Bayu Aksara
Aku pernah menyampaikan kondisi kesehatan ibu yang juga terus menurun akhir-akhir ini pada Pak Jerome. Hal itulah yang menjadi alasan keduaku pulang ke Indonesia, setelah menyelesaikan kasus plagiarisme yang terjadi di wilayah kerjaku tentunya. Aku meminta waktu untuk ngantor di Indonesia sampai kondisi Ibu benar-benar pulih. Entah itu satu minggu, dua minggu atau bahkan berbulan-bulan. Dan mungkin aku akan membawa wanita yang telah melahirkanku ke dunia itu tinggal di Jakarta untuk mendapat perawatan dan pengobatan yang jauh lebih baik dari Bandung.
Pak Jerome sempat menyarankan rumah sakit tempat dia menanamkan sahamnya di sana. Selain rumah sakit tersebut berskala internasional dengan segala fasilitas dan peralatan medis yang mumpuni, di rumah sakit itu juga ada Lekha yang menurut Pak Jerome bisa diandalkan untuk membantu urusanku di rumah sakit nantinya. Aku akan memikirkan saran itu setelah Ibu setuju diajak pindah sementara waktu ke Jakarta.
Hari ini aku absen ikut pertemuan tim legal Orland’s Fashion dengan Syfo untuk membicarakan sidang kedua. Entah kenapa aku sedang enggan berhadapan dengan Arkan. Pertemuan pertama kami waktu itu saja hampir terjadi baku hantam. Beruntung aku tidak terlalu mengikuti emosi Arkan. Dia masih dendam kesumat denganku padahal aku dengar dia sudah menikah lagi dengan Melody. Jadi biarlah kali ini tim pengacara saja yang berhadapan dengan Arkan selaku pengacara pribadi untuk Syfo. Mungkin agenda pertemuan berikutnya aku akan hadir.
Sesaat setelah menginjakkan kaki di tanah pekarangan aku menghirup udara dan mencium aroma khas rumahku dalam-dalam. Aku merindukan semua yang ada di sini. Setelah itu aku bergegas masuk rumah untuk mencari keberadaan Ibu.
“Assalamualaikum,” sapaku di pintu kamar Ibu yang dibiarkan terbuka. Membuat pandanganku seketika tertuju pada orang yang tengah menyandar di headboard ranjang.
Aku seperti baru saja menyaksikan pemandangan terindah, bisa melihat wajah orang yang selalu aku rindukan sedang melaksanakan ibadah di tengah kondisi kesehatannya yang sedang buruk. Langkahku terhenti dan sorot matanya terlihat terkejut saat bertatapan denganku.
“Loh? A’? Kapan datang?”
“Jawab dulu salam Aa’,” balasku sambil tersenyum geli melihat Ibu kaget melihat kedatanganku yang tanpa informasi apa pun.
“Waalaikumsalam. Aa’ pulang kenapa nggak bilang-bilang Ibu?” Ibu melepas mukenanya lalu menciumi wajahku dengan penuh kasih sayang. Terakhir mencium ubun-ubunku sambil merapalkan doa-doa terbaik versi beliau.
“Tadinya mau bilang. Tapi tahu-tahu pengen kasih surprise buat Ibu.”
“Sudah makan, A’?”
“Tadi sudah makan sebelum berangkat ke Bandung. Ini Ibu sama sekali nggak bisa solat kayak biasanya?”
“Iya, A’. Kebetulan lagi sakit banget ini. Tapi Ibu harus solat dhuha. Jadi ya, udah solat rebahan aja. Biasanya juga solat duduk.”
“Ke Jakarta yuk. Tinggal sama Aa' di sana sekalian berobat di rumah sakit bagus.”
“Bukannya Aa' di Jepang? Kalau Aa' ke Jepang nanti Ibu sama siapa di Jakarta? Mending di sini atuh, A’. Banyak yang lihat-lihat Ibu kalau Aa' di Jepang.”
“Aa' udah minta izin pimpinan buat kerja dari Jakarta untuk merawat Ibu. Sekalian mau bawa ibu periksa ke rumah sakit terbaik di Jakarta.”
“Ibu takut ke rumah sakit, A’.”
“Nanti Aa' temenin.”
Ibu tersenyum tapi tidak menerima tawaranku juga tidak menolak. Beliau hanya membelai rambutku sambil terus menatap wajahku. Ibu beranjak dari ranjang lalu duduk di pinggirannya. Saat hendak bangkit berdiri Ibu meminta bantuanku supaya menjadi penopang sebagian berat tubuhnya.
“Ibu mau ke mana? Udah di sini aja dulu. Aa' masih lama lagi, kok.”
“Ibu mau masakin sesuatu buat Aa'. Ibu nggak masak apa-apa. Udah dua hari ini makan Ibu diurus sama Bibi, A’.”
“Aa' udah makan, Bu. Belum lapar. Nanti kalau Aa' lapar biar makan di rumah Bibi. Ibu mendingan istirahat aja ya.”
“Katanya Aa' mau bawa Ibu ke Jakarta. Ibu belum siap-siap.”
“Nggak sekarang, Ibu. Tadi Aa' itu cuma menawarkan aja. Kalau Ibu mau nanti Aa' atur keberangkatannya. Kalau Ibu keberatan ya, jangan memaksakan diri.”
Namun Ibu sama saja seperti orang-orang seumurannya. Watak keras kepalanya semakin sulit dikendalikan. Dengan berjalan tertatih, Ibu berjalan keluar kamar menuju bagian belakang rumah. Akhirnya aku memutuskan berkunjung ke rumah Bibi, memanggil adik ibuku supaya tidak membiarkan Ibu terlalu lama melakukan aktivitas berat di dapur.
~~~
Chandralekha
Seminggu berikutnya aku sudah tidak pernah bertemu lagi dengan Bayu di tempat nge-gym dan juga di manapun seperti yang sudah-sudah. Mungkin saja dia belum kembali dari Bandung. Seperti yang waktu malam itu dia bilang pada Jerome kalau minta izin pulang ke Bandung menjenguk ibunya yang sedang sakit.
“Dok, besok pagi ada jadwal laparoskopi lagi,” ujar asistenku ketika aku sedang bersiap untuk pulang.
Aku menarik napas dalam-dalam lalu berkata, “Oghey.” Sambil tersenyum pada asistenku. “Santai aja, Gi. Laparoskopi is my life.”
Sigi, asistenku malah cengengesan lalu mengikutiku yang baru saja membentuk jari-jariku dengan simbol metal.
Laparoskopi adalah operasi kecil menurutku. Minimal invasif, lukanya cuma satu sentimeter, alat operasinya menyerupai tongkat-tongkat yang dimasukkan ke perut, lalu rongga perut dilihat pakai kamera. Penyembuhannya juga cepat banget.
Intercom di atas meja kerjaku berbunyi. Dari nomor line-nya pasti orang dari pendaftaran ingin bertanya apa aku masih mau menerima pasien lagi atau tidak. “Dok, maaf. Ada satu pasien lagi. Mau diterima nggak?” tanya perawat yang menghubungiku.
“Urgent nggak?” tanyaku sembari melirik ke arah jam tanganku. Sudah pukul sepuluh malam.
“Urgent nggak kayaknya. Mau periksa aja. Tapi pasiennya ibu-ibu usia menjelang 70 an.”
“Ya, udah suruh masuk kalau udah beres adminnya.”
“Baik, Dok. Terima kasih.”
“Hemmm,” jawabku kemudian mematikan intercom.
Lima belas menit kemudian pintu ruanganku diketuk dari luar. Sigi sedang ke kamar kecil jadi aku hanya seorang diri di ruangan praktek yang mulai terasa dingin.
“Masuk!” jawabku, lalu pintu terbuka perlahan dari luar.
“Permisi, Dok,” sapa ibu-ibu yang datang seorang diri.
Aku tersenyum sopan lalu menunjuk ke arah kursi pasien yang ada di hadapan mejaku. “Mari, Bu. Silakan. Sendirian aja, Ibu?” tanyaku ramah.
“Sama anak saya, Dok. Tapi sekarang anak saya masih terima telepon.”
“Oh, ya udah. Tunggu anak ibu aja kalau gitu ya. Kebetulan asisten saya sedang ke kamar kecil.”
“Ya, Dok.”
Tak ingin berlama-lama membiarkan ibu ini menunggu Sigi, aku memulai saja sesi pertama konsultasi awal dengan ibu ini. “Namanya siapa, Bu?” tanyaku sopan.
“Fatriza, Dok.”
“Okey. Ibu Fatriza bisa sampaikan pada saya keluhannya apa yang membuat ibu memutuskan untuk datang ke dokter kandungan. Karena nggak mungkin hamil, kan? Jadi saya mau tahu keluhannya dulu baru kita mulai USG.”
Aku sedang menyimak penjelasan Ibu Fatriza atas keluhan-keluhan yang dirasakannya ketika pintu ruanganku diketuk pelan dari luar. “Ya, masuk,” jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari buku agenda untuk mencatat semua keluhan-keluhan yang disampaikan oleh pasien di hadapanku ini.
“Permisi, Dok. Saya putranya Ibu Fatriza.” Suara yang cukup familier membuatku refleks menoleh ke arah pintu ruangan.
Aku seperti baru saja menang undian jalan-jalan santai saat melihat orang yang baru seminggu lalu bertemu secara tidak sengaja di rumah Jerome. Langkahnya lalu terhenti dan sorot mata sendunya itu menatapku sembari tersenyum tipis. Dia sedikit menundukkan kepala memberi salam padaku.
“Maaf, Dok. Saya masih harus menerima telepon darurat. Apa sesi periksanya sudah dimulai?” tanya Bayu.
“Saya baru tanya keluhan-keluhan yang dirasa oleh ibu kamu, Bayu. “
“Dokter kenal putra saya?” tanya Ibu Fatriza. “Kenal di mana?”
“Pernah bertemu beberapa kali, Bu.” Aku menjawab masih dengan senyum. Di samping, Bayu mengangguk menyetujui ucapanku sambil tersenyum tipis. Aku berusaha menyembunyikan ekspresi wajah penasaranku soal kedatangan Bayu bersama ibunya yang terkesan kebetulan ini. Apa mungkin dia sengaja memilih rumah sakit ini supaya bisa berinteraksi denganku. Astaga… pemikiran apa pula itu, Lekha? Aku merutuki kebodohanku sendiri yang sudah berpikir terlampau jauh seperti itu. Sementara itu ekspresi Bayu tampak biasa saja saat melihatku. Sama sekali tidak menunjukkan gelagat atau minimal reaksi keterkejutan di wajahnya. Bisa dibilang itu artinya dia sudah mempersiapkan diri sebelumnya kalau akan bertemu denganku di sini.
“Kita mulai USG sekarang ya, Bu. Biar tidak terlalu malam. Mari saya bantu, Bu.” Aku membantu Bu Fatriza naik ke atas ranjang pasien. Syukurlah tidak lama kemudian Sigi datang dan dia cukup terkejut karena aku masih menerima pasien di saat jam praktekku sudah usai.
“Dok, maaf. Saya masih mampir apotik tadi beliin obat migrain-nya dokter. Saya kira udah beres pasiennya.”
“Ya, udah cepat dibantu pasiennya untuk melakukan USG.”
Aku mulai memeriksa perut bagian bawah Bu Fatriza. Kalau dari keluhan-keluhan yang dikatakan oleh wanita itu tadi sakitnya mengarah ke kanker mulut rahim. Namun aku tidak berani memvonis terlebih dahulu. Ada beberapa tahapan pemeriksaan yang mesti dilalui oleh Bu Fatriza untuk menentukan kanker atau tidaknya serta menentukan kondisi stadiumnya.
“Pendarahannya udah sering dari dulu atau baru-baru ini aja, Bu?” tanyaku sambil terus memeriksa.
“Dulu waktu masih belum menopause setiap kali datang bulang selalu pendarahan. Saya tidak periksa, Dok. Saya menggunakan pengobatan alternatif.”
“Lalu setelah itu ada perubahan?”
“Iya, syukurnya ada. Setelah itu saya tidak mengalami pendarahan lagi. Baru-baru ini seperti yang saya katakan tadi, perut bagian bawah saya itu seperti ditekan sampai terasa sakit bahkan akhir-akhir ini sampai tidak kuat jalan dan bisa hilang hanya dengan berbaring.”
“Tapi sudah menopause ya, Ibu?”
“Sudah, Dok. Sudah lama banget malah.”
“Sepuluh tahun yang lalu?”
“Kurang lebihnya.”
“Pernah pap smear lima tahun terakhir?”
“Apa itu? Maaf saya tidak tahu, Dok.”
“Pemeriksaan yang dilakukan untuk deteksi dini kanker serviks atau kanker leher rahim.”
“Apa ada kemungkinan Ibu saya menderita kanker, Dok?” tanya Bayu tak bisa menyembunyikan rasa kekhawatiran dalam nada bicaranya.
“Saya akan merujuk Ibu Fatriza untuk melakukan beberapa prosedur pemeriksaan. Mohon dukungannya dan doakan yang terbaik untuk ibunya,” jawabku, berusaha memberikan sugesti terbaik supaya Bayu dan ibunya merasa tenang.
Sigi dan Bayu kemudian membantu Bu Fatriza turun dari ranjang pemeriksaan. Sambil menulis di dokumen rekam medis Bu Fatriza sesekali aku melirik menggunakan ekor mataku ke arah Bayu yang sedang duduk duduk di samping ibunya. Hatiku menghangat melihat caranya Bayu memperlakukan wanita itu. Tutur katanya lembut, sopan dan tidak tergesa-gesa. Sama sekali tidak terdengar kalimat bernada tinggi selama dua puluh menit sesi konseling meluncur dari mulut Bayu. Hatiku merasa terusik saat tiba-tiba teringat ucapan Irza waktu itu, soal interaksi Bayu dengan pasangannya. Apa dia memperlakukan pasangannya selembut dia memperlakukan ibunya? Apa yang membuat Bayu sampai memutuskan bercerai dengan mantan istrinya? Apa benar sampai saat ini Bayu masih single setelah bercerai? Ah, pemikiran macam apa itu, Tuhan.
Pemikiran-pemikiran itu membuat aku tiba-tiba kehilangan konsentrasi hingga membuat kesalahan saat menulis surat rujukan untuk dilakukan prosedur tes darah dan USG transvaginal pada Bu Fatriza. Entahlah apa yang mendorongku jadi merasa harus melakukan apa pun sendiri dengan tanganku. Sampai-sampai mengambil alih tugas Sigi dalam menulis surat rujukan. Padahal biasanya aku hanya tinggal membubuhkan tanda tangan saja di surat rujukan yang telah ditulis oleh Sigi.
Setelah Bayu dan ibunya pergi aku masih bertahan di ruang praktekku. Aku juga membiarkan Sigi pulang lebih dulu supaya bisa beristirahat dan recharge energi untuk pekerjaan esok hari. Saat sedang duduk santai sambil menyandarkan punggung di kursi kerjaku tiba-tiba pintu ruanganku diketuk pelan dari luar.
“Ya, masuk!” jawabku sembari menegakkan tubuh.
Saat pintu terbuka pelan Bayu muncul lalu masuk sambil menutup kembali pintu ruanganku. Aku melihat pergerakan laki-laki itu tanpa bertanya apa pun. Menunggu apa yang ingin dia lakukan sampai harus kembali lagi ke tempat ini. Karena Sigi sudah memastikan tidak ada satupun barang milik pasien-pasien malam ini yang tertinggal saat periksa.
“Maaf ganggu,” ucap Bayu sembari mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Ternyata sebuah kotak dari bahan karton berwarna hitam. Dia menyodorkan kotak tersebut padaku.
“Apa ini?” tanyaku dengan jantung berdebar tak menentu.
“Oh, itu cincin kamu yang nyangkut di sarung tangan saya,” jawab Bayu. "Saya sengaja membawanya dan menyimpannya di mobil setelah beberapa kali ketemu kamu."
“Oh, saya kira apa,” jawabku, meraih kotak tersebut lalu membukanya. Aku menemukan cincin berlian pemberian Mama. Aku langsung menyematkan cincin itu di jari manisku.
“Memangnya kamu kira apa?” tanya Bayu lagi.
Aku menggeleng cepat. “Bukan apa-apa juga. Lupakan aja saya pernah bilang begitu,” jawabku kikuk dan salah tingkah.
Bayu tersenyum tipis. Bola mata warna hitam yang kelihatan lebih pekat dari warna bola mataku itu terus tertuju padaku. Perbuatan Bayu itu membuatku sulit mengartikan maksud dari tatapannya itu.
“Saya mohon lakukan yang terbaik untuk ibu saya, ya, Dokter,” ujar Bayu tiba-tiba berbicara formal.
“Tentu saja. Itu memang sudah kewajiban saya sebagai dokter… Dan juga sebagai orang yang cukup kenal dengan keluarga pasien.”
Bayu tersenyum lebih lebar. “Terima kasih, ya, Bu Dokter. Maaf mengganggu waktu istirahat kamu. Kalau boleh tahu kamu pulang sendiri?” Entah kenapa sebutan Bu Dokter kalau yang mengucapkan itu Bayu jadi terdengar lebih manis ya.
“Iya, udah biasa pulang sendiri.”
“Hati-hati di jalan, ya.”
Bayu mengangguk kecil dan tidak menawarkan jasa apa pun padaku. Dia kemudian keluar dari ruanganku setelah berpamitan. Tidak seperti kebanyakan adegan-adegan dalam n****+ maupun film romantis dimana sang tokoh pria pasti akan memaksa untuk mengantar pulang tokoh wanita. Lagipula memangnya apa yang sedang aku harapkan setelah dia bertanya apa aku pulang sendiri? Ngarep ditawarin tebengan gitu? Ya Salam, Lekha. Sepertinya aku sudah mulai terhasut oleh omongan-omongan Syfo ini. Nggak mungkin rasanya orang yang dari awal sikapnya dingin terus tiba-tiba berubah menjadi hangat. Di dunia nyata, sifat manusia tidak berubah dalam waktu singkat.
~~~
^vee^