Sosok Dhika
Pagi datang kembali, sang mentari sudah mulai menampakkan dirinya menyapa dunia dengan cahaya hangatnya. Embun-embun berkilauan di atas dedaunan, udara pagi berhembus sejuk nan lembut menyapa ranting-ranting pepohonan, diiringi alunan merdu kicauan burung-burung. Inilah anugrah Allah SWT, di saat pagi menjelang.
“Assalamu'alaikum Ma.” Sapa gadis manis itu pada sang Mama yang sedang sibuk membereskan piring-piring di meja makan dibantu oleh Bik Inah pembantu di keluarga itu.
“Wa'alaikumsalam, sudah mau berangkat sayang?” tanya wanita yang terlihat cantik dan fresh itu, walaupun umurnya sudah menginjak kepala empat.
“Ya Ma.”
“Bik, tolong dilanjutin ya!’’ pinta wanita yang di sapa bu Hasna itu.
“Ya Bu.” Jawab bik Inah.
Wanita itu pun mendekati anak gadis satu-satunya itu dan berdiri di hadapannya.
“Nad, kakak-kakak kamu mana?” tanya sang Mama lagi.
“Mereka masih pada dandan ma, ngalahin kita saja jadi kaum wanita dandannya lama amat!” sindir Nadia, ”mentang-mentang dapat gelar Prince SMANSA,” lanjutnya lagi.
“Bagus dong, berarti mereka selalu menjaga penampilan agar tetap terlihat ganteng dan keren. Dari pada kamu tidak pernah dandan, anak gadis kok malas memperhatikan penampilan.” Sahut bu Hasna.
“Gini-gini Nadia udah cantik ma, ya walaupun tidak pernah dandan, hehehe. Lagian yang alami kan jauh lebih bagus.” Nadia memuji diri sendiri sambil nyengir kuda.
“Narsis sekali sih anak kesayangannya mama ini, kamu memang cantik nak, tapi jangan sekedar menang cantik fisik saja, tapi hati kamu juga harus cantik!”
“Beres ma, Nadia akan selalu berusaha mempercantik hati Nadia!” seru Nadia dengan mengacungkan jari jempolnya.
“Bagus, itu baru anak mama.”
“Ma, ngomong-ngomong jilbab Nadia udah rapi kan?”
“Sudah rapi kok sayang!”
“Oke sudah ma, kalau begitu Nadia berangkat dulu ya, nanti Nadia telat lagi. Taulah SMANTI kayak gimana, ketat banget peraturannya, mana disiplinnya tinggi lagi. Huh, repot deh jadinya.”
“Gak boleh ngomong begitu, itu kan sudah tugas kamu menjadi seorang pelajar ya harus mengikuti peraturan yang berlaku dan juga harus disiplin.”
“Iya, iya mama. Nadia pamit dulu, nanti Nadia tunggu ketiga Prince SMANSA itu di depan saja.” Ucap Nadia seraya mencium tangan mamanya.
Bu Hasna pun mencium kedua pipi Nadia.
“Sekolah yang benar, jangan bergosip saja sama teman-temanmu. Tidak usah pelajarin komik saja!”
“Siap ma, beres!”
“Hati-hati ya sayang!”
“Ya doain aja ma. Assalamu'alaikum.”
Nadia pun meninggalkan sang mama, langkahnya terus berjalan menuju garasi untuk mengeluarkan sepeda motornya. Setelah memanaskan mesin sepeda motor, Nadia memarkirnya di depan garasi. Sementara itu, Nadia melangkahkan kakinya menuju rumah sebelahnya, rumah itu milik tetangga yang sangat akrab dengan keluarganya. Anak-anak pemilik rumah itu sangat dekat dengan Nadia dan kakak-kakaknya, mereka bersahabat baik dari kecil.
Di komplek perumahan Griya Ellen Indah hanya rumah ke dua keluarga ini yang menyatu, berada dalam satu lahan tanah. Jarak kedua bangunan ini hanya satu meter dan di pertengahan bangunan rumah ini hanya dibatasi pagar kayu setinggi pinggang orang dewasa.
Nadia duduk di kursi yang ada di teras depan rumahnya Dhika, tak lama pintu rumah pun terbuka. Cowok berperawakan tinggi, berkulit putih keluar dari pintu. Nadia menoleh kearahnya, cowok itu bagaikan pangeran bagi Nadia. Sama sepertinya yang mengenakan seragam, cowok tinggi nan ganteng itu juga mengenakan seragam khas SMKN 3 Mataram, baju kotak-kotak berwarna biru muda, dengan celana panjang berwarna biru tua.
“Assalamu'alaikum, selamat pagi Dhika!” sapa Nadia
“Waalaikumsalam, selamat pagi juga Nadia,” balas Dhika, ”sudah mau berangkat nih?”
“Sebentar dulu, tungguin Prince SMANSA dulu, baru kita berangkat!”
“Dasar itu kakak-kakakmu Nad, dandan saja kerjaannya. Mereka terus yang ditungguin, sesekali kek mereka yang nungguin kita.” Protes Dhika.
“Yeah, mau gimana lagi. Namanya juga COCA, ya harus dandan.”
“Apaan tuh COCA?” Tanya Dhika heran mendengar istilah asing yang dikeluarkan Nadia.
“Cowok Cantik.” Jawab Nadia diiringi tawa, Dhika juga ikut tertawa mendengar jawaban Nadia.
“Ada-ada saja kamu!” kata Dhika seraya menghentikan tawanya.
“Lasingan kalah-kalah cewek saja dandannya lama banget. Sekalian aja mereka ke salon m**i cure, pady cure, serba cure-cure. Coba saja kak Fahri ada di sini, sudah pada diceramahi mereka.” Timpal Nadia.
Fahri adalah kakaknya Dhika, Fahri memang selalu ceramah pada ketiga saudaranya Nadia apabila mereka dandannya lama, tapi sayangnya Fahri tidak ada di Mataram lagi, dia sedang di Yogyakarta melanjutkan ke Perguruan Tinggi setelah dia tamat SMA, dua tahun yang lalu.
“Benar Nad, coba ada kak Fahri sudah panas telinga mereka dengerin ceramah. Ini sudah pekerjaan yang sangat membosankan, menunggu dan menunggu.” Gerutu Dhika.
“Kayak lagunya Rhido Roma dong, menunggumu.” Canda Nadia, mereka kembali tertawa. Tiba-tiba tawa Nadia terhenti setelah ia sadar sebuah suara memanggilnya.
“Woi Nadia, ayok berangkat. Nanti telat lho!” teriak suara ketiga kakak kembarnya dari depan garasi yang sudah siap dengan sepeda motor mereka masing-masing, Nadia pun menoleh kearah mereka.
“Ya kak tungguin.l!” Nadia berlari menghampiri ketiga kakaknya.
*****
Nadia terbangun dari tidur siangnya setelah mendengar suara azan berkumandang, ia bangkit dari tempat tidurnya, melemaskan badan sebentar, lalu berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu, setelah itu ia pun sholat. Nadia larut dalam kekhusukan sholat dan bacaan zikir dalam doanya.
Sore ini seperti biasa Nadia pergi ke kebun yang ada di belakang rumahnya untuk melakukan rutinitas bersama Dhika, apalagi kalau bukan merawat tanaman yang ada di sana. Kebun itu adalah hadiah dari Papa Nadia untuk mereka, karena pak Hasan tau kalau kedua anaknya ini sangat suka dengan tanaman. Maka dari itu pula kunci pintu gerbang kebun hanya di pegang oleh mereka, jadi orang lain tidak bisa masuk seenaknya saja.
Di dalam kebun juga ada yang menjaganya, yaitu seekor kucing peliharaan Nadia dan Dhika. Kucing itu diberi nama Nadhi, walaupun cuma seekor kucing Nadhi juga bisa bertugas seperti anjing penjaga, dia sangat sensitif dengan orang asing, kalau ada orang lain yang mendekatinya, hati-hati saja supaya tidak terkena cakarannya. Karena Nadhi hanya patuh pada majikannya, Nadia dan Dhika.
Kebun yang lumayan luas itu selalu jadi tempat pertemuan rutin Nadia dan Dhika di sore hari, kalau malam hari lain lagi tempatnya. Di kebun ini berbagai macam jenis tanaman di tanam dan di rawat oleh mereka. Ada bunga mawar, anggrek, bunga kertas, bunga sepatu, kesemuanya itu tertata rapi di dalam kebun. Semua jenis tanaman dikelompokkan sesuai jenisnya. Selain tanaman bunga ada juga pepohonan, ada pohon mangga, rambutan, dan manggis.
Kebun ini juga di lengkapi dengan kolam air mancur dan juga Gazebo. Gazebo dengan empat tiang kaki penyangga dari kayu jati, dengan alas yang terbuat dari bilahan bambu. Gazebo di taman Nadia beratapkan lumbung padi.
Setelah selesai menyiram semua tanaman yang ada, Nadia dan Dhika pun beristirahat di gazebo yang terletak di tengah-tengah hamparan tanaman bunga. Merekapun berbincang-bincang tentang sekolah mereka tadi pagi dengan ditemani Nadhi yang juga duduk ditengah-tengah mereka.
“Nad, bagaimana tadi di sekolah, lancarkan belajarnya, terus perangnya sama Pian sudah clear kan, kalian sudah damai lagi kan?” tanya Dhika beruntun pada Nadia yang duduk disampingnya.
Nadia menoleh sekilas kearah Dhika lalu tangannya kembali melempar-lemparkan bola kecil yang di genggamnya, sampai akhirnya bola itu dilempar ke tanah, Nadhi yang sedari tadi memperhatikan bola itu pun meloncat dan mengejarnya. Bola itu terus memantul di atas tanah, tapi Nadhi berhasil meraihnya dan Nadhi pun bermain-main dangan bola kecil itu.
“Semangat banget mas bertanya kalah-kalah lagi ikut cerdas cermat tingkat RT!” ucap Nadia membuka jawaban, “yah seperti biasalah di sekolah, belajar, ngobrol sama teman-teman, ngebahas komik bareng ketiga sahabat aku yang rada-rada gila, hehehe. Tapi belajarnya tidak terlalu full seperti biasa, soalnya guru-guru banyak yang sibuk ngurusin kakak-kakak kelas tiga yang sebentar lagi mau ujian. Jadinya banyak guru yang tidak masuk kelas. Kita cuma dikasih tugas. Jadi ingat Prince SMANSA, kasian mereka sebentar lagi pada ujian, mereka harus banyak belajar deh, mumet-mumet sudah itu otak, ngapalin rumus-rumus yang segitu banyaknya. Tapi semoga saja mereka lulus dengan hasil yang memuaskan. Aamiin.” Lajut Nadia lagi.
“Aamiin ya robbalalamin, semoga mereka lulus. Kita doa’in aja Nad, semoga semua siswa-siswi yang nantinya akan menghadapi ujian pada lulus semuanya. Amin, Amin, Amin ya Allah.”
“Aamiin.” Nadia ikut mengamini.
“Nad, kamu belum jawab pertanyaan aku masalah Pian itu?” Dhika mengulangi pertanyaannya yang belum dijawab oleh Nadia.
“Memangnya perlu ya Dhik?” tanya Nadia malas sambil memperbaiki ikatan rambutnya. Nadia tidak memakai jilbab kalau di rumah, bukanya Nadia tidak mau pake jilbab seutuhnya tapi Nadia belum siap untuk itu. Karena dia masih butuh waktu untuk memantapkan hatinya.
“Perlu dong, aku kan harus terus memantau perkembangan hubungan kalian.” Kata Dhika bersemangat.
“Ciiih, perkembangan hubungan dari Hongkong. Hari ini kita lagi libur berantemnya, lagi break. Tapi jangan harap semuanya sudah selesai, paling besok berantem lagi. Cowok kayak Pian itu tidak akan berhenti cari masalah sama aku. Tidak tau apa maunya itu anak, suka sekali cari masalah.” jelas Nadia dengan wajah jengkelnya, mengingat-ingat tingkah lakunya Pian yang menyebalkan.
“Dasar kalian itu, egois.” Sahut Dhika.
“Egois apanya? Yang ada itu ya, kamu nya yang aneh.” Balas Nadia.
“Aneh apanya coba, wajar kan aku bertanya kayak gitu sama pacar aku. Kamu itu seharusnya ngalah, kalau Pian nya bertingkah nyebelin tidak usah diladeni” kata Dhika nggak mau kalah.
“Hah, di mana-mana ya, tidak ada orang yang menanyakan hubungan pacarnya dengan orang lain!” Nadia masih membela diri.
“Ada, ini aku kan. Ayok lah Nadia, sekali saja kamu dengerin aku.”
“Terserah sudah, malas aku dengerin kamu. Nasehat kamu itu tidak bakalan mempan sayang, aku tidak menanggapi saja dia malah tambah cari masalah, makanya malas jadinya mau ngalah sama dia. Lagian seharusnya dia yang ngalah sama cewek. Bukannya cewek yang harus ngalah sama cowok.” Nadia mulai cemberut, habisnya dia kesel sama omongannya Dhika.
“Nah mulai sudah dia ngambek nih. Cemberut saja.”
“Habisnya, kamu itu seneng mancing-mancing biar orang kesel.” Protes Nadia.
“Ya sudah maaf sayang, tapi jangan cemberut lagi dong, jelek tau.” Pinta Dhika yang sedari tadi melihat wajah Nadia, Dhika pun menyenggol lengan kanan Nadia dengan sikunya.
“Apaan sih?” Protes Nadia, seraya mengelus lengannya.
“Udah dong ngambeknya. Ya sudah deh, aku nggak akan bahas Pian lagi,” rayu Dhika, ” tapi jangan ngambek lagi ya!” lanjutnya.
“Baguslah.” Jawab Nadia singkat.