BAB O3

1029 Words
“Apa calon suami aku lagi kerja?” “Cassie—“ “Meski sibuk, calon suami aku harus dateng tepat waktu nanti malem ya.” “Cassie, berhenti memanggil aku ‘calon suami kamu.” “Kak Alex, kita harus meyakinkan semua orang.” “Semua orang malah akan meragukan kita kalau kamu terus mengucapkan tiga kata itu.” “Apa? Calon suami aku?” Dia mulai lagi, keluh Alex dalam hatinya. “Semua orang harus tahu kak Alex adalah calon suami aku.” Cassie tetap merasa rencananya untuk terus memanggil Alex seperti itu adalah ide brilian. Alex tidak bisa melihat ekspresi wanita itu karena mereka berbicara dari telepon, tapi Alex yakin wanita cantik bernama Cassie Irvadia Hartono itu bertingkah seperti ratu yang ingin segalanya dituruti. “Kita akan menikah bukan mencalonkan diri jadi gubernur, Cassie. Semua orang gak perlu tahu, cukup keluarga kamu saja percaya ini bukan settingan.” Alex merasa lebih dewasa dari Cassie sehingga ia menjelaskan seberapa konyol tiga kata yang diucapkan terus-terusan oleh wanita itu. “Keluarga aku pastinya akan curiga. Makanya kak Alex harus berakting senatural mungkin.” Cassie mengatakannya seperti produser yang mengarahkan seorang aktor yang akan membintangi film. Well, ini memang akan menjadi film untuk mereka berdua. Marriage with benefits, bisa jadi judul yang tepat. “Kita harus mesra,” tambah Cassie. “Hallo? Kak Alex dengerin aku?” “Aku denger, Cassie.” Alex mencoba tenang sejak telepon ini dimulai. “Mesra yang bagaimana maksud kamu?” “Kak Alex gak tahu bagaimana jadi mesra?” “Aku yakin mesra di dalam kamus kamu berbeda dengan milik aku.” “Mesra ya mesra. Emang ada mesra yang lain?” “Mesra menurut kamu yang bagaimana?” Alex bertanya kepada Cassie karena ia yakin mesra versi wanita itu adalah hal-hal yang tidak Alex lakukan. “Bergandengan tangan.” Cassie mulai menjelaskan ‘mesra’ di dalam dunianya. “Kamu pernah bergandengan tangan?” “Pernah, lah.” “Sama ayah kamu? atau Arik?” Alex sedikit menyindir. Berteman dengan Arik sejak kecil membuat Alex secara tidak langsung mengetahui bagaimana Cassie tumbuh. Ia tidak pernah melihat Cassie punya pacar. Karena Arik begitu posesiif, yang paling parah saat SMA. Alex ngeri sendiri kalau jadi Cassie sebab setiap cowok yang mendekatinya harus mendapat izin dari si kakak. “Kak Alex pikir aku gak pernah gandengan sama pacar aku??” Cassie sedikit tersinggung. “Emangnya kamu punya pacar?” “Aku pernah pacaran!” “Oke. Anggap aku percaya,” kata Alex tidak berminat meneruskan soal apakah Cassie pernah pacaran atau tidak. “Lalu apalagi yang menurut kamu mesra?” “Saling memanggil satu sama lain dengan penuh kasih sayang.” “Oh? Jadi panggilan penuh kasih sayang kamu kepada aku adalah ‘calon suami aku’?” “Kak Alex mau dipanggil apa?” Alex mengerutkan keningnya sebab Cassie seperti serius dalam merancang skenario ini. “Apa aja yang menurut kamu mesra.” “Kalau ‘sayang’ gimana?” Jujur, Alex hanya dipanggil seperti itu oleh ibunya, itu pun hanya ketika kecil. Ibu kandungnya sudah meninggal dan Alex memiliki ibu tiri yang sangat menyayanginya namun ibu tirinya tidak memanggilnya ‘sayang’. Jadi, Alex tidak akan terbiasa jika Cassie ingin memanggilnya seperti itu. “Panggil aku ‘kak Alex aja’ udah cukup, Cassie.” “Kenapa gitu?” Entah firasat Alex saja atau ia merasa bibir Cassie sedang merengut. Pasti sangat komedi untuk dilihat. Sayang Alex berada di kantornya dan tak tahu Cassie di mana. “Menurut aku itu mesra.” Benarkah Alex menganggapnya seperti itu? Mesra? Alex nyaris tertawa namun ia harus sabar. Ini sudah keputusannya juga ingin menikahi Cassie. “Kamu mau dipanggil apa?” tanya Alex. “Kalau gitu Cassie aja.” Wanita itu langsung menjawab. “Cukup mesra untuk kamu?” Alex memastikan. “Emangnya kak Alex mau panggil aku apa? Sayang?” “Biasanya aku punya panggilan mesra untuk perempuan, tapi dalam keadaan dan posisi khusus.” “Keadaan dan posisi khusus?” “Iya. Berada di atas tempat tidur, sedang aku masuki. Biasanya aku panggil ‘Sugar’ atau ‘Baby’ tergantung posisinya.” “Gross.” Alex tertawa ketika Cassie mengatakan itu dengan penuh niat. “Kamu belum pernah melakukannya jadi tidak akan tahu nikmatnya.” “Tuan dengar ya, sekali lagi aku katakan; no s*x before marriage!” ujar Cassie, tegas. “Baiklah, princess...” “Good.” Cassie menghela napas yang sempat ia tahan tadi karena Alex selalu santai membahas persoalan di atas tempat tidur. “Jadi, kak Alex akan panggil aku apa?” “Kalau kita sedang bercinta, atau...?” “Kak Alex, serius!” “Aku serius, Cassie. Kamu akan berada di tempat tidur aku cepat atau lambat.” Cassie berharap Alex bisa melihatnya yang sedang memutar kedua bola mata, jengah. “Panggil aku Cassie aja dan jangan jadi c*abul di hadapan keluarga aku.” “Kapan aku c*abul, sayang?” “Kamu menyebalkan. Sangat sangat sangat menyebalkan, Alexander Madava.” Alex menyeringai, “Yes I’m, baby.” “Diem, deh!” Cassie jengkel. “Kalau aku diem, kamu akan bicara sama langit, calon istriku.” “Sabar, Cassie, sabar. Begini risiko ngobrol sama om-om.” Cassie memang sedang berkata pada dirinya sendiri namun jelas saja Alex dengar. “Kamu jani gak akan panggil aku om-om, Cassie.” “Oh, ya? Kapan aku janji?” Alex ingin mengalah saja karena ia harus bekera. “Jangan buang waktu aku, Cassie. Ada lagi yang mau kamu sampaikan? Tenang aja aku akan ke rumah orang tua kamu nanti malam.” “Melamar?” “Makan malam.” “Oh iya. Benar.” Cassie baru sadar padahal itu hal yang ia ingatkan terus menerus pada Alex setiap satu jam sekali. Cassie bukannya rewel, ia hanya senang menjahili om-om bernama Alexander Madava. Oke, sebenarnya Alex belum pantas disebut om-om, tapi Cassie mendapatkan kegembiraan memanggilnya seperti itu. Kapan lagi bisa menghina playboy? “Ada satu lagi yang menurut aku mesra,” ujar Cassie. “Apa?” “Nanti akan aku tunjukkin saat kak Alex dateng ke rumah.” “Jangan aneh-aneh, Cassie.” Insting Alex menyalakan lampu peringatan. Cassie hanya berkata, “Sampai jumpa nanti malem, calon suami aku.” [] -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD