selalu menyabet juara satu umum dan paling tidak suka meminta minta tolong, kini meminta tolong pada Miftah yang sama sekali tidak pernah diajaknya berbicara meski sudah satu tahun sekelas bersama. Ini untuk pertama dan mungkin terakhir kalinya, Rania menyapa Miftah.
“Soal apa? Kalo tentang X dan Y gue gak bisa bantu. Lo tahu sendiri, gue gak pernah suka nyari tuh dua anak manja yang selalu ilang muluk.”
“Bukan ... bukan soal itu.” Rania menggeleng cepat, satu tangannya merogoh saku tok panjangnya. Rania mengeluarkan sebuah amplop putih dari saku roknya. “Tapi soal ini.”
Kerutan pada dahi Miftah makin bertambah. “Apaan tuh? Soal terbaru matematika?”
Rania melirik Sinty yang masih setia duduk di sebelah bangku Miftah, lantas mengecilkan volume suaranya. “Gue titip ini ya tolong berikan pada Abdan.”
Miftah menghela nafas panjang, dia pikir apa. Ternyata Rania salah satu penggemar Abdan. Miftah tidak habis pikir ternyata seorang Rania yang selama ini terlihat kaku dan hanya terlihat obsesi pada buku-buku tebal serta deretan angka yang memusingkan mata, rupanya juga terkontaminasi virus ‘ketampanan’ Abdan sama seperti Sinty.
“Selama ini gue gak pernah bisa buat dekat sama dia, jadi .. Lo kan bakal satu kelas sama dia, Lo bisa tolong gue, kan? “
Miftah menimbang-nimbang.
“Pliss bantuin gue. Perasaan ini buat gue gak fokus belajar. Gue harus ungkapin biar lega, buat hasil akhirnya, gue gak mengharap apa pun,” bujuk Rania.
“Gue gak bisa, Rain,” tolak Miftah. Bukan tidak ingin membantu teman sendiri, tapi Miftah merasa akan lebih banyak mudorot yang Rania dapat setelah Abdan tahu kalo si juara satu suka padanya. Bisa-bisa Abdan memanfaatkan kesempatan itu untuk memeras otak Rania dan menggunakan Rania sebagai pion agar memperoleh nilai tinggi.
“Kenapa? Lo takut gue dimanfaatin Abdan ?” tebak Rania. Meski bukan teman akrab Miftah, Rania tahu kalo gadis berbadan gemuk itu memiliki hati yang sangat besar melebihi besarnya rasa percaya diri Miftah. Rania tahu kalo selama ini, Miftah adalah orang yang paling tulus di antara siswa yang lain. Siapa pun gadis itu tolong, bahkan orang-orang yang sering menghina fisiknya.
“Itu Lo tahu alasan gue gak bisa nolongin Lo. Kabar burung emang gak selalu benar, tapi ada baiknya mengantisipasi segalanya. Payung gak akan guna kalo udah kejebak hujan,” jelas Miftah.
Selama ini Miftah memang hanya mendengar mengenai Abdan dan kedua temannya dari kabar burung yang beredar, tapi kemarin, Miftah berhadapan langsung dengan cowok songong itu. Cowok baik mana yang dengan mudahnya menghina perempuan?
“Gue emang suka sama Abdan. Tapi gue gak bodoh kok,” tambah Rania, berusaha menyakinkan Miftah sekali lagi. Tapi Miftah tetap kekeh pada keputusan terakhirnya.
Rania menghela nafas panjang. Baru kali ini Miftah melihat gadis berwajah oval itu nampak frustasi, deretan rumus dan angka jelimet tidak bisa membuat seorang Rania nampak seperti sekarang.
“Lo kenapa sih, Mif? Ini pertama kalinya gue minta tolong sama Lo. Gue gak mau pendam perasaan ini terus. Lagian gue yakin Abdan gak seburuk kabar yang beredar.”
Tuhkan! Apa Miftah bilang. Rania memang pintar, tapi sepintar-pintarnya Rania, gadis itu akan jadi bodoh kalo berhubungan dengan cinta, apa lagi seperti Rania baru pertama kali jatuh cinta. Rania masih terlalu lugu untuk Abdan yang terlalu pro.
...